Kamis, 12 November 2009

Pahlawan Tanpa Jasa

(sebuah cerita)

Usiaku kini sudah memasuki 25 tahun, yang menurut sebagian orang 25 adalah masa dimana kita harus memikirkan berumah tangga. Tapi alhamdulillah sampai saat ini aku masih menikmati masa lajangku. Aku masih senang dengan dunia pekerjaan.

Sekarang ini aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang broadcasting. Sebuah bidang pekerjaan yang jauh dari bayanganku sebelumnya. Ya maklumlah dalam sejarah keluarga belum ada satu anggota keluargaku yang bekerja dalam bidang broadcasting. Setelah aku menekuni ternyata dunia broadcasting sangat menyenangkan- karena broadcasting tidak hanya memberikan informasi kepada masyarakat tapi juga memberikan hiburan. Kemudian aku beralih bekerja menetap di dunia pendidikan di kota Gudeg tercinta.

Terkadang aku merasa bosan dengan rutinitas. Untuk menghilangkan perasaan tersebut biasanya aku membuka album kenanganku semasa aku sekolah dulu. Hal inilah yang membuat diriku sering merindukan masa-masa sekolah dulu. Sewaktu aku kecil, aku sering ditanya mengenai cita-citaku. Jawabanku selalu berbeda dengan jawaban jawabanku sebelumnya. Ketika hari ini orang bertanya mengenai cita-citaku aku menjawab dokter. Esok hari seseorang menanyakan hal serupa aku menjawab ingin menjadi seorang pilot. Namun dari sekian banyak jawabanku, aku paling menghargai profesi Guru. Pernah terlintas dibenakku untuk menjadi seorang Guru. Karena profesi Guru adalah profesi yang paling mulia.

Masih ingat di benakku nama seorang wanita yang mengajarkan aku membaca dan menulis, Ibu Pangestuti namanya. Beliau mengajarkan aku dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Suaranya begitu keras dengan vocal yang sangat hidup ketika beliau sedang mengajarkan alfabet. Bahkan tak jarang keringatnya bercucuran ketika beliau mengajar. Ya maklumlah sekolah ku bukan sekolah seperti sekarang yang berAC. Sekolahku doelu hanya sekolah SD Negeri di kota Gemilang dengan fasilitas yang sederhana.

Aku juga masih dapat merasakan kelembutan jemarinya ketika sedang membimbing jemariku untuk menggoreskan pena dibukuku. Aku juga masih dapat merasakan kelembutan tangannya ketika beliau membelai rambutku, mengusap punggungku, dan menghapus air mataku. Tidak hanya itu, beliau juga selalu berusaha menghiburku ketika aku sedang sedih atau ketika aku sedang menangis akibat ulah iseng teman-temanku, maklumlah aku tergolong anak yang manja tapi jenius pintar mengambil hati guru. Seperti kebanyakan anak SD lainnya, aku sering melakukan kenakalan seperti mencoret-coret meja sekolah, mencoret-coret tembok sekolah. *maklum anak jenius biasanya hiper aktif*

Kenakalan ini diketahui oleh beliau, namun beliau hanya memberikan nasehat kepadaku.
Guru ku kesabaranmu, kelembutanmu, dan sifat keibuanmu sangat menyentuh hatiku dan terpatri kuat dalam benakku. Kau terus berjuang memberikan kami ilmu sebagai bekal kami dikemudian hari. Kau berkerja tanpa pernah kenal lelah, kau terus berjuang meskipun panghargaan yang kau terima tidak sebanding dengan perjuangan yang kau lakukan. Guruku kau adalah seorang pejuang sejati, yang berjuang tanpa melihat status seseorang. Predikat Pahlawan Tanpa jasa adalah sebuah predikat yang memang layak untuk dirimu.

Atas nama pribadi saya mengucapkan terima kasih atas semua pengorbanan yang telah engkau lakukan selama ini.

Terima kasih Guru... :-)
Dari anak muridmu tercinta:
Fery sang Pujangga Cinta