Senin, 16 November 2009

Kekalahan Diplomasi

(sebuah cerita)

Alkisah, suatu ketika harimau si raja hutan merasa lapar. Saat rasa lapar mendera, tampak di hadapannya empat ekor sapi dengan wama yang berbeda: putih, hijau, merah, dan hitam. Untuk menerkamnya langsung, rupanya harimau tidak berani. Sebab, keempat sapi itu terlihat akrab, bahkan kerjasama di antara mereka terjalin kokoh, saling tolong-menolong.

Untuk memenuhi keinginannya, ia meminta bantuan musang, juru bicara kerajaan yang piawai dalam berdipiomasi. Sasaran pertamanya adalah sapi warna putih. Mulailah musang melobi ketiga sapi tersebut. la berkata: "Demi keamanan kerajaan, maka sapi putih harus dikorbankan. Sebab warna putih adaiah warna yang terang benderang, sehingga musuh akan cepat menemukan keberadaan kita. Jika kalian menyetujuinya, maka raja hutan akan menghadiahkan rumput dan kandang terbaik untuk kalian".

Ketiga sapi itu berembuk, hingga akhirnya menghasilkan keputusan, "Baiklah, kalau memang demi keamanan kerajaan, kami menyetujuinya". Dipanggillah sapi warna putih menghadap harimau, dengan tanpa basa-basi diterkamnya sapi warna putih itu.
Rupanya, sang raja hutan belum kenyang. Akan tetapi, ia masih belum berani untuk membunuhnya langsung. Sebab ketiga sapi yang tersisa, terlihat tetap rukun dan kompak. Maka, diutarakan kembali keinginannya kepada musang, kali ini targetnya adalah sapi warna hijau. Dengan bujukan yang sama, musang melobi sapi warna merah dan warna hitam,

Sebagaimana pertama, kedua sapi itu menyatakan persetujuannya, sapi warna hijau pun menemui ajalnya. Begitu seterusnya sehingga yang tersisa tinggal sapi warna hitam. Awalnya, sapi warna hitam menyangka bahwa ia akan mendapat keuntungan berlipat, apalagi raja hutan menemuinya langsung tanpa perantara musang.

Sayang, sapi hitam keliru, raja hutan ternyata masih lapar. Barulah ia menyadari kekeliruannya selama ini. Sebelum ajal menjemputnya, dengan penuh penyesalan ia berujar kepada harimau, "Sesungguhnya aku telah dimakan pada hari dimakannya sapi putih".

Dr Musayyar, Guru Besar Filsafat Universitas AI-Azhar Mesir, menggambarkan kisah di atas dengan kondisi sebagian pemimpin negara Islam saat sekarang. Mereka terjebak dalam alur diplomasi musuh Islam yang memecah belah wihdatui ummah (kesatuan umat).
Mereka rela berkawan dengan musuh, dan menjadi lawan saudara seakidah asalkan kepentingan negaranya (nation state) tetap terjaga. Padahal, kesetiaan tidak akan ditemukan bila standarnya sebatas untung rugi. Apalagi berkawan dengan musuh, sebab mereka tidak pernah ridha sebelum kita mengikuti alur mereka (lihat: Firman Allah S. AI-Baqarah, ayat 120; dan S. All lmran ayat 28)

Semoga krisis Irak mampu menyadarkan kita, sehingga ungkapan penyesalan dari kisah itu selamanya tidak akan kita dengar.

Wa Allahu 'Alamu Bishawab.