Kamis, 12 November 2009

Mencerdaskan lewat EQ & SQ

Mitos kecerdasan yang diukur berdasarkan IQ (intelegensia) sudah berakhir tetapi masih tetap mendominasi. Masih saja pujian berlebihan diberikan kepada mereka yang memiliki intelegensi tinggi. Mendengar istilah ’pakar’ sudah membuat kita merinding karena kita bertemu dengan orang memiliki otak yang luar biasa. Namun tidak sedikit pula yang membuat kita merinding adalah ternyata orang itu bukan hanya pintar tetapi emosionalnya minta ampun, juga fanatiknya nggak ketulungan. Kelihatannya orang ini unggul di kecerdasan Intelegensia (IQ) tetapi lemah dalam segi kecerdasan emosional (EQ) dan juga lemah dari segi kecerdasan spiritual (SQ). Kita tidak perlu bila melihat variasi tinggi rendahnya kecerdasan terjadi dalam seorang manusia. Kita tidak akan kaget bila seseorang yang Iqnya tinggi tetapi fanatiknya bukan main. Ia malah jadi aktor dibalik perbuatan fanatiknya.

Saya berpikir sudah waktunya memupuk EQ dan khususnya SQ dalam pendidikan anak-anak. Generasi anak-anak Indonesia harus dipupuk EQ dan SQ-nya sehingga mampu menahan diri dan menjadi orang berwawasan dan berperasaan luas. Dalam sekolah-sekolah (baik umum maupun yang berciri keagamaan) hendaknya benar-benar menanamkan semangat yang multikultural dan multireligius. Mendidik anak-anak kita menyadari identitas itu sangatlah penting tetapi jangan lupa mendidik mereka untuk memiliki kecenderungan hidup dalam komunitas yang plural. Kefanatikan sebenarnya merupakan bentuk kerendahan SQ dan reaksi ketakutan serta penilaian diri terhadap identitas diri sendiri yang rendah. Hal tersebut tidak boleh menjadi kurikulum atau hidden curriculum sekalipun.

Last but not least, semua itu harus dimulai dari kita generasi yang sedang ’mejeng’ di kancah negeri ini. Akan ada saatnya generasi ini akan lengser, tetapi jangan pernah ’salah tabur’. Karena apa yang ditabur orang itu juga yang akan dituainya.

Daniel Zacharias
Jl. Cucur Timur Blok A-8 No. 1,
Sektor 4 - Bintaro Jaya,
TANGERANG