Kamis, 22 Juli 2010

Renungan Pagi

Pada saat kita semua sibuk dengan pekerjaan, keluarga, dan urusan pribadi kita masing-masing, seorang anak berumur 11 tahun gantung diri karena tidak sanggup bersekolah!!!

Reaksi dari kita? Bersedih saja untuk sesaat, sebelum kembali memikirkan semua urusan duniawi kita dan rencana belanja kita.

Ada begitu banyak orang yang menderita di bangsa ini, tetapi berapa banyak dari kita yang peduli terhadap mereka? Kita semua sibuk belanja, sibuk jalan-jalan dan menghabiskan harta kita supaya bisa bersenang-senang di dunia ini. Bukannya ada urusan dan tugas yang jauh lebih utama bagi kita?

Kalau ada isu baru seperti dua artis yang membuat film porno, kita tidak bisa berhenti membicarakannya selama berminggu-minggu dan bisa dijamin akan mendapatkan sorotan berita sampai satu-dua bulan atau lebih.

Tetapi kita sangat jarang mau bicara tentang bagaimana caranya semua ormas Islam dan partai politik Islam bisa BERSATU dan menggunakan kekuatan organsiasi dan politik yang ada di tangan masing-masing untuk membantu anak miskin yang mau sekolah. Seharusnya kita mau bersatu untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kasus anak2 kecil yang bunuh diri disebabkan kita yang lebih mampu terlalu sibuk dengan kehidupan kita masing2 untuk peduli pada nasib mereka.

Dan kalau dalam 10 tahun mendatang, SEMUA anak bangsa bisa sekolah sampai tamat SMA, dan mendapatkan pekerjaan yang layak, dan tidak ada lagi kasus anak bunuh diri karena tidak bisa tamat SD, maka kalau pada saat itu kita mau lebih peduli pada kenikmatan dunia ini, dan urusan pribadi kita, SILAHKAN!!! Tidak jadi masalah kita berkumpul dan membahas perkara ringin dan menarik (seperti piala dunia), atau lebih fokus pada diri sendiri, selama tidak ada masalah yang lebih utama yang membutuhkan waktu dan tenaga kita.

Sudah waktunya kita berhenti memperhatikan hal-hal yang tidak utama dan berfokus pada bagaimana PKS, PKB, PPP, PAN, HT, NU, Muhammadiyah, dan semua organisasi Islam yang lain bisa BERSATU dan memajukan bangsa ini untuk kepentingan anak bangsa dan masa depan ummat Islam.

Kita semua merasa begitu pintar dan bijaksana, dengan keahlian masing-masing di bidang yang bervariasi. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan kita dengan sia-sia. Dan sekarang Allah dan para malaikat sedang menyaksikan kita dan apa yang kita usahakan di dunia ini. Jangan sampai Allah menyaksikan kita dan hanya bisa menggelengkan kepala ketika malaikat laporkan bahwa ummat Islam begitu sibuk dengan menikmati hal-hal duniawai (seperti piala dunia, misalnya), sehingga tidak ada yang sempat peduli ketika seorang anak kecil bunuh diri. Dan lebih malang lagi, anak itu bunuh diri karena tidak sanggup lagi MENUNTUT ILMU untuk menjadi seorang anak yang beriman dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Bagaimana pendapat-Nya Allah terhadap kita ketika Dia melihat kita begitu semangat memperhatikan piala dunia (dan ratusan urusan duniawi yang lain), dan sangat peduli pada urusan belanja kita, sehingga kita tidak lagi punya waktu dan tenaga untuk peduli pada anak yatim dan anak miskin yang hidup dalam kesulitan?

Kalau kita ingin melihat negara ini maju, kita harus belajar untuk mengatasi semua masalah aktual di lapangan. Menikmati dunia ini bukan perkara yang salah. Tetapi berlebihan dalam menikmati harta kita di dalam dunia ini, pada saat saudara-saudara kita yang miskin mau bunuh diri, bukanlah suatu tindakan yang tepat.

Kita harus memanfaatkan waktu dan tenaga kita dengan cara yang lebih baik. Dan kalau kita tidak mau, awas kalau Allah menjadi marah dan kesal terhadap kita dan menggantikan kita dengan kaum yang lebih beriman kepada-Nya, lebih bertakwa kepada-Nya, lebih bijaksana, lebih mulia, lebih dermawan, dan lebih peduli terhadap anak yatim dan fakir miskin seperti yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad SAW.

Dalam sebuah hadits sahih, diceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah kabur dari masjid setelah shalat karena dia ingat masih ada 7 dirham di rumah yang belum disedekahkan, dan setelah dikasih kepada fakir miskin, baru dia kembali ke masjid dan berdzikir seperti biasa dalam keadaan tenang. Selama masih ada harta yang belum diberikan kepada yang lebih membutuhkannya, Nabi kita tidak bisa duduk di masjid dengan tenang.

Sedangkan kita kabur dengan cepat setelah shalat karena takut ada yang mengganggu mobil baru kita atau motor baru kita yang diparkir di jalan depan masjid, karena kita begitu cinta terhadap harta kita dan semua barang milik kita. Sedangkan Nabi kita begitu cinta terhadap anak yatim dan fakir miskin. Alangkah jauhnya kehidupan kita dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, yang kita mengatakan adalah “contoh” bagi kita. (Tidak ada kisah bahwa Nabi menyimpan triliunan rupiah dalam rekening, dan cuek pada keadaan ummat Islam dengan mengatakan “uang halal”, alias terserah dia mau dipakai untuk apa.)

Jangan sampai kita menjadi kaum yang terpesona dengan kenikmatan dunia ini. Kita harus selalu siap mencari tindakan nyata yang bisa kita lakukan bersama untuk membantu anak-anak yang yatim dan miskin, sebelum mereka bunuh diri semua.

Alangkah buruknya nasib kita di hari akhirat kalau Allah bertanya apa yang kita lakukan dengan semua kekuatan yang Dia berikan kepada kita di dunia ini (fisik, harta, jabatan, ilmu, organisasi, dll.) dan kita hanya bisa jawab bahwa kita menggunakannya untuk menikmati semua keindahan dunia dan memikirkan kepentingan diri sendiri.

Lalu bagaimana kalau seandainya Allah menghadapkan kita kepada anak-anak miskin yang telah membunuh diri di dunia, dan Allah bertanya kenapa kita dulu merasa begitu sibuk dengan urusan duniawi kita sehingga tidak punya waktu untuk membantu anak-anak itu?

Kita mau mengatakan apa kepada Allah?

Dan alangkah buruknya keadaan kita kalau seandainya Allah mengatakan bahwa kita hanya boleh masuk sorga setelah setiap anak miskin yang bunuh diri menyatakan “ihklas” dan “setuju” terhadap nasib kita itu.

Apa yang akan terjadi pada kita kalau nasib kita (masuk sorga atau tidak) ditempatkan oleh Allah di tangan anak-anak miskin yang pernah bunuh diri itu, dan mereka diberikan kekuasaan terhadap kita di akhirat?

Bagaimana mereka akan memandang kita? Dengan rasa kasih sayang karena kita sama-sama orang Islam? Atau dengan perasaan yang sangat berbeda?

Di mana sekarang suara dari semua politikus yang mengaku beriman kepada Allah?

Di mana sekarang suara dari semua petinggi pemerintah yang mengaku beriman kepada Allah?

Kenapa mereka semua tidak berdiri bersama dan berteriak bahwa Presiden, pemerintah, anggota DPR/DPRD, Menteri Pendidikan dan Menteri Sosial, dan anggota dari semua organsisasi Islam harus sama-sama merasa bertanggung jawab dan merasa bahwa telah menjadi kewajiban bagi mereka untuk membantu anak-anak miskin dengan secepatnya supaya mereka tidak putus asa dan bunuh diri?

Atau apakah cukup kita semua diam saja, mengeluh saja, dan memikirkan diri sendiri terus, seperti biasa.

Seorang aktivis dihajar tanpa mengalami luka parah dan Presiden langsung lari ke rumah sakit untuk menjenuknya.

Seorang anak bangsa yang miskin bunuh diri karena sudah putus asa tinggal di negara ini dan tidak sanggup belajar lagi untuk menjadi anak pintar dan bermanfaat, lalu Presiden hilang ke mana? Jangankan datang ke rumah untuk melayat dan minta maaf kepada orang tuanya.

Bicara saja tidak.

Karena mau baca isi pernyataan Presiden SBY tentang kasus anak ini, saya cari di Google dengan kata kunci “SBY-anak-bunuh-diri”. Sayangnya, hasilnya adalah NOL!

Saya cari lagi, dengan ketik Menteri Pendidikan (menggantikan kata SBY/Presiden) .

Hasilnya juga NOL!

Menteri Sosial? NOL!

Menteri Urusan Wanita dan PERLINDUNGAN ANAK? Juga NOL!
(Sayangnya tidak ada Menteri Anak di negara ini, walaupun ada 84 juta anak.)

Seorang aktivis yang berada di rumah sakit dinilai penting sekali dan harus cepat ditanggapi dan didatangi oleh Presiden.

Tetapi anak miskin yang putus asa dan bunuh diri cuma satu kasus biasa di dalam berita, dan nanti bakalan akan ada lagi. Tenang saja. Tidak usah berlebihan. Hanya anak miskin. Buat apa peduli pada dia?

Dia bukan orang kaya. Dia tidak punya koneksi politik. Dia bukan koruptor yang selama puluhan tahun merampas harta negara, yang sekarang bisa disumbangkan puluhan milyar rupiah ke partai politik yang mau menerimanya. Dia bukan jenderal polisi dengan satu triliun rupiah di dalam rekening banknya.

Dia hanya anak miskin yang putus asa dan bunuh diri.

Buat apa memikirkan dia?

Kalau semua politikus dan pejabat negara yang beriman kepada Allah, dan semua anggota ormas Islam teriak bersama sekarang juga, isu anak yang bunuh diri ini TIDAK AKAN HILANG, dan akan menjadi berita terus selama 1 bulan aatu lebih, sampai ada tanggapan yang konkrit dari pemerintah dan semua tokoh agama dan semua tokoh masyarakat.

Bayangkan kalau ada anak miskin di zaman Nabi Muhammad SAW yang mau MENUNTUT ILMU AGAMA ALLAH, tetapi tidak ada uang untuk membayar ustadz dan oleh karena itu dia tidak bisa belajar membaca Al Qur'an. Dan karena merasa putus asa hidup dalam keadaan miskin tanpa kemungkinan belajar lagi, dan karena tidak dapat bantuan dari orang yang lebih mampu atau dari negara, akhirnya dia bunuh diri!

Apakah kira-kira Rasulullah SAW akan diam saja ketika tahu anak itu putus asa dan bunuh diri karena tidak bisa belajar ilmu agama Allah?

Apa yang bisa kita katakan kepada Nabi Muhammad SAW kalau dia berada di tengah kita sekarang, dan dia bisa menyaksikan kecintaan kita terhadap harta dan urusan duniawi?

Semoga Allah memberi petunjuk dan hidayah kepada kita semua.

Semoga kita tidak menjadi kaum yang lemah yang memalukan Allah karena kita selalu sibuk memikirkan diri sendiri dan harta yang ada di tangan kita. Semoga kita tidak menjadi kaum yang lemah, yang merasa tidak punya waktu atau kemampuan untuk membantu anak yatim dan fakir miskin, disebabkan kita semua sibuk dengan urusan duniawi.

Semoga Allah memberi petunjuk dan hidayah kepada kita semua, dan menjadikan kita kaum yang kuat, yang hanya sedikit sekali peduli pada kenikmatan dunia ini. Semoga Allah menjadikan kita kaum yang kuat yang lebih banyak peduli pada urusan anak yatim dan fakir miskin, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad SAW.

Dan semoga semua pemimpin negara dan ormas Islam merasa lebih utama membicarakan nasib anak bangsa yang sudah siap putus asa dan bunuh diri daripada membahas perkara-perkara yang lain.

Semoga bermanfaat.
Gene Netto

Kamis, 15 Juli 2010

SERTIFIKAT CAMBRIDGE

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh menegaskan bahwa pihaknya akan membeli lisensi akreditasi sekolah dasar dan menengah dari luar negeri yang berafiliasi dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Hal ini menurutnya terpaksa dilakukan, karena berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan, penyebab mahalnya biaya pendidikan di RSBI adalah akibat sekolah membeli sendiri lisensi akreditasi dari luar negeri, contohnya dari Cambridge. Mendiknas mengungkapkan hal itu ketika ditemui usai membuka ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (13/7). "Kita akan membeli sendiri lisensinya. Nanti akan kami sebarkan ke setiap RSBI," jelasnya.

Berita ini sungguh mengejutkan dan sekaligus mengherankan. Bagaimana mungkin Kemendiknas akan membeli lisensi akreditasi sekolah dari luar negeri? Apakah pemerintah Indonesia tidak mampu membuat akreditasi dari sekolahnya sendiri?
Pertanyaannya adalah UNTUK APA akreditasi tersebut? Apa yang hendak dicapai dari adanya akreditasi tersebut? Pertanyaan ini SANGAT PERLU untuk dijawab dan lepas dari mahal atau murahnya harga lisensi akreditasi tersebut. Apakah dengan adanya lisensi dari Cambridge (CIE) maka siswa kita akan menjadi lebih mudah untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, umpamanya? Apakah dengan adanya akreditasi dari CIE maka kualitas pendidikan kita akan naik ratingnya di mata internasional, umpamanya? Apakah jika kita menggunakan akreditasi Cambridge maka kualitas pendidikan kita akan dianggap setara dengan negara-negara maju, umpamanya? Apa sebenarnya urgensi dari akreditasi Cambridge tersebut?

Saya ingin membuat analoginya dengan lisensi TOEFL. Mana kira-kira yang lebih perlu bagi pendidikan kita antara lisensi ujian CIE (Cambridge International Examination) dengan lisensi ujian TOEFL? Mana yang lebih umum penggunaannya dan mana yang lebih banyak dibutuhkan bagi siswa yang hendak melanjutkan ke LN antara sertifikat Cambridge dengan TOEFL? Kita tahu bahwa sertifikat TOEFL (atau TOEIC) sangat dibutuhkan jika siswa ingin melanjutkan belajar ke LN dan merupakan prasyarat utama biasanya. Tapi apakah pemerintah pernah BERPIKIR untuk membeli lisensi TOEFL agar biaya testnya menjadi lebih murah bagi siswa-siswa kita yang hendak belajar ke LN? Tidak kan?!

Seperti juga ujian TOEFL, ujian sertifikat Cambridge tidak selalu berhubungan dengan materi yang dipelajari. Maksudnya, bisa saja kita belajar bahasa Inggris dan menguasainya tanpa perlu harus mengikuti ujian TOEFL. Saya sendiri seorang guru bahasa Inggris yang pernah bekerja sebagai guru bhs asing di sekolah Internasional tapi tak pernah mengikuti ujian TOEFL karena tidak pernah menjadi syarat.

Sertifikat Cambridge juga demikian. Seorang siswa bisa saja melanjutkan studinya ke LN tanpa memiliki sertifikat Cambridge (atau sertifikat internasional apa pun). Tidak ada persyaratan secara internasional bahwa siswa harus memiliki sertifikat Cambridge agar bisa diterima di perguruan tinggi tertentu. Jika kita memiliki sertifikat Cambridge juga bukan merupakan jaminan bahwa kita akan diterima di perguruantinggi yang akan kita tuju. Seperti juga sertifikat TOEFL, sertifikat Cambridge hanya merupakan sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa kita telah mengikuti sebuah tes dengan hasil nilai tertentu. Singkatnya, sertifikat Cambridge tidak memberi jaminan apa pun kepada pemiliknya untuk bias mulus melanjutkan studi ke LN.

Jadi apa sebenarnya tujuan dari sertifikasi Cambridge tersebut? Apalagi jika sampai harus dibeli oleh sebuah kementerian pendidikan? Pemerintah juga tidak pernah mengeluarkan ide untuk membeli lisensi TOEFL agar digunakan oleh siswa-siswa dan dosen-dosen yang ingin melanjutkan studinya ke LN kan? Untuk apa dan untuk siapa pemerintah harus membeli lisensi akreditasi program Cambridge tersebut? Analoginya Adalah : Apa gunanya ikut ujian dan memperoleh sertifikat TOEFL jika kita tidak memerlukannya? Apakah untuk iseng-iseng saja? Tentu tidak kan!

Jelas ini merupakan sebuah kesalahan LOGIKA beruntun yang dilakukan karena mengikuti logika program SBI yang sudah sejak dari konsepnya saja sudah salah kaprah. Untuk dapat menjadi bangsa yang memiliki kualitas pendidikan yang setara dengan negara-negara maju lainnya tidak berarti bahwa kita harus mengikuti standar akreditasi sebuah lembaga yang dianggap internasional sekali pun. Lagipula tak ada gunanya mengikuti sertifikasi Cambridge jika kurikulumnya sendiri tidak digunakan. Logika yang digunakan oleh Kemendiknas dalam hal ini nampaknya terjebak oleh pemikiran sekolah-sekolah swasta mahal yang menawarkan kurikulum dan ujian sertifikat internasional macam Cambridge. Sekolah-sekolah swasta mahal tersebut memang menggunakan kurikulum dan sertifikat Cambridge karena ditujukan bagi golongan menengah atas yang ingin agar anaknya nantinya bisa meneruskan ke LN. pertimbangan sekolah-sekolah tersebut adalah semata EKONOMI dan bisnis. Ketika demand tinggi maka supply pun diadakan. Karena banyak orang tua yang ingin anaknya mudah melanjutkan studi ke LN maka bertebaranlah sekolah-sekolah swasta menawarkan program yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan orang tua tersebut. Tapi masak sebuah pemerintahan mau mengikuti cara berpikir sekolah swasta! Ingat bahwa sekolah yang hendak di SBI-kan pemerintah itu adalah sekolah public yang smestinya mengikuti KURIKULUM DAN AKREDITASI (atau evaluasi) NASIONAL. Untuk apa pemerintah ikut-ikutan bermain di ladang sekolah internasional yang hanya akan dinikmati oleh anak-anak klas atas? Tidakkah lebih baik bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan sekolah-sekolah dan siswa-siswa yang miskin dan tak mampu bahkan menikmati pendidikan dasar?

Tidak sadarkah pemerintah bahwa dengan menetapkan program SBI ini berarti pemerintah telah melegalkan komersialisasi bagi sekolah-sekolah publiknya?
Eksperimen kebijakan RSBI ini jelas salah sasaran karena dengan kecemasan yg sama akan kualitas pendidikan yg dianggap merosot pemerintah AS di bawah George Bush kemarin justru mengeluarkan paket NCLB (No Children Left Behind) yang justru menyasar pada siswa-siswa di level terbawah yang diberi penanganan khusus agar tak ada lagi yg tertinggal secara akademik. Dengan mengangkat kualitas siswa paling bawah sehingga tak ada siswa yg 'left behind' maka diharapkan akan mengangkat agregat kualitas pendidikan secara makro.

Bandingkan ini dengan program RSBI yang justru ditujukan pada siswa-siswa paling berbakat (cream of the cream) dan diberi perlakuan khusus dengan dana berlimpah padahal mereka secara ekonomi dan akademik sebenarnya lebih mampu dan tidak memerlukan bantuan dibandingkan siswa yg tertinggal. Program RSBI ini malah mengabaikan siswa yg secara ekonomis dan akademis justru membutuhkan penanganan dan biaya. Sesungguhnya program RSBI ini adalah program yg memalukan bangsa dan mengkhianati rakyat kecil. Ingat bahwa ini adalah program pemerintah yg dibiayai oleh pajak dan hutang negara dan bukan program swasta

Saran saya : Evaluasi menyeluruh program SBI tersebut dan kalau perlu cabut pasal-pasal dalam UU Sisdiknas yang melegalkannya. Jika tidak maka kita akan jatuh dalam kesalahan demi kesalahan.

Salam
Satria Dharma

Encouragement

(sebuah pengalaman pribadi)

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya. Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan


Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Rabu, 14 Juli 2010

Kualitas Pendidikan di Malaysia

(sebuah cerita)

Kemana pilihan lulusan SMA yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi ke negara lain. Mayoritas biasanya memilih Australia sebagai destinasi pendidikan.

SELAIN dekat, kualitas pendidikan di Australia juga tidak kalah dibandingkan Amerika ataupun Eropa. Padahal jika dibandingkan Australia, sebenarnya ada negara yang lebih menarik untuk dilirik sebagai tujuan menimba ilmu bagi mahasiswa. Negara serumpun Melayu, tapi berposisi sebagai negara persemakmuran karena bekas jajahan Inggris. Malaysia, negeri ini menempatkan 9.812 mahasiswa Indonesia dari 80.000 mahasiswa antarbangsa di negara ini.

Hingga 2020, Malaysia bercita-cita ingin menempatkan 200.000 mahasiswa di sana. Menurut Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Dato Syed Munshe Afdzaruddin Syed Hassan, persamaan bahasa dan ras menjadi opsi menentukan banyaknya pelajar Indonesia di Malaysia. Unsur kedekatan juga ditambah dengan metode kerja sama universitas Malaysia dengan universitas ternama di luar negeri seperti Monas University, Newcastl e University, dan Nottingham University. Disebutnya Perjanjian Washington ialah kesepakatan yang dibuat oleh 13 negara termasuk Amerika dan Inggris untuk menyamakan standar akreditasi pendidikan tinggi Malaysia dengan mereka, ujarnya pada Pameran Pendidikan Malaysia di Le Meridien Hotel.

Dengan bisa diaksesnya pendidikan negara barat di negara Melayu, Afdzaruddin menyebut, pendidikan di Malaysia itu murah dan berkualitas, tapi tidak murahan. Direktur Pejabat Promosi Pendidikan Malaysia (MEPC) Jakarta Puan Yahurin Mohd Yassin bilang, secara rata-rata dengan biaya kuliah dan biaya hidup kurang lebih Rp180 juta seorang pelajar dapat menyelesaikan pendidikan strata satu (S-1) atau pascasarjana (S-2 dan S-3) termasuk sarjana MBA. Bandingkan dengan biaya pendidikan di Australia untuk S-1 selama empat tahun yang mampu menyedot dana hingga Rp1,7 miliar.

Ketua Sekolah Tinggi Institut Ekonomi (STIE) Bisnis Indonesia Muhammad Zilal Hamzah yang turut dalam pameran pendidikan kemarin, juga merupakan alumni Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang mengambil bidang studi diferensiasi fiskal dan saat ini bergelar Phd, menyatakan bahwa masa studi untuk Phd bila dibandingkan antar kedua negara memang sama-sama tiga tahun. Namun, bila dibandingkan waktu lulus, Malaysia lebih cepat. Hal ini bisa terjadi karena suasana belajar di negara federasi ini membuat mahasiswa sangat aktif untuk bimbingan ke dosen pembimbing atau lebih disebut dengan promotor.

Berbeda dengan para dosen di Indonesia yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pengamat atau pejabat publik sehingga tidak punya waktu banyak untuk bimbingan, promotor di Malaysia digaji hanya untuk mahasiswanya. Mereka lebih concern untuk membantu mahasiswanya, htambahnya. Biaya tidak ditampik sebagai salah satu gula dalam pendidikan di Malaysia. Bandingkan jika di Malaysia satu ringgit hanya Rp3.000 dan satu dolar Singapura Rp7.000 otomatis sekolah di Singapura lebih mahal. Saya juga membandingkan biaya pendidikan di UI juga lebih mahal dibandingkan di UKM, tandas pria kelahiran Padang ini.

Mengenai fasilitas, katanya, sangat jauh jika dibandingkan dengan yang ada di Indonesia. Dia mencontohkan, luas perpustakaan di kampusnya dulu itu 30 x 50 m2 di gedung yang mempunyai delapan lantai. Perpustakaan pun buka hingga tengah malam. Jauh sebelum Indonesia menerapkan gaya hidup ke dalam perpustakaan, kampusnya telah lebih dulu membuka kafe di dalam perpustakaan, bahkan ada ruangan tersendiri di dalam perpustakaan yang bisa disewa untuk istirahat. Dukungan pemerintah dalam pendidikan menjadi salah satu jawaban terjangkaunya biaya pendidikan di negeri lokasi menara Petronas ini berdiri. Menurut Afdzaruddin, 30 % dari gross domestic bruto (GDP) negara Malaysia disumbangkan ke dunia pendidikan.

Sementara berbagai kemudahan keimigrasian juga diberikan Pemerintah Malaysia. Dato Paduka Junaidy Abu Bakar Minister Counsellor(Education) menyatakan, setiap pelajar yang diterimadiuniversit asMalaysia akan mendapatkan kartu mahasiswa yang berlaku selama lima tahun. Kartu ini multifungsi dan hebatnya lagi bisa menggantikan posisi paspor.

Salam
Satria Dharma

Kamis, 08 Juli 2010

Pendidikan Salah Arah

(sebuah intermezzo)

Sekolah merupakan harapan bagi para orangtua di Indonesia untuk masa depan anak-anaknya. Bahkan sebagian orangtua rela mengeluarkan harta yang banyak agar anaknya bisa bersekolah. Namun realitanya ada permasalahan-permasalahan penting yang ada di institusi sekolah. Sekolah telah gagal menghasilkan orang-orang yang mampu mengaplikasikan ilmu yang didapatnya ke dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah telah gagal menghasilkan orang-orang yang mampu mengaplikasikan ilmu yang didapatnya ke dalam bidang pekerjaan/profesi. Hal tersebut dikarenakan ilmi-ilmu yang diajarkan di sekolah tidak berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari dan dunia kerja. Ilmu-ilmu yang diajarkan hanyalah teori-teori belaka yang sulit untuk diaplikasikan dan kemudian terlupakan.

Coba kita perhatikan, Apakah seorang pedagang bakso dalam membuat bakso yang enak menggunakan ilmu-ilmu biologi dan fisika, Apakah seorang pelayan toko menggunakan ilmu-ilmu fisika, biologi, dan kimia dalam melayani pelanggannya. Apakah seorang pelayan toko menggunakan ilmu-ilmu fisika, biologi, dan geografi dalam ketika pelanggannya?. Apakah seorang karyawan supermarket menggunakan ilmu sosiologi dan geografi dalam pekerjaannya sehari-hari?.

Bagaimanakah seorang operator komputer menerapkan ilmu-ilmu IPA dan IPS dalam mengoperasikan komputer? Apakah seorang mekanik sepeda motor menggunakan ilmu-ilmu bilogi, kimia dan matematika ketika memperbaiki sepeda motor?

Apakah seorang petani menggunakan ilmu-ilmu geogarfi, fisika dan biologi ketika menanam dan merawat tanamannya?. Jawablah pertanyaan diatas dengan jujur.

Untuk bisa bersekolah diperlukan biaya yang tidak sedikit. Siswa-siswa sekolah juga memerlukan waktu yang banyak, tenaga, dan pikiran yang tak sedikit dalam menjalani kegiatan di sekolah. Kasihan anak-anak Indonesia yang telah mengorbankan banyak hal demi meraih ilmu yang tak bermanfaat dan tak dapat diaplikasikan. Begitu banyak ilmu yang dipelajari di sekolah, namun sangat sedikit yang bisa diterapkan di suatu profesi/pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.

Umumnya tamatan SMU cenderung kurang mampu langsung bekerja dikarenakan disekolah tidak diajarkan keterampilan dan keahlian tertentu. Sementara sebagian besar lapangan kerja di Indonesia berada di sektor UMKM.

Untuk bekerja di sektor UMKM cukup memiliki satu atau dua keahlian di bidang tertentu, bukan ilmu pengetahuan di banyak bidang namun tak dapat diterapkan dalam pekerjaan.

Biasanya pemuda tamatan SMU/SMP ketika diterima bekerja di suatu perusahaan, maka perusahaan tersebut perlu mengadakan training atau pelatihan. Lalu bagaimana dengan ilmu-ilmu yang telah dipelajari di sekolah, mengapa mereka masih perlu di training, sementara mereka telah 12 tahun belajar begitu banyak ilmu di sekolah. Inilah buktinya bahwa ilmu-ilmu yang dipelajari disekolah tidak bermanfat, tidak dapat diaplikasikan dan diterapkan di dalam pekerjaan atau profesi tertentu. Sementara dalam mendapatkan ilmu-ilmu tersebut telah dikeluarkan biaya yang tak sedikit, waktu, tenaga dan pikiran selama bertahun-tahun.

Sebagai seorang muslim sudah selayaknya kita menjauhi hal-hal yang tak bermanfaat. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadist shahih yang tercantum dalam kitab Arba'in An-Nawawi, yang artinya: "Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat"

Solusi

Dengan mendirikan lembaga pendidikan non-pemerintah sehingga kurikulum yang diajarkan bisa fleksibel. Materi pelajaran yang akan diberikan kepada para siswa diseleksi sedemikian rupa sehingga hanya ilmu-ilmu yang benar-benar bermanfaat yang dimasukkan kedalam kurikulum sekolah.

Salam
Frans Thamura