Minggu, 05 Desember 2010

Kisah Orang Bodoh

Ketika awal masuk kuliah di kampus tahun 1999, kami para mahasiswa baru harus mengikuti tes TOEFL, hasilnya banyak teman dari kota besar terutama dari jakarta dan Bandung ber-skor 500 ke atas, sedangkan saya yang tinggal di desa walau SMA di kota sidoarjo hanya 300 :) Bodohnya saya juga tidak merasa perlu untuk khawatir tuh.. :) Saya masih merasakan euforia kebanggaan sebagai anak desa yang miskin yang diterima di itb yang merupakan pertama kalinya di kalangan keluarga besar. Pun di masa kuliah banyak teman saya yang ikutan kursus bahasa inggris dan kegiatan semacam Student English Forum, saya malah tenggelam dengan kegiatan lain yang tidak
terlalu produktif dan malah bergumam dalam hati, "ngapain sih ikutan kayak gituan..."

Ketika teman-teman begitu bersemangat kuliah dan begitu ambisius untuk mendapatkan IP bagus, saya malah jarang kuliah dan lebih banyak menghabiskan waktu utk wirausaha dan kegiatan luar sambil berkata, "kuliah tidak penting..." Kebetulan saat itu usaha saya dan teman-teman lagi bagus, sebagai mahasiswa yang biasa dibuat dag dig dug dengan budget bulanan tiba-tiba punya sepeda motor, megang laptop, pake hp dan bepergian ke jakarta dan daerah lain secara intens karena proyek. Saya merasakan euforia mahasiswa kaya baru. Tapi saya tidak punya rencana bagaimana jika gagal, padahal saya bukan dari keluarga mampu yang bisa membantu kalo saya jatuh.

Ketika usaha saya mulai menurun setelah lulus kuliah tahun 2006, saya mulai sadar betapa bodohnya saya ketika mengobrol dengan teman saya yang ketika itu bekerja di IBM, intinya dia bercerita bahwa sejak awal kuliah dia sudah merencanakan akan bekerja di perusahaan seperti Boston Consulting dan akhirnya terwujud di IBM. Dia sudah mempersiapkan kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk bekerja di perusahaan seperti itu.

Sesuatu yang sedikit saya sesali kenapa tidak saya lakukan sejak dulu. Saya mulai terintimidasi melihat perkembangan teman-teman seangkatan yang sudah mulai mapan secara karir dan penghasilan. Sejak itulah saya mulai banyak mendengar dan menganalisa diri.

Berikut pelajaran yang saya dapatkan :

1. Saya harus memperluas wawasan yang tepat

Saya lahir di desa dari keluarga berpendidikan rendah dimana tidak ada budaya intelektual, saya juga jadi harapan keluarga untuk meningkatkan taraf hidup. Mestinya saya lebih cerdas untuk bisa berkembang secara pribadi dan lebih memberikan perhatian ke perubahan budaya keluarga agar adik-adik saya bisa meningkat juga taraf hidupnya.

Sejak itu saya lebih sering bertemu dengan orang-orang yang saya anggap berhasil dan minta nasihat ke mereka tentang hidup dan masa depan. Saya memang tidak punya ayah, saudara atau kakak yang bisa mengarahkan tapi saya bisa mencari figur-figur itu ke orang lain yang tepat dan itu saya dapatkan dari Pak Budi Rahardjo yang eks direktur Mandiri Sekuritas, Pak Johand Dimalouw yang mantan VP Chevron, Pak Boyke yang owner RPE, Mas Bakhtiar Rakhman yang produser Laskar Pelangi, dan alumni yang lain.

Saya juga mendapat banyak input dari membuat program ALUMNI BERPRESTASI untuk alumni SMAN 1 Sidoarjo dengan mewawancarai 15 profil alumni inspiratif. Mereka orang-orang hebat yang bisa sukses dengan menjadi dirinya sendiri.

2. Saya harus punya rencana hidup

Tidak semua input yang saya terima bisa saya aplikasikan, saya sesuaikan dengan kondisi saya dan saya harus punya back up plan kalo gagal dengan impian saya.

3. Saya harus terus belajar

Saya kutip quote ini dari FB Usman Efendi, teman smp dan sma saya, "jika kita selalu merasa paling benar maka kita semakin salah, jika kita merasa paling pintar maka kita semakin bodoh saja, jika kita merasa paling kuat, itu artinya kita semakin lemah..."

Ada masukan lagi?
Semoga teman-teman bisa belajar dari kebodohan saya ini :)

Salam
Rulan Kis

Contoh Pejabat Anti Korupsi

(sebuah humor)

Setelah proyek multimilyar dollar selesai, sang Dirjen kedatangan tamu bule wakil dari HQ kantor pemenang tender. Udah 7 tahun di Jakarta jadi bisa cakap bahasa Indonesia .

Bule: "Pak, ada hadiah dari kami untuk bapak. Saya parkir dibawah mercy S320."

Dirjen : "Anda mau menyuap saya? Ini apa-apaan?. Tender sudah kelar kok. Jangan gitu ya, bahaya tau haree genee ngasih-ngasih hadiah."

Bule: "Tolonglah pak diterima. Kalau tidak, saya dianggap gagal membina relasi oleh kantor pusat."

Dirjen: "Ah, jangan gitu dong. Saya tidak bisa menerima mobil tersebut !!"

Bule (mikir ): "Gini aja, pak. Bagaimana kalau bapak beli saja mobilnya..."

Dirjen: "Mana saya ada uang beli mobil mahal gitu!!"

Bule menelpon kantor pusat.

Bule: "Saya ada solusi, Pak. Bapak beli mobilnya dgn harga Rp. 10.000,- saja."

Dirjen: "Bener ya? OK, saya mau. Jadi ini bukan suap/sogok, pakai kwitansi ya.."

Bule: "Tentu, Pak.."

Bule menyiapkan dan menyerahkan kwitansi. Dirjen membayar dengan uang 50 ribuan. mereka pun bersalaman.

Bule (sambil membuka dompet ): "Oh, maaf Pak. ini kembaliannya Rp.40.000,-."

Dirjen: "Gak usah pakai kembalian segala. Tolong kirim 4 mobil lagi kerumah saya ya..."

hahaha

Militansi

Mata saya tak berkedip memperhatikan sosok Fadli Sadama, tersangka tokoh teroris yg diektradisi Malaysia ke Indonesia. Tenang, usia muda, raut wajah bukan dari golongan kere dan terlihat cerdas. Sosok itu mirip dengan Imam Samudra, yang tak kalah ganteng dengan Alex Komang atau Slamet Rahardjo, bahkan tatapan matanya membuat orang bergidig. Keduanya punya militansi yang luar biasa.

Seorang aktivis LSM yg belum lama wafat, kagum dengan militansi mereka. "Jika kaum penyebar kebenaran memiliki militansi seperti itu, alangkah hebatnya...". Militansi itu punya landasan nyali, keberanian bersikap dan istiqomah. Tidak sedikit manusia Indonesia yg sangat bersih moralnya dan cerdas, namun tak bernyali, tak punya militansi. Sebaliknya, penguasa legislatif dan eksekutif lebih punya nyali dan militan.

Si bersih dan cerdas tak bernyali masuk ke pusat kekuasaan karena ditakut-takuti. "Masuklah politik, jika anda sudah kaya, jika tidak kalian akan mencuri..." Tesis ini diamini oleh semua orang. Padahal, kayakah Wachid Hasyim, M. Natsir dan Kasimo ketika tampil di panggung politik kita ? Tidak. Mereka bersahaja, bahkan Tan Malaka tak punya rumah seumur hidupnya.

Militansilah yg menjadikan Kuba, Korut, Iran dan negeri negeri yg diboikot sekutu AS itu tetap bertahan dan tentu militansilah yg memerdekakan Vietnam dari Prancis dan USA, Indonesia dari Belanda. Negeri dengan warga yang militan adalah negeri pembuat sejarah. Manusia militan seperti Zulkarnaen Agung, Muhammad SAW, Hitler, Soekarno hingga mak Eroh si penggali selokan, merekalah tokoh yang dicatat oleh sejarah, terlepas misi yang diembannya.

Mungkin itulah yang disitir sayyidina Ali bin Abi Thalib ra ketika mengatakan "kebaikan yang tidak well organised akan dilibas oleh kebejatan yang well organised" dalam well organised ada anasir militansi.

Salam
Ahmad Rizali

Pendekatan Hati Memompa Prestasi

Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan sangat familier, namun kita tak pernah tahu seberapa familier ungkapan itu terealisasi dalam kehidupan. Sebuah tuntutan yang mesti dijiwai dan diaplikasikan. Sekian hari sudah anak-anak mengenyam pendidikan di sekolah. Peran semua pihak mulai berjalan. Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus bersinergi, karena lewat anak-anaklah kejayaan negeri akan tercipta.

Mendidik anak memerlukan seni tersendiri. Oleh karena itu, orangtua, guru, dan masyarakat harus mengetahui seni mendidik, agar dapat memahami dunia mereka. Banyak kiat mendidik anak yang harus dikuasai para pendidik. Kegagalan pendidikan anak justru banyak diakibatkan oleh kelemahan pendidik dalam menguasai seni pendidikan. Ada sebagian orangtua maupun guru mendidik anak dengan kekerasan. Sebaliknya, ada yang mendidik terlalu lunak. Sedikit sekali pendidik yang menyeimbangkan dua tipe tersebut.

Kekerasan yang digunakan dapat menimbulkan tekanan psikologis anak. Mereka akan diliputi rasa takut, tidak percaya diri, takut menghadapi kegagalan, dan ragu-ragu mengambil keputusan. Gejala itu muncul akibat pelampiasan emosi terhadap apa yang pernah mereka alami. Di sisi lain, cara mendidik yang terlalu lunak dan memberikan kebebasan tanpa batas akan menimbulkan keburukan dalam pembentukan pribadi anak. Anak susah mandiri, suka mencari jalan singkat demi tercapainya keinginan.

Pandangan moderat berada di antara dua cara pendidikan tersebut. Terkadang cara keras dipakai sebagai salah satu usaha pendekatan, tetapi bukan satu-satunya pilihan. Kekerasan seperti sebuah hukuman terhadap kesalahan yang dilakukan anak hanyalah sebagai solusi terakhir setelah tak ada pilihan lain.

Anak yang berprestasi dalam dunia pendidikan bisa menjadi kebanggaan semua orang. Kebanggaan itu juga akan dirasakan para pendidiknya. Namun, bagi anak yang gagal, merasa semua orang menyalahkan kegagalannya. Padahal, kegagalan itu tidak semata-mata kesalahan si anak. Kegagalan atau kekurangan yang ada pada anak bisa juga disebabkan si pendidik yang kurang bisa menyelami mereka.

Melihat dari salah satu sisi pendidikan mereka di sekolah, sebagian besar waktu anak-anak ada di sekolah. Akankah ilmu itu mereka dapat hanya untuk mengejar intelektualitas, sedang moral terabaikan. Hal itu bisa saja terjadi jika pendidik lalai menjaga calon generasi negeri. Sering terjadi pendidik hanya menyampaikan penjelasan secara lisan maupun tertulis tetapi jarang disertai dengan pendekatan hati. Setiap anak didik itu berbeda, maka pendidik harus bisa memosisikan mereka.

Tatapan mata penuh kasih sayang bisa menambah kekuatan emosional dan rasa percaya diri. Meluangkan waktu khusus bersama anak juga penting, apalagi bagi anak yang sedikit mengalami keterlambatan intelektualitas. Dengan cara tersebut anak merasa terdorong untuk bisa lebih baik lagi. Sebagai pendidik, hendaknya bisa menyatukan hati dengan anak didiknya. Ramah dan berteman, hal itu akan membuat anak merasa makin dekat, sehingga nilai moral dan intelektualitas yang diharapkan ada pada anak didik niscaya akan terwujud.

Salam
Adetya Dewi Wardani

Guru dan Dosen

Guru ataupun dosen adalah jabatan fungsional yang sebenarnya memiliki lingkup kerja yang hampir sama, keduanya dipisahkan pada level jenjang pendidikan yang diampu. Guru dan dosen adalah salah satu tulang punggung masa depan bangsa dan negara. Suatu bangsa akan maju bila guru dan dosennya bekerja secara benar pada posisinya.

Alih-alih pemerintah ingin memberikan reward kepada guru dan dosen dengan cara memberikan tunjangan sertifikasi (baca: tunjangan bagi yg sudah mendapat sertifikat), apa daya pelayanan dan mutu pendidikan tak kunjung tercapai.

Awalnya tunjangan sertifikasi sebagai senjata ampuh untuk memuliakan guru dan dosen oleh pemerintah, tetapi kemudian senjata itu bagai makan tuan. Entah itu sudah menjadi watak dan karakter, sebagian guru kemudian menggunakan berbagai macam cara untuk bisa mendapatkan sertifikasi karena nilai nominal yang akan didapat sangat menggiurkan.

Tengoklah kejadian proses sertifikasi guru di Riau, ternyata para guru memalsukan karya-karya ilmiah sebagai sarat mendapatkan sertifikasi. Kalau guru saja sudah berani memalsukan karya ilmiyah, lalu apa jadi dengan muridnya, bak pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau demikian adanya apakah salah cita-cita pemerintah memuliakan guru dengan sertifikasi ternyata yang terjadi adalah penuruan moral para guru? Program sertifikasi ternyata banyak disalahartikan sebagai program kenaikan gaji berlipat-lipat. Perbedaan yang mencolok di lapangan antara guru ataupun dosen yang sudah sertifikasi dengan yang belum, hanyalah gaji saja sementara etos dan prestasi tak terlalu signifikan. Apakah pemerintah sudah melakukan evaluasi seberapa besar efek sertifikasi dengan kenaikan mutu kualitas para guru dan dosen?

Sebenarnya maksud pemerintah memuliakan guru dan dosen dengan tunjangan sudah benar, tetapi implementasinya yang sangat rentan dengan manipulasi. Pemberian tunjangan lebih kepada guru dan dosen sebenarnya tidak perlu melalui proses yang sangat rentan manipulasi yang akhirnya menurunkan martabat guru dan dosen itu sendiri?

Untuk dosen, sebenarnya dengan jenjang pendidikannya dan berapa publikasi ilmiah yang telah didesiminasikan tingkat international sudah bisa menunjukkan kualitas seorang dosen. Di negara lain seorang dosen yang sudah mencapai jenjang strata tiga (S3) pastilah dia akan langsung mendapat gaji yang standar untuk kesejahteraan hidupnya tanpa harus mengikuti persaratan lain dan tentunya akan meningkat sesuai prestasi yang dicapai. Hal ini tentunya juga agar memotivasi para dosen yang sudah S3 untuk dapat mengabdi ke institusinya.

Indonesia adalah negara yang berpenduduk banyak, yang tentunya juga sudah banyak penduduknya yang mencapai jenjang S3. Tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang S3 di luar negeri ogah-ogahan pulang membangun negarinya. Hal ini dikarenakan nasib mereka tidak akan segera cerah bila mereka tetap tinggal di luar Indonesia. Tentunya ini adalah masalah besar, mereka yang sudah S3 masih memandang feodalisme pangkat di Indonesia yang sangat kental walau di institusi pendidikan sekalipun. Sehingga mereka kalau pulang harus mengabdi dulu dengan gaji yang relatif rendah bahkan untuk mendapat tunjangan yang memadahi seperti tunjangan sertifikasi mereka harus rela menunggu urut kacang (baca: urut senioritas).

Kalau orang-orang yang S3 saja enggan untuk pulang kampung, jangan heran kalau mereka yang cuma alumni sekolah menengah beramai-ramai keluar Indonesia untuk antri menjadi TKI di luar negeri. Lalu kapan orang-orang cemerlang penduduk negeri ini mendapat peluang untuk membangun negerinya?

Salam
Moh. Khairudin

Yang Kaya Makin Tak Peka

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada sebuah tayangan acara di televisi. Dalam acara itu, ada seorang anak yang dekil dan lusuh meminta tolong soal hal sepele untuk membangkitkan rasa iba orang lain. Jika kita menyimak acara tersebut, bisa jadi kita terkejut oleh kenyataan bahwa biasanya orang yang mau peduli dan membantu justru bukan orang yang kelihatan mampu. Orang yang dalam pandangan umum diharapkan bisa memberi lebih.

Ternyata memang itulah yang terjadi. Ketika masyarakat umum berpikir bahwa orang yang punya kelebihan bisa membantu lebih banyak, yang terjadi justru sebaliknya.

Sebuah penelitian multipel di Amerika Serikat membuktikan bahwa orang-orang dengan status sosial-ekonomi tinggi (atau orang yang merasa diri mereka berkecukupan) lebih buruk dalam berempati dan menilai emosi orang lain dibandingkan dengan mereka yang punya status sosial-ekonomi lebih rendah.

Alasannya adalah bisa jadi orang dengan pendapatan atau pendidikan rendah merasa harus lebih responsif terhadap orang lain, kata penulis hasil penelitian itu, dalam penelitian post-doktoral psikologi di University of California, San Francisco.

Dalam penelitian Michael W. Kraus sebelumnya, ia menemukan bahwa orang yang lebih makmur cenderung lebih kasar daripada orang yang lebih miskin saat berbicara dengan orang yang tak dikenal. Mereka juga menemukan bahwa orang yang lebih miskin justru lebih pemurah dengan harta mereka dibandingkan dengan orang yang kaya raya. Kraus menduga empati orang yang lebih miskin bisa jadi menjadi akar dari sikap murah hati mereka. "Mereka sangat waspada akan kebutuhan orang lain, dan mereka langsung merespons apa yang mereka lihat," kata Kraus.

Para peneliti melakukan tiga penelitian untuk melihat kesenjangan empati antara orang kaya dan miskin. Pada awalnya, mereka memfokuskan diri pada aspek pendidikan dari status sosial-ekonomi. Peneliti melibatkan 200 pekerja universitas, mulai staf administrasi, pengajar, hingga manajer.

Lalu mereka mengumpulkan data dari tingkat pendidikan relawan, dan bertanya kepada mereka untuk mengidentifikasi ekspresi wajah dari sejumlah foto. Inilah tugas yang sebesar apa pun pendidikan kita tak menjamin kita untuk lulus. Sebab, justru mereka yang hanya lulusan sekolah menengah atas yang mendapat nilai rata-rata 7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang lulusan perguruan tinggi.

Jumlah angka mentah ini dikonversi ke skala yang rata-rata partisipan di penelitian itu, 100,89. Ketika angka itu dipecah berdasarkan kategori pendidikan, semua partisipan tersebut yang lulusan sekolah menengah atas mendapatkan nilai rata-rata 106, sedangkan partisipan yang lulus perguruan tinggi mendapat nilai rata-rata hanya 99.

Lalu si peneliti juga melibatkan 106 mahasiswa yang berhubungan satu dengan lainnya dalam kerangka wawancara kerja palsu. Mereka ditanyai bagaimana perasaan mereka dan bagaimana kira-kira perasaan rekan mereka selama wawancara berlangsung. Ternyata mereka yang sebelumnya tercatat menempati tingkat sosial-ekonomi tertinggi justru parah dalam menduga-duga perasaan rekan mereka.

"Hasil penelitian ini tidak melibatkan latar belakang gender dan etnik," kata Kraus. "Kita bisa dengan jelas melihat individu-individu yang berasal dari kelas yang lebih rendah justru menunjukkan akurasi empati yang jauh lebih besar dalam penelitian ini."

Tapi bagaimana jika orang yang lebih makmur itu menjadi demikian karena mereka sangat berfokus pada diri sendiri? Bagaimana jika ternyata kemakmuran tidak mempengaruhi empati, tapi justru empati yang mempengaruhi kemakmuran? Untuk mengetahui hal ini, para peneliti kemudian meneliti lagi 81 mahasiswa yang berbeda. Kali ini mereka diminta membayangkan orang-orang yang luar biasa kaya raya, orang-orang seperti Bill Gates.

Lalu para siswa itu diminta membayangkan diri mereka sebagai orang yang makmur dan menempatkan diri di tangga sosial-ekonomi. Sambil membayangkan figur seperti Bill Gates memicu mahasiswa untuk menempatkan diri mereka lebih rendah dalam tangga ekonomi dibanding seharusnya mereka berada. Sementara itu, mahasiswa lain yang diminta untuk membayangkan orang lain yang tidak makmur justru membuat mereka menempatkan diri sendiri lebih tinggi pada tangga status sosial-ekonomi.

Akhirnya, 81 mahasiswa tersebut melihat 36 foto close-up di bagian mata dan diminta menilai emosi yang digambarkan dalam gambar tersebut. Ternyata, mereka yang telah dimanipulasi hingga merasa diri mereka berada di kelas bawah 6 persen lebih akurat dalam menilai emosi dalam foto dibanding mereka yang dimanipulasi merasa diri lebih makmur.

Ini, kata Kraus, adalah temuan yang penting. "Jika memanipulasi, Anda bisa bicara tentang kepemimpinan kelas dalam empati," tutur Kraus, yang bersama koleganya dalam penelitian ini menerbitkan hasil penelitian itu dalam jurnal Psychological Science edisi Oktober 2010.

"Penelitian ini sangat menarik," kata Vladas Griskevicius, psikolog dari University of Minnesota yang tak terlibat dalam penelitian tersebut. "Sebagian besar peneliti semula berpikir bahwa semakin tinggi latar belakang status sosial-ekonomi seseorang, semakin baik mereka membaca emosi orang lain," kata Griskevicius. "Tapi penelitian ini menemukan hal sebaliknya. Bahwa orang dengan latar belakang status sosial-ekonomi lebih rendah justru lebih peka terhadap apa yang orang lain pikir dan rasakan."

Salam
Ahmad Rizali

Rabu, 01 Desember 2010

Renungan untuk Ibu

Untuk para sahabat yang masih memiliki ibu, berbahagialah
masih ada kesempatanmu
Aku dari golongan kurang beruntung
tak punya orangtua lagi, bahkan mertua,
bahkan ibu angkat,
semua sudah pergi.

Memang sudah kulakukan hal-hal seperti tertulis di bawah ini
tetapi rasanya belum maksimal
belum terbayar
tak kan pernah terbayar.

Silakan menikmati renungan di bawah ini
and do something now to show that you love your mom.

Aku punya pasangan hidup...
(Tentu engkau juga...)

Saat senang aku cari pasanganku
Saat sedih aku cari ibuku

Saat sukses aku ceritakan pada pasanganku
Saat gagal aku ceritakan pada ibu

Saat bahagia aku peluk erat pasanganku
Saat sedih aku peluk erat ibuku

Saat liburan aku bawa pasanganku
Saat aku sibuk kuantar anak ke rumah ibu

Saat valentine selalu beri hadiah pada pasangan. Saat hari ibu aku cuma ucapkan "Selamat Hari Ibu"

Selalu aku ingat pasanganku
Selalu ibu yang ingat aku

Setiap saat aku telpon pasanganku
Kalau inget aku telpon ibu

Selalu aku belikan hadiah untuk pasanganku
Entah kapan aku belikan hadiah untuk ibu

Renungkan ucapan Ibu:
"Kalau kau sudah habis belajar nanti, dan berkerja...,
bisakah kau kirim uang untuk ibu? Ibu tidak minta banyak... lima puluh ribu sebulan pun cukuplah".

Sudahkah kau lakukan itu? Atau justru menyesal karena ibu keburu pergi?

Berapa banyak yang sanggup menyuapi ibu....
Berapa banyak yang sanggup melap muntah ibu...
Berapa banyak yang sanggup mengganti lampin ibu...
Berapa banyak yang sanggup membersihkan najis ibu....
Berapa banyak yang sanggup membuang ulat dan bersihkan luka kudis ibu...
Berapa banyak yang sanggup berhenti kerja untuk menjaga ibu...
Dan... berapa banyak yang sembahyangi JENAZAH ibu...

Hormatilah dan sayangilah Ibumu...
Salam
Mohammad Ihsan

Gila VS Goblok

(sebuah anekdok)

Seorang sopir bis anter jemput orang gila menghentikan kendaraannya karena ban-nya kempes. Waktu sedang menukar ban, si supir nggak sengaja nendang 4 baut ke selokan dan hilang.

Dengan paniknya si supir ngomong : Gilaaa.....gimana gue musti masang ini ban kalo nggak ada bautnya....

Salah satu pasien nyaut dari dalem Bis : Bang...copotin aja tuh satu baut dari masing2 tiga roda yang ada.....ntar kalo ada toko baut, tinggal beli deh tuh 4 baut....

Si Supir langsung nyaut : Bener juga lo...tapi kok lo bisa masuk ke rumah sakit Gila sihhh.....

Si Pasien langsung nyaut : jiaaaaah,....gw ini GILA tauuk, bukannya GOBLOG kaya elo...:x

hehehe

Pendidikan Karakter... Mungkinkah?!.

Di konferensi guru Indonesia yang diselenggarakan oleh FKIP UKSW dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional, mengangkat tema Pendidikan Karakter Berwawasan Kebangsaan. Intinya core karakter yang ada pada masyarakat Indonesia sudah digagas oleh pendiri bangsa sesepuh bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Menurut Prof. Dr. John Titaley sebelum 17 agustus 1945 tidak ada Indonesia, yang ada masyarakat dibedakan berdasarkan etnisnya atau masih menggunakan identitas primordial. Untuk memecahkan masalah ini maka Soekarno mencetuskan ide tentang Pancasila dalam piagam Jakarta yang sempat mengalami sedikit perubahan sehingga dapat diterima oleh seluruh etnik yang ada di Indonesia.

Pada awal berdirinya Indonesia sudah dapat menerima keberadaan warga negaranya dengan beragam agama mereka masing-masing (inklusif) dan dalam hubungan kebersamaan mereka sebagai warga negara sangat terbuka untuk mengalami transformasi akibat perjumpaan itu (transformative).

Pendidikan nasional yang mewajibkan pelajaran agama menurut agama anak masing-masing berarti tidak mendidik anak Indonesia menjadi orang Indonesia, pendidikan yang demikian membuat anak Indonesia terasing dari religiositas Indonesia dan sesama bangsanya.

Pelajaran agama di sekolah akan mengkotak-kotakan murid sesuai agama yang dianutnya. Akan lebih baik jika pelajaran agama konvensional yang ada sekarang ditiadakan diganti dengan nilai-nilai luhur yang ada, karena pada kenyataannya murid-murid kita, ketika terjun di masyarakat akan bertemu banyak sekali perbedaan agama. Paling penting adalah bagaimana kita mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, bukan sekedar menghafal dan memahami saja, yang ini menurut saya, karena nilai-nilai yang terkandung di dalam agama juga banyak membahas masalah toleransi, menerima dan menghargai perbedaan, kasih sayang dan masih banyak lagi.

Menurut Titaley, sebelum tahun 1965, pelajaran agama tidak ada, yang ada adalah pelajaran budi pekerti. Mendengar kuliah singkat pak Titaley yang rektor UKSW ini ada pelajaran menarik yang saya peroleh, yang selama ini tidak pernah terlintas di pikiran saya. Memang pada kenyataannya murid-murid itu akan berada di lingkungan yang heterogen sehingga nilai-nilai yang harus ditanamkan adalah bagaimana menghargai perbedaan dan toleransi. Di sekolah pelajaran yang ada lebih pada, menghafal ayat suci, hadits dan seringnya jauh dari pengamalan dari ayat suci dan hadits tersebut. Lalu pelajaran agama seharusnya diajarkan di mana? Bisa dalam lingkungan keluarga, bisa di masyarakat dengan mengikuti kajian-kajian yang banyak diselenggarakan di daerah-daerah, karena keluarga mestinya jadi lingkungan yang dominan dalam perkembangan seorang anak.

Eddy Hartono dari Character First, berpendapat bahwa 80% mendidik karakter yang efektif adalah melalui keteladanan, 50% melihat dan 10% mengajar. So hehe... mendengar yang satu ini saya berpikir apa yang sudah saya perbuat untuk murid-murid saya, keteladanan? Jauuuhh, berusaha untuk yang terbaik buat murid, harus kali ya.

Pernyataan ini diamini juga oleh dua pembicara di hari kedua yaitu Dr. Adi Koesoemo dan Dr. Bambang Suteng. Pendidikan karakter yang paling efektif adalah KETELADANAN, menurut pak Bambang aturan sekolah hanya diperuntukkan buat anak atau murid namun tidak didukung oleh guru seperti misalnya kalau anak tidak boleh terlambat masuk kelas, maka gurunya juga seharusnya tidak boleh terlambat masuk kelas, kalau anak tidak boleh merokok, maka gurupun seharusnya tidak boleh merokok, jika anak tidak boleh membolos, gurupun seharusnya tidak boleh membolos "hingga hal ekstrim seperti video dan gambar porno pun walau tidak diketahui oleh muridnya sepertinya sangat tidak pantas jika guru memiliki karakter penggemar video dan gambar porno.

Hal-hal semacam ini "membuat pembedaan karena kau murid dan aku guru maka kita berbeda dalam melaksanakan aturan" akan menumbuhkan sikap munafik dan pembohong pada anak-anak kita. Jadi jangan melulu menyalahkan perilaku anak yang menyimpang sebelum kita instropeksi diri apa yang telah kita lakukan kepada mereka.

Karakter berbeda dengan sikap, sifat dan temperamen, sifat dan temperamen memang tidak bisa di bentuk, karena memang sudah dari sononya seperti yang kita tahu ada sanguine, melankolis, dll sedangkan karakter bisa dibentuk. Pada prinsipnya manusia memiliki kapasitas yang sama untuk membangun karakternya.

Ada 47 karakter yang bisa dibentuk diantaranya keberanian, kejujuran, keadilan, tanggungjawab, kepedulian, kepercayaan, empati, pengendalian, berbagi, kerjasama, persahabatan, toleransi, pengampunan, memberi, hikmat, imajinasi, sikap apa adanya, belas kasih, kesamaan, integritas, kreativitas, ketegasan, kehormatan, kebaikan, keikhlasan, loyalitas, humor dan masih banyak lagi yang bisa dilihat di characterfirst.org atau www.pendidikankarakter.org

Menurut Sunardi dalam makalahnya Pendidikan Karakter di Sekolah yang Membebaskan dan Penuh Keteladanan diungkapkan, pendidikan karakter bukanlah pendidikan yang penuh indoktrinasi melainkan penuh dengan keteladanan dan kebebasan untuk memilih nilai-nilai yang baik.

Menurut Eddy Hartono, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun tidak dapat terhindar dari konsekuensi dari setiap pilihannya.

Menurut saya dari konsekuensi atas kebebasan memilih tersebut kita dapat belajar, bagaimana rasa takut, bagaimana kecewa, bagaimana sakit hati, bagaimana marah, bagaimana gagal, bagaimana berhasil pembelajaran yang didapat pada akhirnya akan membuat kita dapat memanage hati dan perasaan kita untuk mendapatkan nilai yang baik dan berharga dari setiap peristiwa yang terjadi.

Oleh karena itu saya berpikir pendidikan karakter semestinya memiliki porsi yang jauh lebih besar daripada pelajaran akademik atau kognitif lainnya - menurut Charlotte Mason pendidikan karakter tidak perlu menjadi mata pelajaran tersendiri namun dapat diangkat dari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan pada anak-anak. Belakangan mulai dikembangkan matematika akhlak, pembelajaran fisika yang menyenangkan, pembelajaran akuntansi yang menyenangkan dan masih banyak lagi.

Kalau saya mungkin lebih ekstrim, tujuan pembelajaran anak-anak mestinya diubah bukan angka raport, lulus UN dan rangking 1 lagi "namun menjadi anak cerdas yang berakhlak mulia, menjadi anak cerdas yang sehat jasmani dan rohani" bukan anak cerdas tapi mencontek, bukan anak cerdas tapi curang, bukan anak cerdas yang tidak bisa bersosialisasi, bukan anak cerdas yang sombong, bukan anak cerdas yang gemar berbohong, bukan anak cerdas tapi egois.

Masalah mencontek, curang dan plagiat yang banyak dilakukan murid-murid, mahasiswa bahkan dosen-dosen kita merupakan akibat dari pembiasaan guru kita dahulu, jika menjawab pertanyaan soal ulangan harus pas persis dengan apa yang ada di buku "sejak kecil kita tidak dibiasakan untuk berpendapat dan menganalisa permasalahan yang ada di sekitar kita" karakter tidak jujur yang banyak terjadi sekarang adalah implikasi dari kebiasaan mencontek yang dibangun sejak kita kecil dulu.

Saya menyangsikan pendidikan karakter dapat diterapkan disekolah-sekolah kita. Menurut Doni Koesoemo pada tahun 80an saat pendidikan karakter mulai diajarkan di sekolah-sekolah di Amerika semua elemen masyarakat antusias menyambutnya, namun ketika ternyata banyak kendala yang terjadi antusiasme ini menjadi banal atau masuk dalam titik jenuh, masyarakat mulai tidak peduli lagi.

Namun walau menyangsikan tetap selalu ada sepercik harapan. Pendidikan karakter bisa efektif diterapkan jika, karakter kita guru dan orang tua yang ada di sekitar anak semestinya diperbaiki dulu. Menurut Charlotte Mason orang tua atau guru jika ingin mendidik anak harus menolkan dulu atau  menetralkan dulu kebiasaan buruk dan trauma masa kecilnya.

Saya ingat ada sebuah sekolah di Surabaya yang mengalokasikan budget besar untuk membentuk karakter guru-gurunya. Guru-guru tersebut diberi semacam training selama 3 bulan, diasramakan, sebelum mendidik anak-anak di kelas.

Pemerintah juga menyediakan budget besar untuk training sebelum seorang pegawai negeri diangkat. Namun training-training yang dibuat oleh pemerintah kebanyakan hanya formalitas semata. Tidak ada nilai khusus yang saya peroleh ketika saya menjalani training itu. Beda dengan training dan seminar yang saya ikuti dengan biaya sendiri. Peace pak pemerintah...It's true...:)

Klise semuanya mesti diawali dari diri sendiri, semua manusia berproses untuk menjadi lebih baik, berkarakter baik, rubah diri terlebih dahulu sebelum merubah karakter anak-anak didik kita.

KNOWING THE GOOD, LOVING THE GOOD, DOING AND ACTING THE GOOD
SEMANGAATT!!..AZA AZA FIGHTING!!...(^.^)/..

Sumber:

Prof. Dr. John A Titaley "Pendidikan untuk Nation and Character Building"
Dr. Eddy Hartono "Chadacter First!"
Dr. Doni Koesoema "Pendidikan Karakter dan Budaya Akademik di Sekolah"
Dr. Bambang S Sulasmono "Implikasi Pendidikan Karakter bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan"
Sunardi, S.Pd, M.Pd. "Pendidikan Karakter di Sekolah yang Membebaskan dan Penuh Keteladanan"
Rahayu Dwi Astuti "Desain Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Game Tournament dalam Pembelajaran Hukum Kirchof"
Helti Lygia Mampouw "Membentuk Karakter Siswa melalui Pembelajaran Matematika Aktif
Susiyanto "Quo Vadis Pendidikan Berkarakter di Indonesia"

Salam
Ameliasari

10 Penyakit Guru wajib diobati

WASPADAI 10 penyakit yang sering menyerang Penyakit memang sering menyerang semua orang tidak terkecuali. Tetapi tahukah anda, penyakit di bawah ini hanya menyerang pada guru saja,tidak pada semua orang pada umumnya. Nah loo, koq bisa gitu ya..??

Penyakit-penyakit itu antara lain :

1. KUSTA : Kurang Strategi

2. TBC : Tidak Banyak Cara

3. KUDIS : Kurang Disiplin

4. KERAM : Kurang Terampil

5. LESU : Lemah Sumber

6. WTS (agak memalukan ini) : Wawasan Tidak Luas

7. MUAL : Mutu Amat Lemah

8. TIFUS : Tidak Funya Selera mengajar

9. ASAM URAT : Asal susun materi, urutan tidak akurat

10. ASMA : Asal masuk kelas

Demikian penyakit-penyakit yang harus kita berantas. Bagaimana dengan Anda? Apakah mengidap salah satu penyakit di atas??

Segera atasi dengan terus meng up-grade diri melalui diklat sukses dan Maju Terus Pendidikan Indonesiaku...

Salam,
Permata Hati Education Center Learning

Rabu, 17 November 2010

Orang-Orang Idealis Biasa

Barusan saya ngobrol dengan seorang teman kos yang juga seorang alumni ITB lulusan 77, pernah di PT Dirgantara Indonesia selama 19 tahun. Gaji dia di PT DI pernah senilai $15.000 tapi sekarang sebuah mobil pun tidak punya. Dulu dia punya banyak anak buah tapi sekarang untuk tinggal pun harus menyewa di Jakarta. Sebelumnya saya sempat beberapa kali mengobrol dengan dia, dari beberapa ceritanya saya bisa menyimpulkan kalau orang ini lebih memilih jalur yang relatif lurus dari orang-orang sekualitasnya.

Beberapa tahun yang lalu saya sempat aktif menjadi tim sukses di pemilihan ketua alumni ITB, saya bertemu dengan beberapa alumni ITB yang karena idealismenya tidak punya apa-apa, bahkan ada yang saya rasa agak sakit jiwa. Salah satunya adalah mantan pegawai negeri yang merasa muak dengan sistem yang ada lalu memilih mengundurkan diri dan yang satu lagi saya tidak paham apa yang dia kerjakan sebelumnya.

Beberapa tahun yang lalu saya juga sempat memiliki teman kos pegawai pajak lulusan STAN tahun 90-an tapi masih juga menyewa di tahun 2005 atau sekitar 15 tahun masa kerja, orang yang sangat rajin datang ke masjid dan tidak banyak omong, keluarganya masih di Surabaya, tapi nasibnya mulai membaik setelah perbaikan gaji di depkeu, dan berkat bantuan kakaknya yang bekerja di perusahaan asing, si pegawai pajak ini akhirnya memiliki rumah di Cibubur.

Beberapa tahun yang lalu saya juga bertemu dengan seorang alumni ITB yang masih mau berjuang walau telah lulus kerja dari perusahaan asing yang mapan, mau berjuang membantu salah seorang tokoh yang terkenal idealis di sebuah pergerakan. Dia memiliki sebuah usaha dan juga mengajar sebagai dosen.

Mungkin kisah mereka tidak seheroik orang-orang yang ada di KICK ANDY, mereka orang-orang idealis biasa saja akan tetapi orang-orang seperti ini cukup banyak kita jumpai di masyarakat, kemampuan dan semangat mereka mungkin tidaklah sedahsyat para perintis besar di KICK ANDY, ada yang berhasil dalam arti punya kehidupan yang layak ada juga yang harus cerai dengan istri dan tidak punya apa-apa. Kisah ini selalu berulang-ulang, ada banyak mahasiswa idealis yang tetap bisa idealis ketika bekerja tapi tidak sedikit yang hanyut dalam sistem yang korup ala indonesia. Padahal menurut saya orang-orang idealis ini adalah aset berharga bangsa, kalau seandainya mereka bisa tetap idealis hingga akhir hayat, betapa beruntungnya negara kita karena semakin memperbanyak kelas menengah yang mandiri.

Kalau saya amati dari cerita keberhasilan dan kegagalan orang-orang idealis ini ada beberapa pelajaran agar orang-orang idealis bisa tetap idealis :

1. Pilih tempat kerja yang tepat

Perusahaan asing terutama barat punya budaya yang bagus untuk memelihara idealisme. Tapi sekarang juga ada perusahaan swasta lokal yang punya budaya serupa walau masih sedikit. Bagi yang suka mengembangkan orang, pilihan menjadi guru atau dosen juga bukan pilihan buruk karena gaji guru dan dosen sekarang mulai menarik. Teman saya yang bekerja sebaga pekerja sosial di NGO asing juga punya gaji yang cukup untuk membayar pendidikan S2-nya di UI yang terkenal mahal.

2. Gaya hidup yang terkendali

Banyak kasus ketika seorang idealis bekerja di tempat yang tepat tapi tetap lupa dengan idealismenya karena penyakit OKB (Orang Kaya Baru), tiba-tiba punya aktivitas konsumsi berlebihan ketika banyak uang. Saya lihat orang-orang tetap mempertahankan idealismenya cukup pintar mengatur keuangannya untuk masa depannya.

3. Pasangan hidup yang tepat

Ada kalanya seseorang sudah punya tempat dan gaya hidup yang kondusif tapi masih gagal mempertahankan idelismenya karena faktor pasangan hidup yang tidak tepat, ada banyak kasus orang menjadi lupa daratan karena anjuran pasangan. Banyak yang jatuh karirnya karena kebiasaan belanja pasangan yang berlebihan.

Ada masukan ?

Salam
Rulan Kis

Negara Tak Boleh Kalah Lawan Gayus

Aliksah seorang narapidana bernama Anton Medan. Di sel tahanan yang dingin di LP Cipinang, ia mengaku sempat mempunyai anak. Ia melakukan hubungan suami isteri secara diam-diam dengan menyewa ruangan para petugas. Maka, bisnis seks saat itu bukan barang gelap lagi. Setiap nafsu terlayani walau sesaat di ruang-ruang para petugas sipir penjara atau malah ruangan kepala Lapas.

Sejak itu, kisah bisnis seks di penjara terus terjadi. Tidak hanya sang isteri yang menjenguk dan dijadikan pelampiasan nafsu, WTS pun sering kali disewa di sana. Para napi narkoba yang berkewarganegaraan asing biasanya menggunakannya. Seorang napi yang dikenal public juga dikabarkan berkencan dengan koleganya di kamar khusus di atas sofa yang dingin. Setiap ada uang, semua kebutuhan di penjara bisa terjamin.

Dan begitulah ketika Gayus Tambunan memakai uangnya untuk urusan rehat. Dia tak hanya bisa pulang ke rumah dan mengencani isterinya, tetapi dia juga bisa plesiran. Penghuni Rutan Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat yang ada di sini tak hanya Gayus. Besan Presiden SBY Aulia Pohan juga pernah menginap di sini. Juga Susno Duadji, mantan Kabareskrim, sampai sekarang juga ditahan di sini. Susno juga diduga bisa keluar masuk dengan enteng. Bagaimana Aulia Pohan?

Jika yang lain bisa, kemungkinan besar, Aulia Pohan juga bisa keluar masuk sesukanya. Asal ada uang, Rutan Mako Brimob bisa dibeli dan dipesan kapan saja dan oleh siapa saja. Tak percaya, lihatlah kasus terpidana teroris Bom Bali Ali Imron juga bisa keluar masuk sesukanya. Ia bahkan pernah kongkow-kongkow di Starbuck Café Thamrin Jakarta bersama pejabat Densus 88. Ali Imron yang tubuhnya makin tambun dan tampak sumringah itu tidak pernah mengigil di teralis penjara. Apa saja bisa dilakukannya. Termasuk jalan-jalan dan kongkow-kongkow seperti di Starbuck itu. Maka rumah tahanan dan penjara seperti bukan lagi sarang penyamun bagi kalangan berduit.

Kini, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengusulkan dibuat ruang khusus seks di setiap penjara di Indonesia. Usulan ini dilandasi alasan kemanusiaan. Sebab, napi juga manusia yang harus diperhatikan masalah yang sangat manusiawi yakni kebutuhan seksnya.

Sekilas usulan ini baik. Tetapi sejatinya tidak tepat. Usulan ini sering dimunculkan dengan beragam argument kemanusiaan. Justru di sinilah pentingnya penjara. Setiap orang di lapas merupakana orang-orang yang dikekang kebebasannya, dirampas kebebasannya. Mereka dalam rangka menjalani hukuman atas perbuatan bejat yang dilakukannya. Aparat keamanan dan Negara diberi kewenangan untuk merampas kebebasan orang-orang jahat itu dan Negara memasukkanya ke penjara. Di dalam penjara mereka betul-betul dikekang kebebasannya, tidak boleh melakukan kegiatan di luar aturan. Di situlah sejatinya aturan itu ditegakkan.

Dengan dirampas kebebasannya, kita berharap para napi akan sadar, jera dan tidak lagi melakukan perbuatan kejinya. Dengan dikekang kebebasannya dan hak-haknya, para napi diharapkan bisa menjadi orang baik-baik ketika kembali ke masyarakat. Ironisnya, semua kewenangan untuk merampas kebebasan dan mengekas kebebasan itu justru diperjualbelikan oleh petugas dan pejabat rumah tahanan dan Lapas.

Tidak boleh ada ruangan khusus sesks di dalam penjara. Aturan ini ditegakkan agar napi menjadi jera dan tak melakukan perbuatan jahatnya. Juga tidak boleh petugas menjualbelikan aturan ini demi uang dan harta lainnya. Di sinilah kita diuji apakah kita bisa menegakkan aturan, kuat dan tegas melawan mafia kejahatan yang juga masuk ke dalam rutan dan penjara. Kita harus kuat. Kita harus tegas terhadap setiap kejahatan dan setiap pelaku pelanggaran hukum. Kita tidak boleh kalah dengan mereka. Negara juga tidak boleh menjadi impoten terhadap para mafioso kejahatan ini.

Best Regards,
Mahmuddin

Minggu, 07 November 2010

Arti hidup bagi Anda?

Pernahkah Anda merasa sangat jenuh, bosan dan sebagainya sehingga malas bekerja, belajar, beraktivitas?

Pernahkah Anda begitu 'merindukan' hari libur dan 'membenci' hari Senin?

Pernahkah Anda (bagi yang sudah bekerja), frustasi karena tidak juga naik gaji, pangkat atau jabatan?

Pernahkah Anda mendapat tugas tambahan dan membuat Anda merasa terbebani?

Jika jawaban Anda SERING, maka Anda perlu merenungi arti hidup ini.

Saya dua pekan terakhir mengalami hal tersebut dan menemukan jawabannya dari slide Pak Rama Royani yang diringkas sebagai berikut :

Manusia memaknai hidupnya ada 3 kelompok yaitu hidup sebagai pekerjaan, karir dan panggilan. Tiap kelompok tersebut dibagi atas 4 kategori yaitu : motivasi, bekerja sebagai, harapan, mencari. Mari kita lihat satu persatu.

1. Hidup sebagai PEKERJAAN maka :
- MOTIVASI : gaji, bayaran
- BEKERJA SEBAGAI : kebutuhan hidup
- HARAPAN : NAIK GAJI
- MENCARI : Liburan Akhir Pekan

2. Hidup sebagai KARIR
- MOTIVASI : uang dan kemajuan
- BEKERJA SEBAGAI : perlombaan
- HARAPAN : kekuasaan dan kebanggaan
- MENCARI : promosi

3. Hidup sebagai PANGGILAN
- MOTIVASI : amanat, perintah Allah
- BEKERJA SEBAGAI : khalifah, utusan Allah
- HARAPAN : dunia yang lebih baik
- MENCARI : lebih banyak tugas

Jika Anda memandang hidup hanya sebagai PEKERJAAN, maka akan sulit melakukan aktivitas dengan ENJOY (enak), EASY (enteng), EXCELLENT (edun) dan EARN (untung). Beraktivitas dengan penuh kebosanan, tanpa semangat, menunggu akhir pekan agar bisa liburan. Hidup menjadi kurang bermakna, hanya berputar dari satu aktivitas ke aktivitas lain yang rutin dan membosankan.

Jika Anda memandang hidup sebagai KARIR, maka Anda bisa melakukan aktivitas dengan ENJOY (enak), EASY (enteng), EXCELLENT (edun) dan EARN (untung). Hanya masalahnya, jika tidak mendapatkan kekuasaan dan kebanggaan seperti jabatan, popularitas, maka Anda bisa juga frustasi dan stress. Merasa kurang dihargai.

Yang sangat baik adalah memandang hidup sebagai PANGGILAN. Kita diciptakan Allah sebagai khalifah, utusan-Nya untuk membuat dunia lebih baik. Segala yang kita lakukan bermakna dan kita maknai sebagai ibadah dan pengabdian kepadaNya. Sehingga mendapat tugas tambahan, bukan sebagai beban tapi kesempatan untuk beramal lebih baik dan lebih banyak. kesempatan untuk berbagi dan memberi manfaat untuk manusia dan lingkungan.

semoga bermanfaat...
Mohammad Ihsan

Lagu Anak yang Tidak Mendidik?

Masih ingat syair ini?

Aku seorang kapiten. Mempunyai pedang panjang.
Kalau berjalan prok..prok..prok... Aku seorang kapiten…

Lagu ini jelas tidak nalar. Berjalan prok prok adalah akibat dari menggunakan sepatu yang terbuat dari logam atau bahan yang keras sehingga menimbulkan bunyi prok prok. Padahal yang disebutkan adalah pedang panjang. Seharusnya kalau mau sinkron, syair lagu tersebut digubah menjadi:

Aku seorang kapiten. Mempunyai pedang panjang.
Kalau berjalan dul gundal gandul, dul gundal gandul.


Lagu berikutnya:

Naik naik ke puncak gunung. Tinggi tinggi sekali.
Kiri kanan kulihat saja. Banyak pohon cemara…


Lagu ini mengajarkan seorang anak menjadi pasif dan tidak memiliki inisiatif. Lah, sudah naik gunung koq cuma tolah-toleh kiri-kanan seperti orang bego? Yach mbok kreatif dikit. Buat puisi yang menggambarkan keindahan gunung kek, melukis kek, membuat foto kek atau aktivitas lain yang menggambarkan kreativitas.

Lagu berikutnya:

Di pucuk pohon cempaka. Burung kutilang berbunyi. Bersiul siul sepanjang hari dengan tak jemu-jemu. Mengangguk-angguk sambil berseru. Trilili lili lili lil…

Lagu ini jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seekor burung bersiul-siul sepanjang hari. Pasti burung tersebut juga perlu mencari makan dan minum, selain hanya bersiul-siul sepanjang hari. Lagipula kalau sudah malam tidak mungkin burung kutilang masih bersiul-siul.

Lagu berikutnya:

Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarungi luas samudera…

Lagu ini jelas tidak mengajak anak-anak untuk mengenal nenek moyangnya secara baik. Kenapa? Based on sejarah, etnis atau suku di Indonesia yang terkenal dengan jiwa pelaut adalah etnis Makassar, tepatnya yang berasal dari Bulukumba cmiiw. Hal ini masih terbukti sampai sekarang. Mereka terkenal dengan perahu Pinisi. Padahal etnis di Indonesia ada begitu banyak. Sebut saja etnis Jawa, Bali, Padang, Ambon, Papua, dan lain-lain. Dengan menyebut nenek moyangku orang pelaut, secara tidak langsung, terjadi pembunuhan karakter seorang anak akan etnis yang mengalir dalam darahnya. Secara tidak langsung pula, seorang anak yang berasal dari suku jawa dipaksa memiliki nenek moyang yang bukan dari asal usulnya.

Lagu berikutnya. Mungkin pembaca ada yang pernah ikut pramuka dan masih ingat dengan syair:

Di sini senang, di sana senang di mana-mana hatiku senang. Di rumah senang, di sekolah senang. Di mana mana hatiku senang. Lalalaalala…

Ini lagu yang tidak proporsional dan mengajarkan anak menjadi tidak balance dalam hidup. Kenapa? Namanya hidup itu ada turun, ada naik. Ada senang, ada susah. Tidak tepat bila setiap saat selalu senang. Dengan lagu ini anak menjadi tidak siap bila menghadapi kesusahan karena terpatri dengan syair di mana-mana hatiku senang.

Lagu berikutnya:

Burung kakak tua. Hinggap di jendela. Nenek sudah tua. Giginya tinggal dua…

Lagu ini mengajarkan anak menjadi tidak sopan terhadap orang tua. Masa, seorang nenek dipadankan dengan burung kakak tua? Lagu inipun mengajarkan anak-anak untuk mengolok-olok orang yang sudah tua.

Lagu berikutnya:

Bangun tidur ku terus mandi. Tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu. Membersihkan tempat tidurku…

Lagu ini mengajarkan anak untuk tidak terprogram dan mengerjakan sesuatu secara acak dan asal. Seharusnya bangun tidur membersihkan atau mengatur tempat tidur dulu, baru mandi dan menggosok gigi. Lah, ini sehabis mandi langsung menolong ibu. Seharusnya habis mandi yach handukan dulu dan mengenakan baju, kemudian menolong ibu. Masa menolong ibu dalam keadaan badan basah dan bugil? Bukannya malah membuat rumah jadi basah dan becek karena badan belum kering?

Mungkin pembaca masih ada yang ingat dengan Debby Rhoma Irama? Syair lagunya sebagai berikut:

Idih papa genit. Suka ciumin mama. Debby jadi iri. Mau dicium juga….

Lagu ini syairnya tidak baik karena mengajarkan anak untuk suka mengintip aktivitas orang dewasa sehingga menjadi "matang" sebelum waktunya. Selain itu syair yang menyebutkan mau dicium juga mengajarkan wanita kecil menjadi kegatelan. So, jangan heran kalau sekarang banyak kasus video porno. Soalnya, sedari kecil sudah terbiasa untuk mengintip aktivitas orang dewasa, Cuma saja, dulu sarana untuk merekam adegan porno belum banyak dan mudah didapat.

Adakah KoKiers yang ingat dengan lagu Norma Yunita? KoKiers yang lahir tahun 1980-an mungkin kurang familiar dengan lagu ini.

Kakek yang sakti. Tolonglah kami. Tolong pinjam golok saktimu. Untuk kami menjolok bulan…

Anak kecil, kok, sudah mulai dibiasakan dengan klenik dan menyukai kekerasan. Bayangkan saja, kecil-kecil sudah dikenalkan dengan golok. Goloknya sakti pula. Anak-anak juga diajari untuk tidak logis. Memangnya bulain itu sama dengan buah mangga atau jambu yang bisa dijolok? Hehehehe….

Bulan itu letaknya sangat jauh, bermil-mil dari bumi. Bagaimana mungkin menjolok bulan seperti menjolok buah mangga? Bisa pegel-pegel lehernya. Lagi pula, kalau mau menjolok biasanya menggunakan bambu atau galah, bukan golok. Golok untuk menebas atau memotong. Sangat tidak nalar, ya?

Lagu anak-anak jadul berikut dinyanyikan oleh Joan Tanamal. Syairnya seperti ini:

Mama lihatlah kodok melompat. Joan takut Ma, lihat matanya….

Bukankah anak-anak sebaiknya diajarkan untuk menjadi pemberani? Nah, lagu ini malah mengajari anak menjadi penakut. Duh…..Padahal seharusnya usia anak anak adalah masa keemasan untuk mengajarkan banyak hal dan menamamkan jiwa explorer. Dengan kodok aja takut. Bagaimana mungkin mereka memelajari hewan lain yang jauh lebih besar dan berbahaya seperti buaya, ular, dan lainnya?

Adi Bing Slamet dan Chicha Koeswoyo sangat terkenal pada tahun 1970-an. Salah satunya yang bersyair seperti berikut:

Chicha bertanya: "Adi kau mau kemana?''
Adi menjawab: "Mau pergi tamasya."
Chicha bertanya lagi: "Adi boleh aku ikut?"
Adi menjawab: "Tentu asal menurut."

Anak kecil kok mau tahu urusan orang lain dan tidak menghargai privasi orang lain. Lagian, orang mau pergi kemana, kenapa juga mesti ditanya-tanya kalau tidak ada kepentingannya.

Lagu berikutnya, masih agak baru sekitar tahun 1990-an. Tentu banyak KoKiers masih ingat Joshua dengan lagu Diobok-obok.

Diobok-obok airnya diobok obok.
Ada ikannya kecil-kecil pada mabok


Lagu ini mengajarkan anak-anak untuk merusak dan tidak mencintai hewan peliharaan. Ikan yang kecil, lucu dan manis koq airnya malah diobok-obok. Yach, matilah si ikan.

hahaha
KoKiers

Jadi Ibu di Usia 10? Bukan Hal Aneh

Barat kerap menyerang masalah nikah muda dalam Islam, padahal mereka sangat permisif dengan seks bebas di kalangan bocah remaja

Masyarakat Barat sering mempermasalahkan pernikahan usia muda di negara-negara Muslim. Kaum feminis, aktivis perempuan dan HAM Barat kerap menyerang isu itu untuk menyudutkan Islam sebagai agama yang tidak beradab. Padahal di negara Barat hubungan seks diusia muda bahkan marak dan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum. Salah satu contoh kasus terbaru adalah anak perempuan di Spanyol berusia 10 tahun yang sudah melahirkan bayinya.

Sebagaimana dilansir BBC (3/11), seorang anak berusia 10 tahun membuat pusing pemerintah Spanyol setelah dia pekan lalu melahirkan.

Anak kecil itu adalah seorang gadis gipsi dari Romania dan belum lama tiba di Spanyol ketika melahirkan. Dia melahirkan di sebuah rumah sakit di Jerez, Spanyol selatan, kata menteri urusan sosial Andalusia Micaela Navarro.

Ibu dan bayinya--yang diberi nama Nicoletta--dikabarkan dalam kondisi sehat. Ayah sang bayi diperkirakan berusia 13 tahun dan masih berada di Romania.

Sebelumnya pada tahun 2009 di Inggris ada Alfie Patten, bocah laki-laki 13 tahun yang menghamili pacarnya yang berusia 15 tahun.

Sebagai respon dari kasus itu National Health Service (NHS) kota Sheffield bahkan menyebarkan brosur dengn judul "pleasure" kepada anak-anak sekolah yang menganjurkan untuk melakukan seks. "An orgasm a day keeps the doctor away", demikian tulisnya.

Tidak hanya itu, slogan tersebut ditambah dengan anjuran yang berbunyi, "Para pakar pemerhati kesehatan menganjurkan untuk mengkonsumsi 5 porsi buah dan sayuran sehari, dan 30 menit gerak badan tiga kali seminggu. Bagaimana dengan hubungan seks atau masturbasi dua kali seminggu?". Baca berita sebelumnya Walah, Remaja Inggris Dianjurkan Seks Bebas!

Rupanya melahirkan diusia sangat belia bukan hal yang aneh bagi keluarga asal Romania itu. Nenek si bayi, Olimpia, tenang-tenang saja. "Itu usia kami menikah di Romania," kata si nenek seperti dikutip koran Diario de Jerez. Olimpia sendiri menikah pada usia 10 tahun.

Di Spanyol, hubungan seksual secara hukum tidak dipersoalkan bagi warga usia 13 tahun. Statistik dari tahun 2008 menunjukkan bahwa 177 anak usia di bawah 15 tahun melahirkan, dan sekitar 500 lain melakukan aborsi.

Maka adalah hal yang aneh jika para feminis, aktivis perempuan dan HAM Barat sibuk mengecam pernikahan muda di negara-negara Islam. Padahal budaya mereka sendiri sangat permisif dengan hubungan seks di usia muda, bahkan hubungan itu dilakukan di luar pernikahan alias zina. Sudah jelas kebudayaan mana yang sebenarnya tidak beradab.

Sumber : www.hidayatullah.com

Rabu, 03 November 2010

Guru dan Pesan Cinta Zulaikha

”Ojo nggege mongso.” Pesan yang berisi nasihat itu diberikan wartawan senior Tempo sekaligus sastrawan Goenawan Mohammad kepada Widi Yarmanto dari Gatra.

Saya mendapati ”keabadian” pesan tersebut dalam tulisan Widi yang bertajuk Cinta di majalah Gatra No 40 Tahun VII, edisi 25 Agustus 2001. Widi adalah pemimpin redaksi Gatra yang saat itu digawangi Yudhistira A.N.M. Massardi sebagai pemimpin umumnya.

Bagi saya, tulisan Widi sama berkualitasnya dengan Goenawan. Maklum, Widi lama berada di ”kawah candradimuka” Tempo di bawah pimpinan Goenawan sebelum berlabuh ke Gatra.

Banyak persamaan rubrik Esai di Gatra dengan Catatan Pinggir di Tempo. Yakni, sama-sama berada di halaman terakhir. Ini juga yang penting: sama-sama enak dibaca, sama-sama informatif dan edukatif, serta sama-sama ditulis jurnalis kawakan yang hebat. Bagi saya, itulah kekuatan dua majalah tersebut.

Dalam tulisan bertitel Cinta, Widi berkisah tentang pengalamannya merayakan 40 tahun Goenawan sebagai penulis sekaligus ultah ke-60 Goenawan pada 2001. Acara yang dihelat di Jakarta itu berisi ceramah, diskusi, dan peluncuran buku.

Widi mengaku tak bisa melupakan kebersamaannya selama hampir 20 tahun bersama Goenawan di Tempo. ”Ia (Goenawan Mohammad, Red) membimbing kami dengan nada canda, serius, dan sering jengkel. Kadang ia diam, menutup mulut. Marah karena kami tak disiplin pada deadline, atau menggarap majalah setengah hati. Tidak profesional. Ia bisa menempatkan diri sebagai kakak, teman, atau bos dengan segala kesederhanaannya,” tulis Widi (rubrik Esai, Gatra, 25 Agustus 2001).

Yang jelas saya tangkap adalah kalimat nasihat Goenawan ”Ojo nggege mongso.” Artinya, Jangan mengharapkan sesuatu yang belum waktunya.

Bagi Widi, warning itu mungkin benar, mungkin pula kurang tepat. Sebab, cinta tidak bisa dimatematiskan. Sebagaimana ditulis Imam Al-Ghazali yang menyitir Asy-Syibli, cinta adalah ketercengangan dalam kelezatan dan kebingungan dalam pengagungan.

***

Paradigma pendidik sangat terkait dengan cinta. Dalam hal ini, cinta adalah perhatian sepenuh hati kepada sebagai bentuk profesionalisme dalam menjalankan tugas. Jamak diketahui, sejak adanya sertifikasi, tak sedikit orang yang menjadi guru demi alasan tunjangan setelah lulus/lolos sertifikasi. Ya, ada yang bilang bahwa kesejahteraan guru kini semakin terjamin. Beda dengan dulu, saat profesi itu kerap dikebiri, sebagaimana diabadikan oleh Iwan Fals dalam lagunya, Oemar Bakri (1981).

Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri banyak ciptakan menteri

Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Itu dulu, sekarang era korps Oemar Bakri agaknya bisa tersenyum dengan adanya program sertifikasi oleh pemerintah. Terlepas dari pro-kontra soal sertifikasi, toh tak sedikit yang mengakui bahwa kesejahteraan guru kini lebih meningkat, lebih baik.

Ada sisi positif, tentu ada sisi negatifnya. Dari sudut ironi, adanya sertifikasi justru menjadi bumerang bagi ”pengebirian” baru terhadap profesi mulia itu. Indikasinya, demi lolos sertifikasi, ada guru yang rela membeli sertifikat seminar, memalsukan syarat protofolio lain, dan melakukan praktik tak terpuji seperti copy paste karya tulis ilmiah. Sebuah pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah dan seluruh elemen yang peduli pendidikan.

Belum tuntas masalah itu, kini profesi tenaga pendidik (guru) mulai banyak dilirik. Hal tersebut terlihat dari besarnya animo calon mahasiswa untuk masuk ke universitas negeri bekas IKIP. Tak sedikit yang beralasan bahwa menjadi guru itu sekarang jauh lebih enak ketimbang dulu. Benarkah?

Saya teringat ketika kali pertama dinasihati oleh salah seorang redaktur senior. Saat itu, saya sedang menjalani ”pendidikan kilat”. Beliau berpesan kepada saya bahwa jangan mendasarkan sesuatu hanya demi materi. ”Landaskan tugasmu sebagai panggilan jiwa.”

Kalimat itu saya camkan hingga saat ini. Yakni, bekerja –bagaimanapun besarnya risiko dan tantangannya– tetap saya nikmati seolah berekreasi. Nothing to lose. Mencintai tugas dan pekerjaan serta menjalankannya sepenuh hati.

Di sisi lain, keluhan terhadap profesi guru hingga kini belum tereduksi secara maksimal. Masih ada kasus kekerasan yang melibatkan guru. Yang paling gres, kasus pemalsuan karya tulis ilmiah (KTI) sebagai salah satu syarat dalam sertifikasi (data dari Suara Merdeka, Jawa Pos, Kompas, Riau Pos, Detiknews, dan lain-lain).

Meminjam istilah ojo nggege mongso, tentunya kita semua agaknya perlu bersabar dan bersungguh-sungguh untuk menjalankan ”cinta”. Yakni, komitmen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Pantang putus asa.

Sebagaimana ditulis Widi, kita mungkin perlu menyimak getaran cinta kisah Zulaikha-Yusuf. Widi menguraikan, ”Bersabarlah seperti Zulaikha,” yang tak bosan-bosan mencintai Yusuf. Zulaikha si perayu digambarkan bergaun merah –ditafsirkan sebagai gaun pengantin atau pertanda cinta yang menggebu-gebu– namun menemukan realitas: cintanya tak berbalas. Ia terus-menerus meratap dan merindukan Yusuf hingga matanya buta. Zulaikha memang dimabuk cinta.

Namun, ada satu aspek percintaan yang menarik, yang membuat semua makhluk harus belajar darinya. Yaitu, ia menaati sopan santun.

Zulaikha yang penuh cinta menjadi personifikasi jiwa manusia, nafsu, yang disucikan melalui perjuangan batin terus-menerus dan penderitaan yang tak habis-habisnya, sebagai ”jiwa yang damai”. Setelah periode kerinduan dan keputusasaan, kesetiaan Zulaikha yang tak tergoyahkan memperoleh imbalan. Yusuf-Zulaikha dipersatukan dalam perkawinan.

Memang, cinta tak layak dimatematiskan. Cinta bukan melulu nafsu. Lebih dari itu, saya memandangnya sebagai sebuah komitmen tinggi.

Manakala saya akan melamar pekerjaan sebagai guru, saya mesti merajuk kembali dengan nasihat ”ojo nggege mongso” atau ”landaskan sesuatu sebagai panggilan jiwa.” Dengan begitu, saat ditanya soal motivasi, saya tegas menjawab: ”Saya menjadi guru karena profesi itu adalah panggilan jiwa saya.”

Salam
Eko Prasetyo

Dua Penyakit Belum

(sebuah cerita refleksi)

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu saya sudah meninggalkan rumah untuk menuju ke kantor tepat pukul 06.10. Penumpang pertama yang harus saya antar adalah anak bontot di Lapangan Tembak, Gelora. Perjalanan lanjut ke Blok M, dimana istri saya melanjutkan perjalanannya dengan Metro Mini 610 menuju Cipete. Untuk kemudian saya sendirian meneruskan rute Tendean-Tol Dalam Kota-Cempaka Putih -Pulomas. Biasanya saya telah sampai di halaman sekolah untuk menyambut siswa yang datang pada pukul 07.10.

Dalam tulisan ini bukan rute perjalanan itu yang ingin saya sampaikan. Tetapi sebuah peristiwa tidak penting yang nantinya, semoga, kita dapat mengambil pelajaran darinya. Pelajaran untuk menjadi pribadi yang selalu mengedepankan baik sangka atau positive thinking, yang dalam tulisan ini saya sebut sebagai penyakit belum berpikir positif.

Dan pribadi yang berpikir panjang atau minimal berpikiran satu langkah ke depan, one step a head, dan bukan orang yang berpikir pendek. Yaitu berpikir hanya hingga apa yang ada di depan kita. Dalam istilah saya adalah penyakit belum berpikir panjang.

Dua pelajaran itulah yang mudah-mudahan dapat kita tarik hikmah dari cerita saya ini.

Dua Penyakit Belum

Cerita berawal saat perjalanan saya sampai putaran Semanggi di Jalan Sudirman. Seorang Ibu mengendarai mobil sedan yang berada di belakang saya persis. Mungkin karena buru-buru dan bermaksud mendahuli tetapi karena situasi jalan yang tidak memungkinkan, selalu membunyikan klaksonnya. Isyarat agar saya melaju lebih cepat. Sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan mengingat ada kendaraan di depan saya. Dugaan saya bahwa pengendara sedan di belakang saya ini tidak melihat apa yang saya lihat.

Perjalanan sampai di perempatan Jalan Sisingamangaraja, persisnya di pojok Universitas Al Azhar. ke arah Blok M, rupanya pengendara sendan tersebut masih berada di belakang saya. Dan membunyikan klasosnya begitu lampu lalu lintas menyala hijau. Semenara laju kendaraan saya dan juga bus transjakarta masih terhambat oleh deretan kendaraan dari arah Jalan Hangtuah. Klakson itu baru berhenti setelah kendaraan saya dapat melaju.

Namun rupanya, pengendara senadan yang saya taksir minimal lulusan SMA itu membunyikan kembali klaksonnya ketika laju kendaraan saya terhambat kembali saat berada di jalur kiri di perempatan Sisingamangaraja-Panglima Polim menuju jalan Melawai Blok M.

Dengan peristiwa itulah saya berasumsi bahwa pengendara sedan dibelakang saya ini setidaknya mengidap dua (2) jenis penyakit perilaku belum. Yaitu penyakit belum berpikir positif dam belum berpikir panjang.

1. Belum Berpikir Positif

Karena pengendara itu selalu dihantui pikiran dan prasangka buruk. Dia menyangka bahwa kalau laju kendaraan saya pelan atau tidak jalan padahal lampu lalu lintas telah menyala hijau, karena saya adalah tipe pengendara lelet dan lemot. Sehingga dengan sengaja bermaksud menghambat pengendara sedan tersebut.

Dalam tiga rentetan klakson yang dibunyikan pada ruas jalan yang tidak terlalu panjang itu, dugaan saya sangat kuat bahwa, pengendara itu terjangkit penyakit perilaku belum memiliki atau mungkin belum belajar menjadi manusia yang berpikir positif. Misalnya; kok kendaraan di depan lajunya pelan, tapi saya tidak bisa melihat mengapa? Oh mungkin ada gerobak yang menghalanginya atau oh mungkin ada pesepeda. Atau pemikiran positif lain yang bukan curiga (?).

2. Belum Berpikir Panjang


Karena yang tampak hanya kendaraan yang persis di depannya, yang kebetulan kendaraannya lebih tinggi sedang kendaraan yang dikendarainya pendek dan tidak memungkinkan bagi dirinya untuk dapat melihat kendaraan yang ada di depannya lagi, maka sampai disitulah otaknya sampai pada sebuah kesimpulan. Berpikir hingga apa yang ada di depannya. Lebih dari itu ia tidak atau mungkin belum sanggup. Ia terjangkiti penyakit kedua, yaitu belum berpikir panjang.

Dalam beberapa kasus, model berpikir ini akan menjadi bumerang bagi pengendara itu untuk keselamatan dalam berkendara. Saya menduga terjadinya kecelakaan beruntun antara lain karena pengendara hanya konsentrasi kepada kendaraan yang ada persis di depannya. Hanya sebatas itu.

Itulah cerita saya dalam tulisan ini. Semoga kita semua dapat terhindar dari dua jenis penyakit perilaku buruk tersebut. Tidak hanya ketika kita berada di jalan raya saja. Mudah-mudahan juga saat kita berada dimana saja dan kapan saja. InsyaAllah.
Amiin.

Salam
Agus Listiyono

Misteri angka 26

Tahun 2010 - saat ini

Tapi lihatlah beberapa kejadian yang ada dengan Negara Indonesia...

Tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004,

Gempa Jogja 26 Mei 2006,

Tasik gempa 26 Juni 2010,

Tsunami Mentawai 26 Oktober 2010,

Merapi Meletus 26 Oktober 2010.

Ada apa dengan 26...?‎

Ternyata dalam Al-Qur'an, Juz 26 surat Asy-Syu'ara yg di dalamnya terdapat pengertian tentang azab Allah SWT... Subhanallah...

Ternyata kita sedang di ingatkan Allah SWT...

Tinjauan Sisi Agama :
Peringatan Alloh kepada kaumNya bisa wabah, musibah dan bencana ..........
Mari kita instropeksi dan refleksi diri secara pribadi dan organisasi ........

TInjauan Sisi Geografis :

Alam tidak pernah tidur ...........
Alam selalu bergerak .............
Dan Gunung Meletus, musim tak menentu, gempa adalah kejadian alam biasa .....
Kenapa banyak korban ........... ?
Pesan simbah : "Setiti, atiati, .......eling lan waspodo"
Sebuah pesan klasik yg mengandung filsafat bahasa pemrograman tingkat tinggi (bahasa mesin = asembly)

Mari kita benahi dirikita sendiri, organisasi dan lingkungan kita berada untuk selalu memelihara dan mensiasati alam ..... demi keselamatan dan terjaga dari alam yang sedang murka ....

Salam
Jabat Erat
UIAO

Ombak Tsunami

Tsunami membelah Bumi Sikerei di keheningan malam nan mencekam. Kehadirannya yang tak diundang itu telah memupuskan harapan penghuni pesisir pantai Dusun Pasa Puat, Kecamatan Pagai Utara. Saat semuanya hancur, sebuah masjid menatap pantai berdiri kokoh.

Pagi itu, sekitar pukul 10.00 WIB, langit Sikakap tampak mendung. Di luar rumah tanah tampak lanyah. Pepohonan dan rerumputan masih basah setelah diguyur hujan deras sepanjang malam.

Sebentar lagi, sepertinya hujan deras bakal turun. Ya, membasuh duka Bumi Sikerei.
Di luar rumah, bau mayat menyengat. Aroma tak sedap menebar ditiup angin. Memang, hingga Jumat (29/10), mayat masih bergelimpangan di pinggir jalan. Pikiran saya langsung terbayang ratusan warga Pagai Selatan yang bertahan di perbukitan, dalam kondisi hujan badai. Selain menahan lapar, dinginnya malam, mereka harus melawan penyakit yang kini menyerang. Ternyata benar. Hujan deras mengguyur Sikakap. Tak hanya hujan, tapi juga badai. Di posko utama, para jurnalis dan relawan telah berkumpul-kumpul. Seperti biasa, setiap pagi kami siap-siap menyisir desa terpencil yang belum terjamah bantuan.

Pagi itu, tim relawan dan jurnalis hendak menuju Dusun Pasa Puat di Pagai Utara.
Dusun itu, semua rumah hancur. Mujur, tidak ada korban jiwa. Perjalanan menggunakan kapal kayu atau long boat. Kapal itu mampu memuat 12 orang dan sedikit logistik untuk pengungsi. Berapa menit berlayar, gelombang dua meter menghadang. Pelayaran pun dihentikan. Setelah menunggu sekitar satu jam, boat yang dinakhodai Dayat itu dilanjutkan selama dua jam pelayaran. Sepanjang perjalanan, boat nyaris karam karena dipenuhi air. Kami sampai di tujuan sekitar pukul 17.00 WIB.

Dari pantai, Dusun Pasa Puat sunyi senyap. Sedikit pun tidak terlihat tanda-tanda seperti sebuah kampung. Permukiman penduduk rata dengan tanah. Tak satu pun rumah warga yang berdiri. Semua tiarap. Hanya ada satu bangunan berdiri kokoh menghadap pantai. Ya, sebuah masjid. Garin masjid itu juga selamat. Zulfikar namanya.

Hari beranjak senja. Hujan belum juga reda. Zulfkar tampak bersiap menunaikan Shalat Maghrib. Dalam obrolannya, pria berusia 40 tahun itu mengaku telah tingal di dusun itu sejak kecil. Sama dengan usia masjid itu yang berdiri sekitar tahun 1960 silam.

"Ini masjid tertua di dusun kami. Bentuk masjid itu sudah tidak asli lagi, karena terus diperbaiki," ujar Zulfikar. Zulfikar menceritakan, masjid ini sama sekali tidak tersentuh tsunami pada malam itu. Padahal, lokasinya tidak jauh dari pantai. Sedangkan rumah-rumah warga di sekitar masjid, rata dengan tanah. Masjid inilah yang menjadi tempat perlindungan masyarakat saat gelombang besar datang.

Seperti mukjizat, air laut hanya sampai di teras masjid. Di luar masjid, Zulfikar melihat dengan mata kepala sendiri gelombang tsunami mencapai delapan meter. "Kami dalam masjid ada sekitar 50 orang, sedangkan warga yang lain telah menyelamatkan diri ke perbukitan yang berjarak satu kilometer dari masjid. Melihat masjid tidak kena sama sekali, kami merasa heran. Setelah itu kami sadar ini adalah kehendak Tuhan," jelas pria berjenggot itu.

Zulfikar dan 50 warga lainnya tidak henti-henti mengucap kebesaran Allah. Di luar masjid, tsunami terus menerjang sebanyak tiga gelombang. Tiada yang menduga, tsunami menghindar dari masjid. "Sepertinya, di masjid air terbelah, sehingga lantai masjid pun tidak basah sama sekali," kenangnya.

Salam
Esteranc Labeh

Minggu, 10 Oktober 2010

Sejatinya Guru

Sejatinya guru harus dipandang oleh para pembuat kebijakan dari dua sisi yang berbeda dengan tugas yang melekat padanya. Pertama, guru sebagai profesi. Karenanya guru berhak mendapatkan remunerasi yang layak sebagaimana profesi lainnya. Ia berhak mendapatkan penghasilan yang layak sehingga bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, sebagaimana profesional lainnya. Sehingga tidak ada lagi guru yang 'nyambi' ngurusi ini itu demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Segala upaya dan pikirannya akan tercurah demi kemajuan bangsa ini sesuai dengan profesinya. Kedua, guru sebagai hakikat. Sebagaimana layaknya dokter yang mengobati pasiennya tanpa harus memilih milih dan dalam keadaan apapun, ia harus siap menolong penderitaan sang pasien. Demikian juga menjadi lawyer/pengacara, sebagai hakikat, ia (seharusnya) siap mendampingi terdakwa agarhak-hak hukumnya bisa ditempatkan sesuai dengan porsinya. (bukan dengan adigium, maju tak gentar membela yang bayar). Begitu juga guru, ia (harus) selalu siap mendidik dan mengajar siapapun dan apapun kondisinya serta dimanapun tempatnya di negeri ini.

Namun sekali lagi, negara dengan management pemerintahan siapapun harus bisa memandang ini dari dua sisi. Kalau dua hal ini disatukan maka (dikhawatirkan) muncul paradigma seperti ini: "Sebagai guru itu haruslah 'ikhlas', jadi berapapun penghasilannya terima saja. Kan sudah ikhlas?" Padahal 'keikhlasan' muncul dalam diri tiap individu bukan karena paksaan atau permintaan siapapun. Keikhlasan muncul karena ia menjalani proses yang layak, sebagaimana ia dimanusiakan sebagai manusia yang punya hakikat tugas mendidik anak bangsa. Keikhlasan adalah hal yang sangat abstrak dan urusan tiap individu dengan ALLAH yang Maha Pencipta.

Persoalan yang muncul sekarang, ‘Beberapa guru sudah disertifikasi dan berhak menyandang predikat ‘guru profesional’ dengan kisaran penghasilan diatas 5 jutaan rata-rata (kalau di DKi sudah diatas 7,5 jutaan), namun mengapa itu tdk sejalan dengan peningkatan produktifitasnya?” Kalau itu terjadi, maka ia menjalani tugasnya hanya sebatas profesi dan tidak menjalaninya sebagai hakikat. Di beberapa daerah (melalui tayangan Kick Andy dan amatan saya) saya menemukan guru-guru yang menjalani ini sebagai hakikat, dan ia harus mencari nafkah di tempat lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Mereka tidak ‘membanggakan diri’ atau ‘merepotkan diri mereka’ dengan istilah profesi. Mereka menjalaninya semata mata karena merasa bahwa ia punya tanggung jawab besar dalam mendidik anak-anak bangsa ini. Bukankah itu inti dari hakikat, tdk bisa dipaksakan oleh orang lain, karena itu dorongan dari dalam dirinya sendiri.

Hakikat sebagai guru jauh lebih mulia dan jauh lebih mahal (bahkan tak bisa dibayar apapun) dibandingkan dengan seuntai kata bernama ‘profesi’ yang dilekatkan. Jadi, buat ‘para pembuat kebijakan dan pembayar gaji guru,’ bayar gaji mereka dengan kelayakan dan kepatutan karena profesi nya seperti layaknya dokter(kalau guru digaji masih dibawah UMR masih bisakah dikatakan layak dan patut?). Jangan lagi bicara soal hakikat yang kemudian dikaitkan dengan keikhlasan, dan konsekwensinya adalah guru (dipaksa) harus menerima sekecil apapun gaji yang diterimanya. Jelas, itu suatu pola pikir yang salah.

Bagi para guru tetaplah berdiri pada platform hakikat agar kita bisa menjalani amanah kemanusiaan ini tanpa terbebani. Malah itu akan membawa kita pada kemuliaan di sisi ALLAH SWT. Mereka yang menyimpang dari tugasnya dan bahkan ‘melacurkan’ tugasnya, adalah karena mereka tidak memahami hakikat yang melekat pada dirinya. Mereka yang berbuat menyimpang tersebut punya profesi sebagai guru, namun tak punya hakikat sama sekali sebagai guru.


Regards
Iin Hermiyanto

Sajak Parodi Indonesia # 5: Doa

Doa
kepada pengutuk teguh

Tuhanku
Dalam tersenyum
Aku terus mengagumi diriku

Biar susah sungguh
Kehidupan rakyat sepenuh keluh
cayaku kilau suci
kristal gemerlap di Istana sini
Tuhanku

aku gemilang indah
citra

Tuhanku

aku pemimpin asing di negeri sendiri

Tuhanku
ke Istanaku mereka mengutuk
aku tidak akan bisa bertahan

Yudhistira ANM Massardi
Oktober 2010

Dengan segala hormat dan maaf kepada Chairil Anwar dan keluarganya.

Sajak Parodi Indonesia # 7: Krawang-Bekasi

Krawang-Bekasi

Kamu yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang masih mau mendengar deru kamu,
terbayang kamu maju dan bertahap mati?

Kami bicara padamu sekarang ini
Jika kamu hasih hidup rasa hampa dan kemiskinan begitu menghujam
Kamu sudah bagus mati muda saja. Biarkan tulangmu diliputi debu.
Tenang, tenanglah kamu.

Kamu sudah coba apa yang kamu bisa
Tapi kerja belum selesai, kamu belum bisa memperhitungkan arti 4-5 juta dollar

Kamu kini cuma tulang-tulang berserakan
Itu sajalah kepunyaanmu
Kamilah kini yang tentukan nilai pangkat dan jabatan

Jiwa kamu memang melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
kamu tidak mati sia-sia
Tapi, kamu kini tahu, kamu tidak lagi bisa berkata
Kamilah sekarang yang berkuasa

Kami bicara padamu dalam gelimang harta dan keserakahan
Tidak ada rasa hampa dan penyesalan yang berdetak dalam dada

Memang, memang begitulah kami
Mau teruskan, teruskan masa jabatan kami
Menjaga Bank Dunia
menjaga Bunga Deposito
menjaga Harta dan Kekuasaan

Kamu sekarang cuma mayat
Biarkan kami yang nikmati kekayaan dan ketamakan
Berkuburlah terus di liang gelap,
Awas, jangan sampai bergentayangan!

Tenang, tenanglah kamu di situ
Toh, cuma tinggal tulang-tulang diliputi debu
Jangan coba-coba ganggu kami
Kami sangat sibuk, harus bolak-balik terbang antara Jakarta-Washington D.C

Yudhistira ANM Massardi
Oktober 2010

Dengan segala hormat dan maaf kepada Chairil Anwar dan keluarganya.

Minggu, 03 Oktober 2010

IDI : Pendidikan Seks

Pendidikan sex sudah saatnya menjadi bagian kurikulum pendidikan formal bagi remaja, untuk meminimalkan pengaruh budaya seks bebas dan mencegah penyebaran virus HIV.

"Pendidikan sex atau pendidikan organ reproduksi sangat penting karena dapat menjadi perisai bagi remaja di tengah maraknya informasi yang salah tentang seks dan organ tersebut dari berbagai media," kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kota Bandar Lampung, sekaligus aktivis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Wilayah Lampung, Dr Boy Zaghul Zaini, di Bandar Lampung, Senin.

Dia menjelaskan, usia remaja yang penuh gejolak dan selalu ingin tahu menimbulkan ketidaksiapan penerimaan mereka terhadap segala masukan tentang organ reproduksi, sedangkan peran orang tua agak terkesampingkan dalam memberikan informasi yang benar dalam hal tersebut.

"Budaya timur masih menganggap membicarakan hal tersebut tabu dibicarakan antara orang tua dan anak," kata dia.

Pola pembelanjaran yang dilakukan, kata Boy, dapat dilakukan dengan cara bimbingan dan tutorial dua arah, serta harus dilakukan oleh orang yang paham tentang organ reproduksi sekaligus psikologis remaja.

Upaya pertama yang dilakukan adalah menambah jumlah pembimbing yang paham tentang hal tersebut di sekolah-sekolah, melalui pelatihan terpadu oleh tenaga ahli.

"Jumlah petugas penyuluh kita juga masih sangat sedikit, jadi memang perlu penambahan dengan memanfaatkan tenaga lokal di masing-masing sekolah," kata dia.

Menurut Boy, menjadikan pendidikan seks dan organ reproduksi pada remaja sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dapat menjadi langkah ampuh dalam menekan perilaku sex bebas di kalangan remaja.

Saat ini, baru satu LSM yang konsern melakukan kegiatan tersebut di sekolah-sekolah, yaitu PKBI Lampung.

Pendidikan organ reproduksi saat ini giat dilakukan PKBI Lampung di 21 SMU dan tujuh pondok pesantren di daerah itu.

Program itu dilakukan setiap satu pekan dengan durasi pertemuan selama satu jam, berisikan ceramah dan tutorial mengenai organ reproduksi oleh aktivis PKBI, maupun guru setempat yang telah dilatih sebelumnya.

Sejumlah remaja di Bandarlampung juga mengharapkan kampanye pendidikan organ reproduksi di sekolah lebih ditingkatkan untuk menghindarkan remaja dari pergaulan bebas dan penyakit kelamin.

Pelajar SMK 3 Bandarlampung, Talita (18), menyatakan program pendidikan organ reproduksi di sekolah banyak memberi pengetahuan kepada remaja tentang kesehatan organ tersebut.

"Mendapatkan pengetahuan tentang organ reproduksi melalui pendidikan jauh lebih baik daripada melalui film dan media," kata dia.

Hal yang sama juga dikatakan remaja lainnya yang bersekolah di SMA swasta di Bandarlampung, Rentika (16), bahwa pendidikan organ reproduksi seharusnya lebih gencar lagi dilakukan di sekolah-sekolah.

"Sayang apabila hanya dilakukan di perkotaan, seharusnya lebih menyebar ke seluruh pelosok, karena pendidikan seperti ini dibutuhkan oleh seluruh remaja," kata dia. (ANT-046/K004)

COPYRIGHT © 2010
IDI (ANTARA/ist)Bandarlampung (ANTARA) News)

Ateis Paling Mengerti Tentang Agama

Hah...Orang Ateis di AS Punya Pengetahuan Agama Tertinggi? (
Republika)

Sab, 02 Okt 2010 20:35 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, DALLAS

Entah benar atau tidak, para penganut ateis memiliki pengetahuan religi yang tinggi dibandingkan golongan lain. Mereka memang tak mempercayai Tuhan, tapi mereka tahu sesuatu tentang Tuhan.

Dalam survei yang dilakukan oleh Forum Agama dan Kehidupan Masyarakat Pew disebutkan, ateis memiliki angka pengetahuan agama tertinggi. Rata-rata orang Amerika menjawab secara benar 16 dari 32 pertanyaan tentang ilmu agama. Mereka memiliki nilai rata-rata 20,9. Selanjutnya penganut Yahudi menempati posisi kedua dengan nilai rata-rata 20,5.

Sementara itu, penganut agama Protestan hanya menjawab 16 pertanyaan dengan benar. Kemudian diikuti oleh penganut agama Katolik yang rata-rata nilainya adalah 14,7. Sementara survei sebelumnya oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa Amerika termasuk negara maju yang paling religius di dunia. Survei ini menunjukkan bahwa sejumlah besar orang Amerika tidak mengenai betul prinsip, praktik, sejarah, dan
tokoh terkemuka dalam tradisi keimanan.

Hasil surve lain menunjukkan, empat dari 10 orang Katolik tidak tahu bila gereja mereka mengajarkan, bahwa roti dan anggur yang digunakan dalam komuni benar-benar menjadi tubuh dan darah Kristus. Setengah responden dari Protestan tidak mengidentifikasi Martin Luther sebagai orang yang memicu reformasi Protestan.

Hilangnya Petani dan Pembatik

SETAHUN setelah diakui sebagai warisan budaya hidup oleh UNESCO, wajar bila dunia bertanya: Apa kabar batik Indonesia?

Politisi dan menteri mungkin akan menjawab begini: Bagus! Semua orang sekarang menyukai batik. Desain, kualitas produk, dan pemasarannya luar biasa. Batik telah diterima secara luas, di dalam dan luar negeri. Budaya memakai batik telah tumbuh subur. Di atas permukaan, apa yang disampaikan itu benar adanya. Cirebon dan Pulau Madura yang dulu pasar batiknya terbatas, kini telah berubah menjadi pasar batik yang ramai. Kreativitas dan desain juga berkembang pesat. Berbagai sekolah juga telah menggelar kegiatan promosi membatik, demi mencatatkan rekornya di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Namun, menyelamlah Anda sedikit lebih dalam, maka terasa sebuah bahaya besar tengah mengguncang, yaitu berkurangnya jumlah pembatik. Setiap kali saya berbicara dengan para pengusaha batik, hal ini selalu mencuat. Mereka kesulitan mencari pembatik. Ada yang butuh 100 pembatik dapatnya cuma 25 orang. Tingkat kesulitan mendapatkan tenaga pembatik ini sudah mulai menyamai masalah di sektor pertanian, yaitu sulitnya mencari buruh-buruh tani. Atau di sektor bangunan, yaitu berkurangnya minat orang menjadi tukang batu dan tukang kayu. Bisa dibayangkan apa jadinya Indonesia 10 tahun dari sekarang. Tak ada lagi orang yang mau menjadi petani, dan tak ada yang bisa membatik. Lagu Rayuan Pulau Kelapa pun akan menjadi tinggal kenangan.

Mau dan Bisa

Perkara hilangnya dua jenis keterampilan ini tentu bukanlah masalah sederhana. Mereka menghilang karena dua hal, rendahnya insentif yang diterima dalam menekuni profesi dan hilangnya keterampilan yang melekat di tangan para pekerja. Keterampilan ini biasa diperolah melalui jalur tacit (belajar langsung di lapangan). Keduanya adalah domain yang berada di tangan pemerintah dan pengusaha. Anehnya isu ini tidak muncul juga dalam debat program para calon ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) baru-baru ini.

Mungkin perhatian mereka lebih banyak ditujukan pada bisnis-bisnis skala besar yang relatif lebih mudah mendapatkan fee seperti infrastruktur dan tambang. Bagi para pengusaha batik, mendapatkan tenaga pembatik yang dirasa semakin sulit tentu akan menaikkan nilai tawar mereka. Dengan gairah pasar yang tinggi, pengusaha rela membayar upah yang lebih besar. Jumlah upah memang berlainan dari kota batik yang satu dengan ke kota batik lain. Di Lasem, misalnya, upah seorang pekerja batik cuma dihargai Rp. 7.500,00 per hari ditambah uang makan.

Di Cirebon, di butik-butik batik, upah buruh batik tulis bisa mencapai Rp. 50.000,00 per hari. Itu saja telah dikeluhkan pengusaha karena mahalnya biaya-biaya lain, termasuk perizinan dan minimnya bantuan pemerintah. Kalaupun ada bantuan, biasanya masalah yang timbul sama saja: pemberi bantuan tidak peduli dengan kebutuhan para pengusaha batik, sehingga apa yang diberikan dengan apa yang dibutuhkan totally different. Saya jadi teringat dengan papan-papan pengumuman yang banyak ditemui di desa-desa pertanian di Jepang. Sewaktu saya tanya kepada para petani di sana, mereka memberi tahu itulah plang pengumuman bantuan pemerintah yang diberikan secara riil kepada petani.

Misalnya tahun ini mereka mendapatkan terpal-terpal plastik, traktor, atau gudang penyimpanan; tahun depannya benih serta pembinaan; dan seterusnya. ”Tanpa bantuan riil, tak ada lagi orang Jepang yang mau menjadi petani,” ujar petani yang saya temui di Jepang. Itu pun belum cukup, harga produk-produk pertanian di Jepang, apakah itu beras, buah-buahan, dan sayur-sayuran, begitu tinggi. Mereka mendapatkan kebijakan tarif impor yang tinggi, demi membela nasib petani. Berbeda sekali dengan di sini yang rakyatnya ingin membeli produk pertanian murah, tetapi mudah marah pada realitas impor bahanbahan pangan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.

Impor dibuka lebar-lebar, harga komoditas pertanian dibiarkan rendah, bantuan pada para petani tak sebanding dengan yang diberikan kepada para pengguna mobil. Kalau ini terus dibiarkan, jangan kita berpikir masih ada orang yang mau menjadi petani, kecuali mereka yang benar-benar memiliki panggilan jiwa di sana. Selain mau menjadi petani atau pembatik karena insentif, masalah kedua adalah apakah semua orang bisa? Tentu saja tidak.Untuk bisa diperlukan latihan, pendidikan, proses budaya, dan tentu saja kebiasaan.

Model Sekolah Keterampilan


Di masa-masa lalu sekolah-sekolah menengah sangat sarat dengan keterampilan. Anda mungkin masih ingat dengan mata pelajaran prakarya di sekolah dasar, bermain angklung, melukis, dan seterusnya. Waktu berjalan, entah siapa yang memulai, ternyata kita lebih senang menjadi pelahap teori dan rumus yang sulit daripada keterampilan yang praktis dan menghidupkan. Kesenian tradisional yang sarat keterampilan pun dikurangi, diganti dengan persiapan-persiapan yang lebih intensif untuk mengikuti ujian nasional (matematika, bahasa) dan persiapan masuk perguruan tinggi (di tambah biologi, fisika, kimia, dan seterusnya).

Di era Mendiknas Bambang Soedibyo pemerintah mulai memberi perhatian pada sekolah-sekolah kejuruan. Namun sekali lagi, sayangnya sekolah-sekolah kejuruan itu, selain ditujukan untuk kepentingan industri (khususnya di bidang teknik dan ekonomi), kurikulumnya difokuskan pada cara berpikir Kemendiknas yang cenderung bermodel ”brain-memorybased” (formula-based), bukan ”myelin-based”. Ambil saja contoh sekolah pertanian menengah atas (SPMA) yang dulu dikembangkan melalui jalur pengetahuan Kementerian Pertanian, sekarang masuk dalam Kemendiknas.Tentu saja pemindahan ini erat kaitannya dengan perhitungan (politik) anggaran yang porsinya berlimpah di Kemendiknas (20%).

Peralihan tentu saja berpengaruh pada model kurikulum dan pengertian kebutuhan masyarakat. Selanjutnya tentu perlu dipikirkan pula sekolah-sekolah kejuruan berbasiskan kebudayaan seperti kesenian dan keterampilan tradisional seperti membatik, membuat bordiran, memainkan alat-alat musik etnik dan membuatnya. Kita tentu tidak bisa mendiamkan batik menjadi kebutuhan yang kuat bagi pasar, sementara pasokannya terhambat karena punahnya keterampilan. Ini sama saja dengan memberi peluang untuk masuknya batikbatik buatan negeri tetangga di masa depan. Kalau ini dibiarkan, saya kira Menteri Kebudayaan dan Pariwisata harus mempertanggungjawabkan hal ini kepada UNESCO yang telah mengakui batik sebagai warisan budaya hidup asli Indonesia.

Saya ingin menegaskan kata “budaya hidup” yang dimaksud dalam pengakuan itu, “budaya hidup” adalah intangibles yang tampak pada keseriusan kita melanjutkan tongkat estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya. Intangibles melekat di tangan manusia, tidak dapat diperolah dalam tempo sekejap, dan sekali hilang kita akan kehilangan selama-lamanya. Jadi, bukanlah kebiasaan memakai batik yang perlu dilestarikan, melainkan tradisi membatik dan memperbaruinya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi saya keterampilan ini harus dilembagakan dalam bingkai ”sekolah budaya”.

Sekolah budaya yang harus dibangun haruslah ”myelin-based”, bukan semata-mata formula-based atau ”brain memory-based”. Kombinasi keduanya, ditambah insentif yang menarik, akan menghasilkan kekuatan baru.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Mengapa tidak ada yang berpikir, ada petani yang kaya. Bagaimana belajar jadi petani yang kaya?
Bagaimana jadi pengusaha ikan terbaik?
Bagaimana jadi guru yang berpenghasilan besar?
Bagaimana jadi pengrajin yang kaya?
Bagaimana jadi peternak yang sukses?

Kalau hal-hal tersebut diterapkan, kita tidak kekurangan lapangan pekerjaan.

Salam
Herni

Dari jaman eyang Suharto, hal ini telah dimulai.
Kalau pengetahuan diseragamkan.
Ketrampilan tergantung pada nilai jual hasil produksi.

Anak petani jadi sarjana dan tidak bertani.
Anak nelayan jadi sarjana dan tidak menangkap hasil laut.
Anak pengrajin belajar kursus kumon, dll.....
Anak guru jadi...... yang penting gajinya lebih membuat keluarga sejahtera.
Pelajaran ketrampilan menjadi orangtua yang baik dan ibu rumah tangga mulai menjadi barang langka

Bagaimana mengubahnya?

Salam
Herni

Bangsa Pemarah

KEKERASAN, kebrutalan, dan kerusuhan adalah tanda paling nyata sebuah masyarakat telah kehilangan kesabaran dan akal sehat. Yang dipamerkan justru emosi dan senjata. Yang diagungkan adalah kehendak menang sendiri bahkan dengan cara membunuh.

Hal sepele saja bisa menyulut kebrutalan yang berakibat fatal dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Itulah yang sedang kita saksikan hari-hari ini di seantero negeri. Kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur, merenggut tiga nyawa serta melukai puluhan lainnya. Ribuan perempuan dan anak-anak menjadi pengungsi dan mencari tempat berlindung di kantor polisi atau markas tentara serta tempat-tempat ibadah.

Tak hanya di Tarakan. Di Jakarta, dua kubu preman berseteru saling menyerang di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tiga nyawa melayang sia-sia. Mereka seolah tak peduli imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang prihatin atas berbagai kerusuhan di Tanah Air.

Kini bangsa ini menjadi bangsa pemarah. Kita kehilangan kemampuan bertoleransi. Kohesitas di antara beragam etnik kian renggang dan malah bersalin dengan semangat saling membantai, saling membunuh.

Tragedi Tarakan yang berlangsung sejak Minggu (26/9) hingga kemarin adalah bukti kegagalan negara mengantisipasi. Padahal bukan baru sekali ini peristiwa bentrokan antaretnik muncul. Kita memiliki banyak pengalaman konflik antaretnik, tetapi kita tidak belajar dari pengalaman itu.

Ada kasus kerusuhan antaretnik di Sampit, Kalimantan Tengah, beberapa tahun silam yang banyak menelan korban jiwa. Juga ada kasus Poso (Sulawesi Tengah), Ambon, Abepura (Papua), dan sejumlah tempat lain. Semuanya menebarkan maut dan amis darah.

Semua itu menyebabkan masyarakat setempat hidup dalam trauma, saling curiga dan tidak percaya sesama anak bangsa. Dan sekarang hal yang memprihatinkan itu terjadi di Tarakan. Ada banyak faktor yang menyulut pecahnya konflik itu. Sebagian penyebabnya adalah rebutan penguasaan sumber daya ekonomi.

Para pendatang menguasai sumber daya ekonomi tertentu dan menyingkirkan sumber daya ekonomi masyarakat lokal. Hal itu menimbulkan iritasi sosial kemudian meledak menjadi kerusuhan.

Bentrokan mestinya dapat dicegah jika aparat negara sigap membaca fenomena dan tangkas melakukan antisipasi. Bentrokan antarkubu preman di Jakarta Selatan kemarin, misalnya, tanda-tandanya telah terjadi pekan lalu. Tetapi aparat lalai, alpa, atau tidak peduli. Setelah korban berjatuhan, barulah polisi datang.

Pemerintah tidak boleh mendiamkan dan hanya sibuk memoles citra. Aparat negara tidak boleh menyepelekan kemudian lalai mengantisipasi. Harus ada ketegasan. Kerusuhan tidak bisa diselesaikan dengan pidato.

Kita gemas melihat preman lebih berkuasa daripada aparat negara. Mereka leluasa menenteng samurai, parang, dan kelewang di jalan-jalan di tengah kota, mencari musuh, tanpa dilucuti polisi. Mereka bahkan memiliki senjata api dan melepaskan tembakan. Saling membunuh dan tidak bersikap toleran adalah budaya paling primitif dari sebuah peradaban. Ternyata bangsa ini belum juga beranjak dari situ.

Dikuip dari Editorial Media Indonesia

Sebagai tambahan:

Konflik, pertikaian dan bentrokan yang terjadi tak lepas dari contoh dan model prilaku para pejabat dalam cara menangani masalah internalnya, dan itu disaksikan oleh jutaan rakyat Indonesia. Berikutnya, faktor kondisi sosiologis masyarakat kita yang masih terpuruk kemiskinan dan banyaknya pengangguran menjadikan orang mudah terpancing emosi sehingga menimbulkan banyak friksi dan gesekan dan muaranya adalah bentrokan. Aparat hukum yang lamban dan tidak tegas menangani pelaku kekerasan juga bisa dilihat sebagai keberpihakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat cenderung meremehkan para aparat. Nampaknya kita harus mulai kembali mencari cara untuk menegakkan Bhinneka Tunggal Ika dan kejujuran pada diri masing-masing bahwa kita sebagai anak bangsa tidak ingin negara ini hancur karena ulah pihak-pihak yang mersa sok kuasa dan egois.

Sebagai Guru, ini bisa menjadi bahan pelajaran untuk memberikan pemahaman pada siswa tentang apa yang sebenarnya terjadi, mengapa terjadi, dan menjadi bahan diskusi bagi siswa apa yang seharusnya diperbuat mereka dan mencegah agar hal ini tidak terus berulang.

Fastabiqul Khairat (berlomba-lombalah dalam kebajikan).
Regards,
Iin Hermiyanto

Autosuggestion, Tukang Semir

(sebuah cerita)

Seperti biasanya saat aku pulang kampung ke Ponorogo, aku sempatkan untuk main bersama keluarga menyusuri jalan jalan di kota wengker ini, banyak tempat makan yang dapat disinggahi oleh karyawan, mahasiswa dan pelajar untuk sejenak istirahat dan makan siang. Disana ada banyak tempat pilihan untuk ndorong (red; nongkrong. Terlihat disudut lain salah satu pedagang sedang melayani kakang dan senduk (red; panggilan daerah untuk pria dan perempuan khas ponorogo). Tidak lupa kami semua
bertiga segera meluncur ketempat Kang Bagong untuk makan siang. Kami segera memacu kendaraan untuk sekedar berebut tempat dengan pembeli lainnya. Memang sate Kang Bagong paling dicari dan terkenal sejak aku masih pertama kali datang dikota reog ini.

"Alhamdulliah", gumamku dalam hati. Kali aku aku dapat tempat duduk nyaman, maklum biasanya kami bertiga hanya sempat makan dimobil karena tidak kebagian tempat duduk. Segera saja aku pesan menu favoritku, sate plus kulit dan joroan. Seperti biasanya, disela sela waktu menunggu banyak pengamen silih berganti menjajahkan syair lagunya sambil mengharap imbalan recehan tanda penghargaan atas suaranya yang agak sumbang itu.

Terlintas pandanganku disela sela kaki para penikmat sate luar daerah yang sok profesional itu, sok jaim dengan atribut ke kota-kota-annya, terlihat sosok anak kecil belasan usia sekolah dasar sedang mengusap sepatu tamu berharap ada yang mau untuk disemir. ’Permisi pak, semir’ ucap dia. ’Hei ngapain kamu?’, ’mau nyolong!’ teriak salah satu tamu yang berperawakan necis itu. Si tukang semir itu berganti ke sepatu lain dan setiap kali selalu ditolak dengan kasarnya. Tetap aku pandangi tingkah laku anak itu, sudah tiga orang yang menolaknya, pikirku dalam hati. Iba rasanya hatiku melihat anak itu, tak terasa air mataku menetes lembut dipipiku, mengingatkanku dimasa kecilku yang hampir sama dengan dia, bekerja sendiri untuk dapat membayar SPP sekolah.

Kucoba untuk untuk memanggilnya untuk menyemir sepatuku. ’Dik, tolong semir sepatuku ya!’ walau tadi pagi sebenarnya aku telah menyemirnya dan sepatuku masih terlihat mengkilap. Gumamku, itung-itung untuk menolong dia. ’Ya pak’ jawab anak itu. ’Ah jangan panggil aku pak, panggil aja kang’. ’Ya kang!’. ’ngomong ngomong siapa namamu?’. ’Dani, kang’. Kuajak ngobrol terus sampai sampai aku seperti detektif aja, pikirku dalam hati. Tak terasa sudah 10 menit aku ngobrol sama dia hingga aku telah mengetahui latar belakang kehidupannya. Tak tega rasanya aku mendengarnya kalau dia hidup seorang diri dikota reog ini, merantau dari Wonogiri.

Dia telah lama ditinggal ayah dan ibunya sejak berumur 6 tahun. Dan kini ia harus
mencari sesuap nasi sendiri dengan menawarkan keahlianya dalam memoles sepatu. Sejenak aku teringat masa masa susah masa kecil yang sudah ditinggal kedua orang tuaku. Terhenyak lamunanku ketika mendengar, ’Sudah selesai, kang!’ ucap Dani dengan semangatnya. ’Berapa?’ tanyaku. ’Empat ribu rupiah’ jawabnya. Ku keluarkan uang lembaran dua puluh ribuan dari kantongku. ’Uang kecil aja kang, nggak ada kembaliannya’ akunya, ’tunggu kang, aku cari kembaliannya dulu’ impal dia. ’Ya’ balasku dengan rasa percaya yang tinggi. Kembali aku bergurau dengan membicarakan hal hal yang kecil hingga bangganya dia telah bisa menari jathilan disekolahnya.

Tanpa sadar aku telah menunggu setengah jam, dan teringat uang kembalianku belum kuterima dari si Dani itu. Pikiranku mulai bermacam macam hingga pikiran suudzonku mulai terlintas dibenakku, ’memang anak nggak mau diuntung!’ sudah ditolong malah membawa uangku. Kutinggalkan warung Kang Bagong dengan hati yang dongkol, dan kembali kerumah di Wonoketro, Jetis untuk istirahat. Ku perikasa inbox emailku, setelah kutinggalkan kerjaanku beberapa hari. Terlihat banyak surat yang masuk ke Inboxku tak terkecuali kuperiksa juga milist (termasuk milist IGI juga loh),
akun facebook dan twitterku......

Tanpa sadar sudah sebulan lebih aku tidak berkunjung ke warung sate Kang Bagong, maklum aku sudah kembali kerja di Surabaya. ”Di minggu ini saat pulang nanti, pasti aku mampir makan sate lagi”, ucapku dalam hati. Langsung saja terbesit pikiranku
untuk makan siang di warung sate Kang Bagong lagi. Seperti biasanya warung Kang Bagong tak pernah sepi dari pembeli. Kupilih kursi paling pojok yang masih kosong itu. Tidak lebih dari 10 menit menunggu, seporsi sate langsung berada dihadapanku. Sambil mengobrol kami menyantap sate. Disela sela sela kami mengobrol datang seorang anak menghampiriku dengan akrabnya. ’Kang, maaf ya Kang’. Kata dia. ’loh
loh ada apan ini’, rasanya kita belum pernah ketemu, ngapain kamu minta ma’af’, kataku tanpa dosa. ’Nama saya Dani, kang’, ucap dia. ’Dani...!, pikirku dalam hati. ’Em em siapa ya?’. Tanyaku. ’Saya kang, si tukang semir’. Jawab dia dengan terbatah batah. ’Oh ya...ya..saya ingat, kamu....ya.. .kamu!. ’Ini kang, kembaliannya!’ .

Selintas dipikiranku. Sudah satu bulan lebih aku tidak bertemu anak itu, dan teringat kembali bahwa aku masih meninggalkan uang kembalianku sebesar enam belas ribu rupiah padanya. Masih tidak percaya aku menatap anak ini, ternyata masih ada orang yang jujur di negeri ini. Seoarang anak tukang semir yang jujur padahal disana
banyak orang yang licik dan korup dalam dunia kerjanya.

’Ya Allah, terimah kasih telah kau tunjukan pelajaran yang berharga yang kudapat
dari seorang anak tukang semir ini’. Jarang sekali aku menemui seorang yang jujur di negeri ini, negeri yang diributkan oleh perang kekuasaan yang didalamnya terdapat kompetensi saling sikut, saling tendang hanya untuk mendapatkan serupiah demi memenuhi isi perut.

Lama aku termenung hingga aku melupakan kehadiran anak itu.’ Ya ...ya....ambil aja uang kembaliannya'; Pintaku. Namun tak kusangka ia malah mengembalikan uang tersebut. Kini kumengerti mengapa ia tidak langsung mengembalikan uang kembalianku pada saat itu karena ia memang terlambat datang ke padaku karena lama mencari uang kembalian tersebut. Dan setiap hari ia mencariku hanya untuk mengembalikan uang itu.

Alhamdulillah Ya Allah, ternyata masih ada orang jujur di negeri ini. Kini setelah kupetik pelajaran yang berharga itu, aku sadar bahwa kejujuran memang diatas
segalanya. Kejujuran akan membawa keselamatan dan membawa rejeki yang barokah.

Pertanyaan yang selalu hadir dibenakku, apakah kejujuran itu hanya dimiliki oleh orang orang kecil dan terpinggirkan seperti halnya kejujuran yang dimiliki oleh seorang tukang semir, Dani.

Disisi lain para pejabat negara ini terkenal dengan lips service demi mengamankan
kursi jabatannya.

Best Regards
Friends of Yours