Minggu, 03 Oktober 2010

Bangsa Pemarah

KEKERASAN, kebrutalan, dan kerusuhan adalah tanda paling nyata sebuah masyarakat telah kehilangan kesabaran dan akal sehat. Yang dipamerkan justru emosi dan senjata. Yang diagungkan adalah kehendak menang sendiri bahkan dengan cara membunuh.

Hal sepele saja bisa menyulut kebrutalan yang berakibat fatal dan menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Itulah yang sedang kita saksikan hari-hari ini di seantero negeri. Kerusuhan di Tarakan, Kalimantan Timur, merenggut tiga nyawa serta melukai puluhan lainnya. Ribuan perempuan dan anak-anak menjadi pengungsi dan mencari tempat berlindung di kantor polisi atau markas tentara serta tempat-tempat ibadah.

Tak hanya di Tarakan. Di Jakarta, dua kubu preman berseteru saling menyerang di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tiga nyawa melayang sia-sia. Mereka seolah tak peduli imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang prihatin atas berbagai kerusuhan di Tanah Air.

Kini bangsa ini menjadi bangsa pemarah. Kita kehilangan kemampuan bertoleransi. Kohesitas di antara beragam etnik kian renggang dan malah bersalin dengan semangat saling membantai, saling membunuh.

Tragedi Tarakan yang berlangsung sejak Minggu (26/9) hingga kemarin adalah bukti kegagalan negara mengantisipasi. Padahal bukan baru sekali ini peristiwa bentrokan antaretnik muncul. Kita memiliki banyak pengalaman konflik antaretnik, tetapi kita tidak belajar dari pengalaman itu.

Ada kasus kerusuhan antaretnik di Sampit, Kalimantan Tengah, beberapa tahun silam yang banyak menelan korban jiwa. Juga ada kasus Poso (Sulawesi Tengah), Ambon, Abepura (Papua), dan sejumlah tempat lain. Semuanya menebarkan maut dan amis darah.

Semua itu menyebabkan masyarakat setempat hidup dalam trauma, saling curiga dan tidak percaya sesama anak bangsa. Dan sekarang hal yang memprihatinkan itu terjadi di Tarakan. Ada banyak faktor yang menyulut pecahnya konflik itu. Sebagian penyebabnya adalah rebutan penguasaan sumber daya ekonomi.

Para pendatang menguasai sumber daya ekonomi tertentu dan menyingkirkan sumber daya ekonomi masyarakat lokal. Hal itu menimbulkan iritasi sosial kemudian meledak menjadi kerusuhan.

Bentrokan mestinya dapat dicegah jika aparat negara sigap membaca fenomena dan tangkas melakukan antisipasi. Bentrokan antarkubu preman di Jakarta Selatan kemarin, misalnya, tanda-tandanya telah terjadi pekan lalu. Tetapi aparat lalai, alpa, atau tidak peduli. Setelah korban berjatuhan, barulah polisi datang.

Pemerintah tidak boleh mendiamkan dan hanya sibuk memoles citra. Aparat negara tidak boleh menyepelekan kemudian lalai mengantisipasi. Harus ada ketegasan. Kerusuhan tidak bisa diselesaikan dengan pidato.

Kita gemas melihat preman lebih berkuasa daripada aparat negara. Mereka leluasa menenteng samurai, parang, dan kelewang di jalan-jalan di tengah kota, mencari musuh, tanpa dilucuti polisi. Mereka bahkan memiliki senjata api dan melepaskan tembakan. Saling membunuh dan tidak bersikap toleran adalah budaya paling primitif dari sebuah peradaban. Ternyata bangsa ini belum juga beranjak dari situ.

Dikuip dari Editorial Media Indonesia

Sebagai tambahan:

Konflik, pertikaian dan bentrokan yang terjadi tak lepas dari contoh dan model prilaku para pejabat dalam cara menangani masalah internalnya, dan itu disaksikan oleh jutaan rakyat Indonesia. Berikutnya, faktor kondisi sosiologis masyarakat kita yang masih terpuruk kemiskinan dan banyaknya pengangguran menjadikan orang mudah terpancing emosi sehingga menimbulkan banyak friksi dan gesekan dan muaranya adalah bentrokan. Aparat hukum yang lamban dan tidak tegas menangani pelaku kekerasan juga bisa dilihat sebagai keberpihakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat cenderung meremehkan para aparat. Nampaknya kita harus mulai kembali mencari cara untuk menegakkan Bhinneka Tunggal Ika dan kejujuran pada diri masing-masing bahwa kita sebagai anak bangsa tidak ingin negara ini hancur karena ulah pihak-pihak yang mersa sok kuasa dan egois.

Sebagai Guru, ini bisa menjadi bahan pelajaran untuk memberikan pemahaman pada siswa tentang apa yang sebenarnya terjadi, mengapa terjadi, dan menjadi bahan diskusi bagi siswa apa yang seharusnya diperbuat mereka dan mencegah agar hal ini tidak terus berulang.

Fastabiqul Khairat (berlomba-lombalah dalam kebajikan).
Regards,
Iin Hermiyanto

Tidak ada komentar: