Minggu, 03 Oktober 2010

Hilangnya Petani dan Pembatik

SETAHUN setelah diakui sebagai warisan budaya hidup oleh UNESCO, wajar bila dunia bertanya: Apa kabar batik Indonesia?

Politisi dan menteri mungkin akan menjawab begini: Bagus! Semua orang sekarang menyukai batik. Desain, kualitas produk, dan pemasarannya luar biasa. Batik telah diterima secara luas, di dalam dan luar negeri. Budaya memakai batik telah tumbuh subur. Di atas permukaan, apa yang disampaikan itu benar adanya. Cirebon dan Pulau Madura yang dulu pasar batiknya terbatas, kini telah berubah menjadi pasar batik yang ramai. Kreativitas dan desain juga berkembang pesat. Berbagai sekolah juga telah menggelar kegiatan promosi membatik, demi mencatatkan rekornya di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

Namun, menyelamlah Anda sedikit lebih dalam, maka terasa sebuah bahaya besar tengah mengguncang, yaitu berkurangnya jumlah pembatik. Setiap kali saya berbicara dengan para pengusaha batik, hal ini selalu mencuat. Mereka kesulitan mencari pembatik. Ada yang butuh 100 pembatik dapatnya cuma 25 orang. Tingkat kesulitan mendapatkan tenaga pembatik ini sudah mulai menyamai masalah di sektor pertanian, yaitu sulitnya mencari buruh-buruh tani. Atau di sektor bangunan, yaitu berkurangnya minat orang menjadi tukang batu dan tukang kayu. Bisa dibayangkan apa jadinya Indonesia 10 tahun dari sekarang. Tak ada lagi orang yang mau menjadi petani, dan tak ada yang bisa membatik. Lagu Rayuan Pulau Kelapa pun akan menjadi tinggal kenangan.

Mau dan Bisa

Perkara hilangnya dua jenis keterampilan ini tentu bukanlah masalah sederhana. Mereka menghilang karena dua hal, rendahnya insentif yang diterima dalam menekuni profesi dan hilangnya keterampilan yang melekat di tangan para pekerja. Keterampilan ini biasa diperolah melalui jalur tacit (belajar langsung di lapangan). Keduanya adalah domain yang berada di tangan pemerintah dan pengusaha. Anehnya isu ini tidak muncul juga dalam debat program para calon ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) baru-baru ini.

Mungkin perhatian mereka lebih banyak ditujukan pada bisnis-bisnis skala besar yang relatif lebih mudah mendapatkan fee seperti infrastruktur dan tambang. Bagi para pengusaha batik, mendapatkan tenaga pembatik yang dirasa semakin sulit tentu akan menaikkan nilai tawar mereka. Dengan gairah pasar yang tinggi, pengusaha rela membayar upah yang lebih besar. Jumlah upah memang berlainan dari kota batik yang satu dengan ke kota batik lain. Di Lasem, misalnya, upah seorang pekerja batik cuma dihargai Rp. 7.500,00 per hari ditambah uang makan.

Di Cirebon, di butik-butik batik, upah buruh batik tulis bisa mencapai Rp. 50.000,00 per hari. Itu saja telah dikeluhkan pengusaha karena mahalnya biaya-biaya lain, termasuk perizinan dan minimnya bantuan pemerintah. Kalaupun ada bantuan, biasanya masalah yang timbul sama saja: pemberi bantuan tidak peduli dengan kebutuhan para pengusaha batik, sehingga apa yang diberikan dengan apa yang dibutuhkan totally different. Saya jadi teringat dengan papan-papan pengumuman yang banyak ditemui di desa-desa pertanian di Jepang. Sewaktu saya tanya kepada para petani di sana, mereka memberi tahu itulah plang pengumuman bantuan pemerintah yang diberikan secara riil kepada petani.

Misalnya tahun ini mereka mendapatkan terpal-terpal plastik, traktor, atau gudang penyimpanan; tahun depannya benih serta pembinaan; dan seterusnya. ”Tanpa bantuan riil, tak ada lagi orang Jepang yang mau menjadi petani,” ujar petani yang saya temui di Jepang. Itu pun belum cukup, harga produk-produk pertanian di Jepang, apakah itu beras, buah-buahan, dan sayur-sayuran, begitu tinggi. Mereka mendapatkan kebijakan tarif impor yang tinggi, demi membela nasib petani. Berbeda sekali dengan di sini yang rakyatnya ingin membeli produk pertanian murah, tetapi mudah marah pada realitas impor bahanbahan pangan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.

Impor dibuka lebar-lebar, harga komoditas pertanian dibiarkan rendah, bantuan pada para petani tak sebanding dengan yang diberikan kepada para pengguna mobil. Kalau ini terus dibiarkan, jangan kita berpikir masih ada orang yang mau menjadi petani, kecuali mereka yang benar-benar memiliki panggilan jiwa di sana. Selain mau menjadi petani atau pembatik karena insentif, masalah kedua adalah apakah semua orang bisa? Tentu saja tidak.Untuk bisa diperlukan latihan, pendidikan, proses budaya, dan tentu saja kebiasaan.

Model Sekolah Keterampilan


Di masa-masa lalu sekolah-sekolah menengah sangat sarat dengan keterampilan. Anda mungkin masih ingat dengan mata pelajaran prakarya di sekolah dasar, bermain angklung, melukis, dan seterusnya. Waktu berjalan, entah siapa yang memulai, ternyata kita lebih senang menjadi pelahap teori dan rumus yang sulit daripada keterampilan yang praktis dan menghidupkan. Kesenian tradisional yang sarat keterampilan pun dikurangi, diganti dengan persiapan-persiapan yang lebih intensif untuk mengikuti ujian nasional (matematika, bahasa) dan persiapan masuk perguruan tinggi (di tambah biologi, fisika, kimia, dan seterusnya).

Di era Mendiknas Bambang Soedibyo pemerintah mulai memberi perhatian pada sekolah-sekolah kejuruan. Namun sekali lagi, sayangnya sekolah-sekolah kejuruan itu, selain ditujukan untuk kepentingan industri (khususnya di bidang teknik dan ekonomi), kurikulumnya difokuskan pada cara berpikir Kemendiknas yang cenderung bermodel ”brain-memorybased” (formula-based), bukan ”myelin-based”. Ambil saja contoh sekolah pertanian menengah atas (SPMA) yang dulu dikembangkan melalui jalur pengetahuan Kementerian Pertanian, sekarang masuk dalam Kemendiknas.Tentu saja pemindahan ini erat kaitannya dengan perhitungan (politik) anggaran yang porsinya berlimpah di Kemendiknas (20%).

Peralihan tentu saja berpengaruh pada model kurikulum dan pengertian kebutuhan masyarakat. Selanjutnya tentu perlu dipikirkan pula sekolah-sekolah kejuruan berbasiskan kebudayaan seperti kesenian dan keterampilan tradisional seperti membatik, membuat bordiran, memainkan alat-alat musik etnik dan membuatnya. Kita tentu tidak bisa mendiamkan batik menjadi kebutuhan yang kuat bagi pasar, sementara pasokannya terhambat karena punahnya keterampilan. Ini sama saja dengan memberi peluang untuk masuknya batikbatik buatan negeri tetangga di masa depan. Kalau ini dibiarkan, saya kira Menteri Kebudayaan dan Pariwisata harus mempertanggungjawabkan hal ini kepada UNESCO yang telah mengakui batik sebagai warisan budaya hidup asli Indonesia.

Saya ingin menegaskan kata “budaya hidup” yang dimaksud dalam pengakuan itu, “budaya hidup” adalah intangibles yang tampak pada keseriusan kita melanjutkan tongkat estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya. Intangibles melekat di tangan manusia, tidak dapat diperolah dalam tempo sekejap, dan sekali hilang kita akan kehilangan selama-lamanya. Jadi, bukanlah kebiasaan memakai batik yang perlu dilestarikan, melainkan tradisi membatik dan memperbaruinya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi saya keterampilan ini harus dilembagakan dalam bingkai ”sekolah budaya”.

Sekolah budaya yang harus dibangun haruslah ”myelin-based”, bukan semata-mata formula-based atau ”brain memory-based”. Kombinasi keduanya, ditambah insentif yang menarik, akan menghasilkan kekuatan baru.

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Mengapa tidak ada yang berpikir, ada petani yang kaya. Bagaimana belajar jadi petani yang kaya?
Bagaimana jadi pengusaha ikan terbaik?
Bagaimana jadi guru yang berpenghasilan besar?
Bagaimana jadi pengrajin yang kaya?
Bagaimana jadi peternak yang sukses?

Kalau hal-hal tersebut diterapkan, kita tidak kekurangan lapangan pekerjaan.

Salam
Herni

Dari jaman eyang Suharto, hal ini telah dimulai.
Kalau pengetahuan diseragamkan.
Ketrampilan tergantung pada nilai jual hasil produksi.

Anak petani jadi sarjana dan tidak bertani.
Anak nelayan jadi sarjana dan tidak menangkap hasil laut.
Anak pengrajin belajar kursus kumon, dll.....
Anak guru jadi...... yang penting gajinya lebih membuat keluarga sejahtera.
Pelajaran ketrampilan menjadi orangtua yang baik dan ibu rumah tangga mulai menjadi barang langka

Bagaimana mengubahnya?

Salam
Herni

Tidak ada komentar: