Minggu, 10 Oktober 2010

Sejatinya Guru

Sejatinya guru harus dipandang oleh para pembuat kebijakan dari dua sisi yang berbeda dengan tugas yang melekat padanya. Pertama, guru sebagai profesi. Karenanya guru berhak mendapatkan remunerasi yang layak sebagaimana profesi lainnya. Ia berhak mendapatkan penghasilan yang layak sehingga bisa memenuhi kebutuhan keluarganya, sebagaimana profesional lainnya. Sehingga tidak ada lagi guru yang 'nyambi' ngurusi ini itu demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Segala upaya dan pikirannya akan tercurah demi kemajuan bangsa ini sesuai dengan profesinya. Kedua, guru sebagai hakikat. Sebagaimana layaknya dokter yang mengobati pasiennya tanpa harus memilih milih dan dalam keadaan apapun, ia harus siap menolong penderitaan sang pasien. Demikian juga menjadi lawyer/pengacara, sebagai hakikat, ia (seharusnya) siap mendampingi terdakwa agarhak-hak hukumnya bisa ditempatkan sesuai dengan porsinya. (bukan dengan adigium, maju tak gentar membela yang bayar). Begitu juga guru, ia (harus) selalu siap mendidik dan mengajar siapapun dan apapun kondisinya serta dimanapun tempatnya di negeri ini.

Namun sekali lagi, negara dengan management pemerintahan siapapun harus bisa memandang ini dari dua sisi. Kalau dua hal ini disatukan maka (dikhawatirkan) muncul paradigma seperti ini: "Sebagai guru itu haruslah 'ikhlas', jadi berapapun penghasilannya terima saja. Kan sudah ikhlas?" Padahal 'keikhlasan' muncul dalam diri tiap individu bukan karena paksaan atau permintaan siapapun. Keikhlasan muncul karena ia menjalani proses yang layak, sebagaimana ia dimanusiakan sebagai manusia yang punya hakikat tugas mendidik anak bangsa. Keikhlasan adalah hal yang sangat abstrak dan urusan tiap individu dengan ALLAH yang Maha Pencipta.

Persoalan yang muncul sekarang, ‘Beberapa guru sudah disertifikasi dan berhak menyandang predikat ‘guru profesional’ dengan kisaran penghasilan diatas 5 jutaan rata-rata (kalau di DKi sudah diatas 7,5 jutaan), namun mengapa itu tdk sejalan dengan peningkatan produktifitasnya?” Kalau itu terjadi, maka ia menjalani tugasnya hanya sebatas profesi dan tidak menjalaninya sebagai hakikat. Di beberapa daerah (melalui tayangan Kick Andy dan amatan saya) saya menemukan guru-guru yang menjalani ini sebagai hakikat, dan ia harus mencari nafkah di tempat lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Mereka tidak ‘membanggakan diri’ atau ‘merepotkan diri mereka’ dengan istilah profesi. Mereka menjalaninya semata mata karena merasa bahwa ia punya tanggung jawab besar dalam mendidik anak-anak bangsa ini. Bukankah itu inti dari hakikat, tdk bisa dipaksakan oleh orang lain, karena itu dorongan dari dalam dirinya sendiri.

Hakikat sebagai guru jauh lebih mulia dan jauh lebih mahal (bahkan tak bisa dibayar apapun) dibandingkan dengan seuntai kata bernama ‘profesi’ yang dilekatkan. Jadi, buat ‘para pembuat kebijakan dan pembayar gaji guru,’ bayar gaji mereka dengan kelayakan dan kepatutan karena profesi nya seperti layaknya dokter(kalau guru digaji masih dibawah UMR masih bisakah dikatakan layak dan patut?). Jangan lagi bicara soal hakikat yang kemudian dikaitkan dengan keikhlasan, dan konsekwensinya adalah guru (dipaksa) harus menerima sekecil apapun gaji yang diterimanya. Jelas, itu suatu pola pikir yang salah.

Bagi para guru tetaplah berdiri pada platform hakikat agar kita bisa menjalani amanah kemanusiaan ini tanpa terbebani. Malah itu akan membawa kita pada kemuliaan di sisi ALLAH SWT. Mereka yang menyimpang dari tugasnya dan bahkan ‘melacurkan’ tugasnya, adalah karena mereka tidak memahami hakikat yang melekat pada dirinya. Mereka yang berbuat menyimpang tersebut punya profesi sebagai guru, namun tak punya hakikat sama sekali sebagai guru.


Regards
Iin Hermiyanto

Tidak ada komentar: