Rabu, 20 Juli 2011

Mendidik untuk Kuat Bersaing

Masyarakat Amerika, khususnya kaum pendidik dan para ibu, digegerkan buku Battle Hymn of the Tiger Mother yang baru terbit.

Buku yang ditulis Amy Chua, seorang warga AS keturunan China dan menjadi profesor hukum di Universitas Yale, menuturkan pendapat penulis tentang bagaimana seorang ibu harus mendidik anaknya.

Pendidikan itu harus keras, kuat menanamkan disiplin, dan tanpa ampun dalam menumbuhkan kemampuan. Ia gambarkan bagaimana ia mengharuskan putri-putrinya belajar main piano berjam-jam lamanya. Juga keras dalam membentuk sikap dan kepribadian, seperti melarang pergi malam, lama menonton TV, dan banyak lagi hal yang biasa diizinkan oleh ibu Amerika.

Anaknya harus mendapat nilai-nilai tertinggi dalam pelajaran apa saja dan selalu mengusahakan mencapai peringkat terbaik di sekolah.

Buku itu mengundang reaksi ramai yang menilai Amy Chua sebagai ibu tanpa cinta kasih kepada anaknya, bahkan menyebutnya monster. Akan tetapi, di pihak lain timbul rasa khawatir bahwa cara mendidik versi China (the Chinese way) ini, dan mestinya dilakukan secara luas di China, akan menjadikan China unggul atas AS.

Sudah terbukti bahwa kemampuan anak AS dalam berbagai pertandingan internasional tidak hanya kalah dari China, tetapi juga dari bangsa lain. Hasil tes terakhir dari Program for International Student Assessment menunjukkan bahwa murid AS di sekolah dasar dan menengah hanya mencapai ranking ke-17 untuk membaca, ke-23 untuk sains, ke-31 untuk matematika, dan secara keseluruhan ranking ke-17.

Sebaliknya, prestasi China kini menonjol, seperti tahun 2010 menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar dunia, jumlah periset meningkat 111 persen dibanding tahun 1999 (AS hanya 8 persen), peningkatan murid SMA dari 48 persen anak sekolah tahun 1994 ke 76 persen sekarang, dan lainnya. Orang AS berpikir, sekarang AS masih nomor satu di dunia, tetapi untuk berapa lama lagi?

Ketika diwawancara, Amy Chua menolak disebut monster yang tanpa kasih sayang kepada anak-anaknya. Ia cuma tidak mau menjadikan anak-anaknya orang-orang lemah yang berkembang menjadi pecundang dalam kehidupan yang penuh persaingan. Ia dulu malah mengalami pendidikan yang lebih keras dari ibu-bapaknya. Suami Amy Chua, Jed Rubenfeld, juga profesor hukum di Yale, semula mau mengurangi beban anak-anaknya. Akan tetapi, akhirnya ia harus menyetujui sikap istrinya.

Lingkungan Keluarga

Buat kita di Indonesia ini, semua perlu menjadi petunjuk dalam mendidik bangsa kita menghadapi dunia internasional yang penuh persaingan, di mana hanya yang mampu dan kuat yang dapat bertahan. Sejak lama kita katakan bahwa pendidikan di lingkungan keluarga penting sekali untuk pembentukan karakter bangsa, termasuk daya tahan orang menghadapi berbagai perkembangan, adanya dorongan untuk selalu menghasilkan yang terbaik, bergiat dalam kelompok, dan hal-hal lain lagi.

Hingga kini pendidikan karakter di Indonesia masih amat banyak kekurangannya. Itu yang mengakibatkan sifat manja-mental (mentally spoilt) di banyak kalangan masyarakat. Itu pula sebab utama mengapa kita sukar menemukan pemimpin yang bermutu, yang tidak hanya pandai berteori, tetapi juga mampu mengimplementasikan teori itu.

Dari sebelum China muncul sebagai kekuatan, penulis mengatakan bahwa kita harus sanggup bersaing dengan Jepang yang waktu itu menonjol daya saingnya. Sekarang tidak cukup kita mampu bersaing dengan Jepang, tetapi juga dengan China yang makin kuat. Bahkan dengan Korea yang sekalipun sebagai bangsa relatif kecil, tetapi kuat sekali daya saingnya.

Amat penting kepemimpinan nasional di Indonesia memotivasi pendidikan di lingkungan keluarga untuk membentuk karakter bangsa yang jauh lebih kuat. Kita bangsa dengan banyak bakat yang tinggi nilainya. Akan tetapi, telah terbukti dalam kehidupan umat manusia bahwa nurture is much more important than culture atau mengasuh, mendidik, dan membina jauh lebih penting daripada bakat.

Hendaknya pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta berbagai organisasi kewanitaan mengambil langkah konkret yang menggiatkan pendidikan karakter di lingkungan keluarga. Meskipun pendidikan sekolah juga wajib memberikan pendidikan karakter, kegiatan itu perlu ditingkatkan volume dan mutunya melalui pendidikan dalam keluarga.

Semoga dengan jalan itu bangsa Indonesia berhenti bermental manja, berganti menjadi bangsa yang kuat lahir-batin, dan senantiasa berusaha melakukan dan mencapai yang terbaik dalam kehidupan.

"Bersikaplah sopan, tulislah dengan diplomatis, meski dalam deklarasi perang sekalipun seseorang harus mempelajari aturan-aturan kesopanan" (Otto Von Bismarck).

"Lidah orang berakal dibelakang hatinya, sedangkan hati orang dungu di belakang lidahnya" (Ali bin Abi Talib).

Salam
Sayidiman Suryohadiprojo

Minggu, 17 Juli 2011

soft drink

Akademia, tau nggak sih ternyata coca-cola juga bisa digunakan untuk hal2 seperti di bawah ini. Sekedar kasih tau aja, kita boleh minum macam2 soft drink namun harus mengingat batasan2 yang berlaku.

1. Untuk membersihkan toilet
Tuangkan sekaleng Coca-Cola ke dalam toilet. Tunggu sejam, kemudian siram sampai bersih. Asam sitric dalam Coca-Cola menghilangkan noda-noda dari keramik .

2. Untuk membersihkan radiator mobil
Campur sekaleng Coca-Cola ke dalam radiator. Panaskan mesin 15-30 menit. Dinginkan mesin, setelah itu buang air radiator. Anda akan melihat karat yang rontok bersama air tersebut.

3. Untuk menghilangkan titik-titik karat dari bumper / chrome mobil

Gosok bumper dengan gumpalan alumunium foil yang direndam dalam Coca-Cola.

4. Untuk membersihkan korosi dari terminal aki mobil
Tuangkan sekaleng Coca-Cola di atas terminal aki untuk membersihkan korosi.

5. Untuk melonggarkan baut yang berkarat
Gosokkan kain yang direndam dalam Coca-Cola pada baut yang berkarat.

6. Untuk menghilangkan noda-noda lemak pada pakaian
Tuangkan sekaleng Coca-Cola ke dalam tumpukan cucian yang bernoda lemak, tambahkan
detergent, dan putar dengan putaran normal.

Coca-cola/Pepsi akan menolong menghilangkan noda lemak.

Coca-Cola juga membersihkan kabut pada kaca depan mobil. Kita minum Coca-Cola / Pepsi! Tentu saja juga untuk membersihkan sistem kita. Lagipula kita semua membayar untuk itu.

Untuk Perhatian Kita

PH rata-rata dari soft drink, a.l. Coca-Cola & Pepsi adalah 3.4. Tingkat keasaman ini cukup kuat untuk melarutkan gigi dan tulang! Tubuh kita berhenti menumbuhkan tulang pada usia sekitar 30th. Setelah itu tulang akan larut setiap tahun melalui urine tergantung dari tingkat keasaman makanan yang masuk. Semua Calcium yang larut berkumpul di dalam arteri, urat nadi, kulit, urat daging dan organ, yang mempengaruhi fungsi ginjal dalam membantu pembentukan batu ginjal.

Soft drinks tidak punya nilai gizi (dalam hal vitamin dan mineral). Mereka punya kandungan gula lebih tinggi, lebih asam, dan banyak zat aditif seperti pengawet dan pewarna.

Sementara orang suka meminum soft drink dingin setelah makan, coba tebak apa akibatnya? Akibatnya? Tubuh kita mempunyai suhu optimum 37 supaya enzim pencernaan berfungsi.

Suhu dari soft drink dingin jauh di bawah 37, terkadang mendekati 0. Hal ini mengurangi keefektivan dari enzim dan memberi tekanan pada sistem pencernaan kita, mencerna lebih sedikit makanan.

Bahkan makanan tersebut difermentasi. Makanan yang difermentasi menghasilkan bau, gas, sisa busuk dan racun, yang diserap oleh usus, diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Penyebaran racun ini mengakibatkan pembentukan macam-macam penyakit.

Beberapa Contoh
Dua bulan lalu, ada sebuah kompetisi di Universitas Delhi:
Siapa dapat minum Coca-Cola paling banyak??
Pemenangnya meminum 8 botol dan mati seketika karena kelebihan Karbondioksida dalam darah dan kekurangan oksigen. Setelah itu, Rektor melarang semua soft drink di semua kantin universitas.

Seseorang menaruh gigi patah di dalam botol pepsi, dan dalam 10 hari gigi tersebut melarut! Gigi dan tulang adalah satu-satunya organ manusia tetap utuh selama tahunan setelah manusia mati. Bayangkan Apa yang minuman tersebut pasti lakukan pada usus dan lapisan perut kita yang halus! Bayangkan juga karat mobil saja bisa keropos apalagi lapisan usus kita yang tipis.

Salam
Suwandi

Inner Beauty

Suatu ketika, sang Guru mengajak para pertapa jalan-jalan ke sebuah desa. Dalam perjalanan itu, sang Guru menghentikan langkahnya. Tampaknya, ia tertarik dengan dialog antara anak dengan ibunya.

Anak itu berkata kepada ibunya, "Ibu hari ini sangat cantik."

Ibu menjawab, "Mengapa?"

Anak menjawab, "Karena hari ini ibu sama sekali tidak marah-marah."

Kata sang Guru kepada para pertapanya, "Lihatlah keindahan yang terpancar dari dalam diri mereka!"

¤¤ Mengapa harus mencari tahu seperti apa wajah hantu, jika bisa melihat banyak hantu dalam bentuk lain di sekitar Anda? ¤¤
-Oliver Goldsmith-

Salam
Diana Dwi

Mengapa Mesti Bohong?

Sekali kita berbohong maka kita akan terus berbohong, dan akhirnya bohongnya itu ketahuan. Orang yang berani berkata jujur, maka dia akan diuji dengan kejujurannya. Kejujuran kunci keberhasilan dalam kehidupan. (Omjay)

Pangkal dari dosa adalah bohong

Nasihat tersebut saya kutip ulang dari sebuah akun Facebook milik teman yang menjadi pemred di sebuah media di Jawa Timur. Dia memang gemar menuliskan kalimat-kalimat bernada nasihat, pepatah, dan petuah. Bukan tanpa alasan jika saya mengutip kalimat itu. Sebab, ada pengalaman pribadi yang bersinggungan dengan petuah tersebut, termasuk kasus-kasus yang saat ini tengah hangat di masyarakat.

Pada medio 2009, saya diamanahi uang Rp 15 juta untuk salah satu kegiatan di kantor. Diberikan cash oleh bendaharanya. Jujur, saya semula ragu. Karena itu amanah dari atasan, saya menerima.

Uang tersebut dimasukkan ke dalam amplop cokelat besar dan dilipat-lipat. Ketika pulang ke rumah, uang itu turut saya bawa. Saat berangkat ngantor, uang tersebut saya bawa lagi. Agar tak menimbulkan kesan membawa uang banyak, saya membawa tas cangklong yang biasa saya bawa.

Keluar masuknya uang itu juga saya awasi ketat, terdata dengan baik. Keluar 500 rupiah saja, saya mencatatnya. Pokoknya tidak diutak-atik untuk keperluan selain kegiatan kantor tersebut.

Sebenarnya, pengawasan dari atasan sangat longgar. Kondisi itu sangat memungkinkan tindakan mark up dengan berbagai trik dan alasan. Kalau saya mau, saya bisa mengambilnya beberapa ratus ribu rupiah, bahkan jutaan. Lantas menutupinya dengan segala kebohongan. Mudah dan segalanya memungkinkan pada waktu itu.

Namun, entah mengapa, setiap berniat untuk meminjamnya, saya langsung mengurungkannya. Takut. Jujur saya khawatir niat itu bisa berubah di tengah perjalanan. Dan itu bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, setiap ada peluang.

Alhamdulillah, uang yang nominal bagi saya sangat besar itu bisa sesuai peruntukannya. Kendati pengawasannya longgar, saya tidak berbuat neko-neko dengan memakai uang itu, meski untuk beli es campur sekalipun. Meski bisa saja saya menilapnya, hal ini juga tak terjadi. Jujur saja, saya takut. Seribu perak pun saya nggak berani mengambilnya.

Di kesempatan lain, pikiran saya pernah berkecamuk. Pasalnya, saya berbohong kepada bapak. Saat itu saya sedang sibuk. Dalam percakapan di gagang telepon, bapak menanyakan saya bisa menengok mbah yang sakit atau tidak. Karena dalam posisi benar-benar sibuk, iseng saya menjawab nggak bisa dengan alasan tidak berada di Surabaya. Iseng. Kalimat itu keluar begitu saja seolah tanpa saya sadari karena pikiran ini terpecah ke pekerjaan.

Setelah kerjaan rampung, saya menyadari kalimat yang terlontar kepada bapak sebelumnya. Cemas bukan main. Bukankah bapak bilang tadi mbah sakit dan menanyakan saya bisa menjenguknya atau tidak. Sadar telah berbohong, hati ini nggak tenang rasanya. Sungguh, cemas sekali.

Tanpa pikir panjang, saya izin ke teman untuk meninggalkan tugas sebentar. Saya ke tempat parkir, ambil motor, lalu menggeber kencang menuju rumah mbah. Mampir ke toko sebentar untuk beli makanan kecil, saya menengok beliau. Tak berapa lama, saya menelepon bapak. Melaporkan bahwa saya sudah menjenguk mbah. Juga meminta maaf sama bapak.

Plong sudah rasanya. Seperti melepas beban yang sangat berat. Ternyata bohong itu bener-bener nggak enak, bikin hati tidak nyaman. Teringat salah satu nasihat: ”Jika seseorang mulai berbohong, ia akan menutupinya dengan kebohongan yang lain.”

Makanya, saya tidak habis pikir dengan orang-orang yang korup, berbohong dengan menilap uang rakyat, dan terlibat aksi suap-menyuap. Yang terbaru, masalah Nazaruddin, mantan bendahara Partai Demokrat yang tersangkut kasus dugaan korupsi wisma atlet di Palembang. Dia dikabarkan kabur ke luar negeri. Kabur-kaburan ke luar negeri bukan barang baru bagi orang-orang yang terseret kasus di negeri ini. Contohnya, Nunun Nurbaeti.

Mungkin saja Nazaruddin benar-benar salah. Kalau tidak, kenapa dia nggak berani mudik ke Indonesia saja? Juga, apakah hatinya bisa tenang? Atau ia lupa akan slogan kampanye partainya waktu kampanye dulu: ”Katakan Tidak pada Korupsi!” Iklannya gede banget waktu itu di koran. Anda juga masih ingat, kan?

Salam
Eko Prasetyo

Rabu, 13 Juli 2011

Kisah Sepotong Kue

(Sebuah Kisah Inspiratif)

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara, lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita itu membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya, ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka. Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan. Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu.

Wanita itupun sempat berpikir: "Kalau aku bukan orang baik sudah kutonjok dia!“.
Setiap ia mengambil satu kue, Si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum tawa diwajahnya dan tawa gugup, Si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya sementara ia makan yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir: “Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar malah ia tidak kelihatan berterima kasih”.

Belum pernah rasanya ia begitu kesal. Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si "Pencuri tak tahu terima kasih". Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan nafas dengan kaget.

Disitu ada kantong kuenya, di depan matanya !!! Koq milikku ada di sini erangnya dengan patah hati. Jadi kue tadi adalah milik lelaki itu dan ia mencoba berbagi. Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih. Dan dialah pencuri kue itu !

Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi.

Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya.

Orang lainlah yang selalu salah
Orang lainlah yang patut disingkirkan
Orang lainlah yang tak tahu diri
Orang lainlah yang berdosa
Orang lainlah yang selalu bikin masalah
Orang lainlah yang pantas diberi pelajaran

Padahal Kita sendiri yang mencuri kue tadi Kita sendiri yang tidak tahu terima kasih.

Kita sering mempengaruhi, mengomentari , mencemooh pendapat, penilaian atau gagasan orang lain. Sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya.

Banyak Hakim Tukang Copy-Paste

KOMISI Yudisial (KY) menemukan banyak hakim pemalas memimpin persidangan. Cara kerja hakim itu yakni menyalin pertimbangan dan putusan dari blangko yang sudah ada (copy-paste). Akibatnya, banyak putusan pengadilan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat.

"Bagaimana ini? Sampai saat ini, ada sekitar 300 laporan dari masyarakat seperti itu yang masuk ke KY. Termasuk juga laporan tahun lalu. Semuanya sudah diteliti dan ada yang ditindaklanjuti," papar Ketua KY Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurachman Syahuri dalam pertemuan KY dengan elemen masyarakat sipil, LSM, dan LBH di Jakarta, kemarin. Dijelaskannya, saat ini banyak bermunculan hakim yang malas membuat sendiri pertimbangan dan vonis saat mengadili sebuah perkara. Para hakim itu banyak mengambil jalan pintas, mengambil blangko yang sudah diklasifikasi berdasarkan jenis perkara (di dalamnya sudah ada vonis hukuman), kemudian memindahkannya ke dalam putusan.

"Yang banyak terjadi adalah para hakim itu mengambil pertimbangan dan putusan dengan mengopi blangko yang sudah ada, tinggal mengubah nama dan tanggal. Tinggal copy-paste. Mereka ambil cara gampangnya saja. Bahkan, ada yang salah menulis nama terdakwa. Kan, repot ini," tandas Syahuri.

Akibatnya, perilaku malas hakim itu membuat banyak putusan pengadilan keliru. Tidak sedikit warga masyarakat korban putusan copy-paste itu sudah mengadukan kekeliruan itu ke KY.

"Karena copy-paste tadi, ada temuan yang pertimbangan dan amar putusannya tidak nyambung. Itu pasti memengaruhi putusan," ucapnya.

KY sudah memberi tahu Mahkamah Agung (MA) soal banyaknya aduan masyarakat atas perilaku hakim malas itu. MA diharapkan menindak tegas para hakim tersebut.

"Jangan lagi ada hakim seperti ini. Bagaimana keadilan bisa ditegakkan kalau hakimnya seperti itu? KY sudah bicara kepada MA agar hakim-hakim ini ditindak tegas," imbuhnya.

Guna meningkatkan pengawasan terhadap perilaku hakim, KY juga menambah posko pemantau peradilan di daerah. Kemarin, KY menandatangani memorandum of understanding (MoU) pendirian 18 posko pemantauan peradilan yang elemennya masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat.

"Tujuan dibentuknya posko itu untuk mempermudah akses keadilan bagi masyarakat di daerah untuk mengadu ke KY," kata juru bicara KY Asep Rahmat Fajar.

Ia mengungkapkan pada 2010 KY telah mengembangkan jejaring di daerah dengan membentuk posko pemantauan peradilan di sembilan daerah, yaitu Medan, Riau, Palembang, Surabaya, Samarinda, Makassar, Kendari, Denpasar, dan Mataram.

Pada 2011, lanjutnya, KY menambah sembilan posko lagi yang tersebar di Nanggroe Aceh Darussalam, Padang, Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Palu, dan Manado.

Dia berharap keberadaan kinerja jejaring itu bisa disinergikan dengan kerja sama KY dengan rumah aspirasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

From: Koran Digital

Selasa, 12 Juli 2011

Pendidikan Moral di Jepang

(sebuah cerita inspirasi)

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.

Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.

Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji. Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
Salam

Rabu, 06 Juli 2011

Sudah Berapa Lama Saya Hidup?

Assalamu’alaikum wr.wb
Sahabat saya yang baik. Izinkan saya memulai dengan mengutip ungkapan rasullah tentang kehidupan kemarin, hari ini dan esok. Berhubungan erat dengan kondisi dan karakter seseorang, Anda dan saya.

Bila hari ini lebih baik dari kemarin maka orang itu dinamakan orang beruntung.
Bila hari ini sama dengan hari kemarin, maka orang itu disebut orang rugi.
Bila hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka orang itu termasuk orang celaka.

Apakah benar usia Anda seperti saat ini?
Ngomong-ngomong, mari saya ajak Anda sejenak untuk berfikir kembali, berapakah usia Anda sekarang? Bila saya melihat pada kalender masehi, maka tepat pada tanggal 22 Mei 2011 ini, usia saya genap 26 tahun. Bagaimana dengan Anda? Tetapi, ada pertanyaan menarik mengusik dalam sini. Apakah benar usia saya sekarang 25 dan akan menggenapi 26? Begitupula dengan umur Anda saat ini. Apakah benar itu umur Anda?

Asumsi 10.000 jam
Sementara itu, kita terbang berkunjung ke buku outlier. Karangan Malcom Maxwell. Dalam buku yang best seller tidak hanya di negaranya Amerika, tapi juga di Negara tercinta ini. Disampaikan tentang efek 10.000 jam. Adalah menjelaskan tentang aktivitas pada bidang tertentu, bila dilakukan terus menerus secara rutin dan berkembang terus hingga mencapai angka 10.000 jam. Maka berdasarkan amatan dia, rata-rata orang itu menjadi ahli pada bidang tersebut.

Bill gate dan The Beatles

Diantara contoh yang disebutkan adalah Bill gate dan The Beatles. 10.000 jam Bill gate adalah kesempatan yang dia dapatkan dari sebuah perusahaan yang menginzinkan diri nya untuk menggunakan computer di perusahaan tersebut, dan dia terus berlatih hingga 10.000 jam. Kemudian The Beatles. Group musik yang memperoleh khans untuk bernyanyi selama hamper 4 tahun (1960-1964), di sebuah café di Jerman. Mereka tampil selama 7 jam sehari, dan 7 hari selama 1 minggu.

Hanya mengulangi tahun yang sama
Kembali dengan usia kita, Apakah benar usia Anda dan saya seperti sekarang? Seorang Trainer pernah bertanya kepada audience. ”Apakah jam terbang Anda sebagai trainer sudah 7 tahun, atau satu tahun di ulang selama 7 kali?” begitupula pertanyaan usia Anda dan saya sekarang? Apakah usia saya 25 tahun atau saya mengulangi 8 tahun setelah saya berusia 17 tahun?

Hari ini saya menjadi ragu dengan usia saya sesungguhnya. Mungkin dan bisa jadi saya mengulangi dengan tahun-tahun yang sama. Setiap akhir tahun merancang hidup baru dengan goal setting baru. Padahal kenyataan goal setting tersebut, tidak lebih seperti tahun-tahun sebelumnya.

Mari mengukur usia
Bila mengukur tahun mungkin lumayan besar interval pengukurannya. Bagaimana kalau kita menghitung hari saja dalam satu minggu. Karena hari dalam minggu belum pernah berubah. Diawali dengan hari minggu, berakhir dengan sabtu. Terserah Anda mau mengawali dari mana, yang jelas dan benar, bahwa satu minggu adalah 7 hari.

Mari kita sadari. Apakah aktivitas kita di hari minggu, sama atau berbeda dengan hari senin? Apakah hari selasa sama dengan atau berbeda dengan rabu? Apakah rabu berbeda dengan atau sama dengan kamis. Dan apakah hari kamis sama dengan atau berbeda dengan jumaat. Hingga bertemu dengan minggu kembali.

Hakikatnya masih di tahun yang sama
Tahun-tahun yang sudah kita isi, sangat mudah di fahami berdasarkan hari-hari yang gunakan, manfaatkan, dan kita isi selama satu minggu itu. Apabila sama, maka demikianlah tahun-tahun yang sudah berjalan. Secara kalender dan waktu yang telah berputar, benar kita sudah melewati seperti usia kita saat ini. Tetapi, hakikatnya kita masih di tahun yang kita ulang-ulang setiap tahunnya.

Berapa tahun pengalaman kerja Anda?

Guru saya pernah bercerita. Pengalaman seseorang bekerja dapat diukur berdasarkan aktivitas yang dia alami di tempat kerjanya. Suatu ketika beliau berkesempatan menginterview seorang pelamar kerja, yang dalam daftar riwayat hidupnya sudah bekerja selama 8 tahun. Kemudian guru saya bertanya ”Selama 8 tahun, berapa tahunkah yang Anda alami sangat-sangat senang, bahagia dan benar-benar menikmati bekerja?” sang pelamar menjawab ”3 tahun pak, sebelum saya menjadi manager di perusahaan saya dulu.” Kemudian guru saya melanjutkan ”Selebihnya?” ”saya mengisi dengan penuh tekanan target, atasan marah, pelanggan komplain.”

Jawaban sang pelamar tadi, mengartikan bahwa ia hanya bekerja dan berpengalaman selama 3 tahun. Selebihnya hanya jasad saja yang mengikuti rutinitas layaknya robot hidup.

Apakah Anda dan saya orang beruntung?
Kembali dengan ”Sudah berapa lama saya hidup?”. Sungguh ternyata, lamanya kita menjalani kehidupan ini sangat ditentukan, bagaimana kita mengisi dan menggunakannya. Sehingga bila merujuk kepada hadist diatas, kehidupan orang-orang beruntung adalah kehidupan mereka yang telah mengisi hidupnya dengan hal baru, yang bermanfaat bagi diri nya. Mereka terus menjalani hari ini selalu lebih baik dari hari yang telah meniggalkan nya.

Adakah diantara sahabat, yang benar-benar telah mengisi dan menjalani usia ini, sesuai dengan umur kehidupan dunia ini?

Salam
Rahmadsyah Mind-Therapist

The White Tiger

Setiap kali ke toko buku saya selalu mengambil beberapa buku yang saya anggap bagus untuk dibaca. Tapi biasanya saya tidak selalu punya waktu untuk membaca semua buku yang saya beli tersebut. Soalnya sebelum semuanya saya baca saya sudah ke toko buku lagi dan mengambil beberapa buku lagi. Salah satu buku yang sudah saya beli cukup lama tapi tidak sempat saya baca sampai hari ini adalah “The White Tiger” karya Aravind Adiga, seorang keturunan India yang dibesarkan di Australia. Ia menamatkan studinya di Universitas Columbia dan Universitas Oxford. Ia pernah menjadi koresponden India untuk majalah Time.

Meski The White Tiger adalah novel pertamanya tapi novel ini langsung mendapat penghargaan The Man Booker Prize. The Man Booker Prize adalah lembaga yang mempromosikan ‘the finest in fiction by rewarding the very best book of the year’. Penghargaannya adalah ‘the world's most important literary award’ dan Aravind Adiga adalah pemenang penghargaan tersebut pada tahun 2008. Selain itu karyanya mencatat salah satu novel yang paling cepat penjualannya dalam sejarah The Man Booker Prize. Ini membuktikan bahwa buku Aravind Adiga adalah buku yang luar biasa.

Buku ini tenggelam dalam rak buku saya dan baru saya lihat lagi ketika saya mencari-cari buku untuk saya baca. Hari ini saya akan ke bank dan seperti yang kita ketahui bersama bank mana pun selalu penuh pada hari Senin dan saya pikir alangkah enaknya jika kita bisa menunggu giliran dipanggil sambil membaca sebuah buku yang ‘mak nyus’.

Dan buku ini benar-benar ‘mak nyus’! Saya sampai heran kenapa saya tidak langsung membacanya waktu pertama kali saya membelinya beberapa bulan yang lalu!

Begitu membaca paragraph pertama saya langsung tersedot oleh gaya bertutur Aravind yang sungguh jenaka. Saya terkekeh-kekeh membaca paragraph demi paragraph dan berharap agar tidak segera dipanggil oleh petugas teller bank yang cantik tersebut. Gaya berceritanya mengingatkan saya pada Andrea Hirata yang mampu membius kita dengan sinismenya yang tajam tapi sangat jenaka.

The White Tiger adalah kisah tentang petulangan dua orang India, Balram dan Ashok, si budak dan tuannya. Balram yang semula adalah laki-laki yang jujur dan pekerja keras akhirnya tercebur menjadi pembunuh tuannya. Ia berubah demikian karena marah pada keserakahan para penguasa elit India yang menghisap rakyat dengan tanpa belas kasihan. Buku ini bercerita tentang ironi India yang digambarkan 'penuh dengan entrepreneur sekali pun tidak memiliki air minum, listrik, saluran pembuangan, sarana transportasi public, budaya menjaga kebersihan, disiplin, keramahan'. Jadi India meski tidak punya semua itu tapi punya banyak entrepreneur dan jumlahnya ribuan, terutama dalam bidang teknologi (IT tentunya)!

Bab pertama dari buku ini dibuka dengan sebuah surat kepada Yang Mulia Wen Jiabao, Perdana Mentri Cina, yang ditulisnya sebagai Negara Pencinta Kebebasan (pencinta kebebasan katanya?). Surat itu ditulis oleh “Sang Harimau Putih” Pemikir dan Entrepreneur yang bermukim di pusat dunia teknologi dan Outsourcing Elektronik, Bangalore, India. Jadi sejak bab pertama saja buku ini sudah menawarkan gambaran kisah yang menarik. Apa hubungan antara PM Cina, Negara Pencinta Kebebasan, paradox antara ‘Pemikir’ dan ‘Entrepreneur’, dan India (atau Bangalore khususnya)?

Sang Harimau Putih memulai kalimatnya dengan

“Sir, Kita berdua sama-sama tidak bisa berbahasa Inggris, tapi ada beberapa hal yang hanya bisa diungkapkan dalam bahasa Inggris.”

Dan ia pun bercerita tentang berita di All India Radio yang mengabarkan bahwa PM Jiabao akan mengunjungi Bangalore minggu depan,”Mr Jiabao memiliki misi penting-beliau ingin mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang Bangalore.”

“Darah saya seakan membeku. Sayalah orang yang tahu informasi sebenarnya tentang Bangalore.

“Anda ingin belajar mencetak entrepreneur Cina, itulah alasan kunjungan Anda. Saya merasa bangga. Lalu tiba-tiba saya sadar bahwa sesuai protokol internasional, perdana menteri serta menteri luar negara saya akan menyambut Anda di bandara dengan membawa kalungan bunga, patung mungil Gandhi dari kayu Sandalwood, serta buklet informasi lengkap tentang sejarah, keadaan masa kini, serta prospek masa depan India.

“Ketika itulah saya merasa perlu mengucapkan hal itu dalam bahasa Inggris, Sir. Keras-keras.”

Tahukah Anda apa ungkapan dalam bahasa Inggris yang katanya dipelajarinya dari janda mantan bos Balram si Harimau Putih ini?

“Omong kosong besar.” (Jika Anda paham bahasa Inggris maka Anda akan tertawa lebih keras).

Novel ini memang penuh sinisme tapi benar-benar jenaka. Saya terpingkal-pingkal membacanya.

“Sudah merupakan adat orang di Negara saya untuk memulai sebuah cerita dengan berdoa kepada Yang kuasa.”

Yang mulia, saya rasa saya juga harus memulai dengan “menjilat bokong dewa”.
Masalahnya dewa yang mana? Ada begitu banyak pilihan.
Kaum muslim punya satu Tuhan.
Orang Kristen punya tiga Tuhan.
Sementara kami penganut Hndu punya 36.000.000 dewa-dewi.
Jadi saya harus memilih dari total 36.000.004 bokong suci.

Nah, ada sebagian kalangan, bukan hanya Komunis seperti Anda, tapi juga para pemikir dari berbagai partai politik, yang beranggapan bahwa sebagian besar tuhan dan dewa-dewi ini nyata. Bahkan ada yang menganggap semuanya tidak nyata. Yang ada hanya manusia dan samudra kegelapan di sekeliling kita. Saya bukan filsuf atau penyair- jadi bagaimana mungkin saya tahu kebenaran? Kenyataannya tuhan-tuhan ini tidak terlalu banyak berguna-sama seperti politisi kami- namun tetap saja mereka menempati takhta emas di surga, tahun demi tahun. Bukan berarti saya tidak menghormati mereka, Pak Perdana Menteri! Jangan sampai ide melecehkan tersebut terserap ke batok kuningmu. Di negara saya, kami harus selalu punya dua sisi: entrepreneur India harus jujur dan penuh tipu muslihat, mengejek dan percaya, licik dan tulus, pada saat yang sama.”

Dan saya tertawa terpingkal-pingkal.
Jadi: saya memejamkan mata. Melipat tangan dalam sikap Namaste, dan memohon kepada para dewa untuk menyinari kisah gelap saya.
Sabarlah Mr Jiabao. Kisah ini agak panjang.
Menjilat 36.000.004 bokong dewa memang sangat lama bukan?

Dan saya kembali terpingkal-pingkal. This guy is really funny!

Buku ini memang terang-terangan mengejek India tapi dengan cara yang jenaka. Saya jadi berpikir bagaimana seandainya ada penulis Indonesia yang berani menulis tentang Indonesia dengan cara mengejek yang sengit seperti Aravind Adiga ini (Ah! Tiba-tiba saya teringat pada Hanung Bramantyo, anak muda jenius yang membuat karya film dengan judul “?” (Tandatanya) dan dihujat habis-habisan setelahnya. Mungkin kalau Aravind adalah orang Indonesia ia akan dijadikan target ‘yang darahnya dihalalkan’)

Satu fakta tentang India adalah : putarbalikkan pernyataan apa pun yang Anda dengar dari perdana menteri kami tentang negara ini dan anda akan mendapatkan informasi sebenarnya. Nah, Anda sudah mendengar bahwa Ganga disebut sungai emansipasi dan setiap tahun ratusan turis Amerika datang untuk memotret para Sadhu telanjang di Hardwar atau Benaras, dan perdana menteri kami pasti menggambarkannya persis seperti itu lalu membujukmu untuk berendam di sungai tersebut.

Jangan!-Mr Jiabao, saya sarankan Anda tidak berendam di sungai Ganga kecuali Anda ingin mulut Anda dipenuhi kotoran manusia, jerami, potongan tubuh manusia yang sudah lembek, potongan busuk mayat kerbau, serta tujuh macam limbah industri yang berbahaya.’

Sungguh menggigit…!
“Di jalan masuk rumah saya, Anda akan menjumpai anggota keluarga saya yang paling penting.

Kerbau.
Dialah anggota keluarga tergemuk; sebagaimana halnya di semua rumah lain di desa kami.”

Dan saya terkekeh-kekeh lagi. Asem tenan cah iki…!

What a funny guy!
Salam
Satria Dharma
http://satriadharma.com/

Menjadi Guru: Sebuah Penutup

Jadi, hmmm…Guru … Apa yang ada di pikiran kita saat membayangkan profesi ini ? Profesi paling mulia di muka bumi ? The mother of all professions ? Anak tiri pemerintah ? Pahlawan tanpa tanda jasa? Pahlawan yang sudah mulai diakui kehadirannya? Penuturan di bawah ini mungkin bisa membantu kita memaknai profesi guru….

Apa yang sesungguhnya bisa dilakukan seorang guru?

Loretta adalah guru lulusan sebuah universitas di Amerika Serikat. Dalam suatu kesempatan Eko, sepupunya yang bekerja sebagai Chief Executive Officer di sebuah perusahaan multi nasional, mengajukan pertanyaan,”Apa sih sesungguhnya yang dilakukan seorang guru? Kok, kamu akhirnya jadi guru? Capek-capek kuliah, lembur buat tugas ratusan kali, kedinginan, jauh dari keluarga dan akhirnya jadi guru? Kata pepatah, ‘Those who can, do. Those who can’t, teach’.

Loretta menanggapi pertanyaan itu setelah berpikir sejenak….

“Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?

Saya membuat anak-anak bisa belajar lebih keras dari yang mereka kira dan dari yang orang tua mereka sangka.

Saya membuat mereka bisa duduk selama 40 menit kendati orang tua tak mampu membuat mereka duduk tenang selama 10 menit tanpa bantuan Ipod, DVD player, MP 3 player atau video game.

Saya membuat nilai 6 di tangan mereka serasa seperti piala di tangan Susi Susanti ketika ia menjuarai Olimpiade.

Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?
Saya membuat mereka takjub.

Saya membuat mereka berpikir.

Saya membuat mereka bertanya.

Saya memberi mereka pujian sehingga rasa percaya diri meningkat.

Saya mengajak mereka menyanyi di acara sekolah sehingga mereka berani tampil di depan umum.

Saya mengajarkan mereka untuk minta maaf seusai mereka melakukan kesalahan.

Saya mengajarkan mereka agar menghormati semua orang termasuk petugas kebersihan di sekolah serta penjaga kantin.

Saya mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat.

Saya meminta mereka untuk menanggung konsekuensi dari pelanggaran yang mereka lakukan.

Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?
Saya mengajar mereka membaca, menulis dan berhitung sehingga mereka tak mudah ditipu.

Saya menyuruh mereka untuk membaca, membaca dan membaca.

Saya meminta mereka berdiskusi dan mempertahankan pendapat jika mereka bisa menopangnya dengan alasan yang kuat.

Saya meminta mereka untuk memahami pandangan temannya dan tetap menaruh rasa hormat walau mereka tak setuju saat berdiskusi.

Saya meminta mereka untuk menghargai perbedaan.

Saya meminta mereka untuk mengakui kesalahan jika terbukti mereka salah.

Saya membawa mereka ke museum.

Saya meminta mereka untuk menyanyikan Indonesia Raya dengan khidmat saat upacara bendera.

Saya meminta mereka tunduk, mengenang jasa pahlawan saat Lagu Syukur dikumandangkan.

Saya mengajarkan mereka untuk menghargai pahlawan.

Lebih dari semuanya, saya membuat mereka paham betul, bahwa jika mereka melakukan sesuatu dengan segala yang mereka miliki dan dengan semua potensi yang ada, pasti mereka akan berhasil.

Saya menyuntikkan semangat ke dalam tubuh mereka.

Saya memberikan mereka inspirasi.

Saya menyebarkan optimisme dan cinta kasih.

Guru memang tidak punya uang sebanyak pengusaha, apalagi CEO kayak kamu. Hmmm….I do not make money, I make a difference…Eko, what do you make?

Jadi, untuk yang terakhir kali, apa yang melekat di benak saat kita mendengar kata ‘guru’ ? apa sesungguhnya ‘menjadi guru’ itu ? Sindhunata, Pemimpin Redaksi majalah bulanan Basis, dalam sebuah tulisannya pernah mencoba menggugah kita untuk merenungkan apa makna pendidikan sesungguhnya (2001:3).

“…betapa pendidikan kita telah banyak menyeleweng dari tugasnya yang paling dasar, yakni membantu anak didik menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Pendidikan perlu membuat manusia terkejut, mengapa ia begitu tertutup, padahal kesadarannya menuntut, hanya bila mau terbuka maka ia akan bahagia. Pendidikan juga perlu membuat manusia kaget, mengapa ia begitu takut, padahal kesadarannya menuntut, agar ia berani untuk memperjuangkan hidupnya. Pendidikan juga harus membuat ia benci terhadap dirinya, mengapa ia membenci dan menindas orang lain, padahal kesadarannya menuntut bahwa hanya dengan saling mencintai dan hormat satu sama lain, ia akan menjadi manusia bahagia dalam masyarakatnya”.

Marilah kita memaknai profesi guru dengan merenungkan pernyataan mengenai arti pendidikan yang dilontarkan Sindhunata di atas.

Selamat berpikir
Salam
Meicky

Dasyatnya Doa Ibu

Kejadian Pertama

Hari itu, 31 Desember 1998, tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Malam menjelang tahun baru, saya masih berada di rumah. Ibu dengan dibantu beberapa ibu-ibu tetangga sedang memasak menu untuk acara syukuran di kompleks perumahan kami. Tri, kawan sepermainan saya, memanggil-manggil saya untuk ikut keluar. Keluyuran, menikmati suasana malam menjelang tahun baru.

Sebelumnya, ibu tidak mengizinkan saya. Saya diminta di rumah dan membantu beliau. Namun, saya tidak mengindahkan. Kata bapak, waktu itu ibu sempat mengatakan, ”Awas kalau ada apa-apa nanti di jalan.” Namun, saya tidak mendengarnya. Keburu keluar bersama kawan saya.

Kami naik motor. Tidak jelas tujuannya. Yang penting, kata Tri, jalan-jalan. Motor pun digeber cukup kencang. Sekitar pukul 20.00, saat melewati sebuah tikungan, Tri tidak mengurangi kecepatan. Tiba-tiba sebuah mobil Taft menyeruak di depan, Tri kaget. Karena panik, ia tak bisa mengendalikan laju motor. Motor bersama kami masuk parit, cukup dalam. Akibatnya, kami berdua terluka. Saya yang berada di boncengan mengalami luka serius di kaki.

Kendati meringis kesakitan, saya masih sadar. Berusaha meminta tolong. Pada saat itu, kaki kanan saya tidak kuasa menyanggah tubuh saya. Saya tidak bisa berdiri. Setelah dilihat, celana saya sudah berlumuran darah. Saya tak sempat melihat luka di kaki kanan saya tersebut. Yang jelas, darah yang keluar cukup banyak. Kepala saya mulai pening. Dalam kondisi setengah sadar dan pandangan yang mulai kabur, saya melihat kerumunan orang menuju ke arah saya. Setelah itu, saya tak tahu lagi apa yang terjadi.

Saat sadar, saya sudah berada di ruang perawatan khusus di RS Mekar Sari Bekasi. Menurut bapak, jika terlambat sedikit saja, nyawa saya saat itu mungkin tidak tertolong karena darah yang mengucur dari kaki saya cukup banyak.

Saya juga sempat melihat ibu. Tampak jelas beliau menahan tangis. Wajah saya dipeluk. Saya minta maaf kepada beliau. Setelah itu, saya kembali tak sadar. Pasrah pada apa pun yang terjadi.

Namun, saya sangat bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menghirup udara dunia. Setelah menjalani operasi, kondisi saya berangsur membaik. Memang lukanya cukup parah. Otot besar tepat di bawah dengkul robek. Dokter menjelaskan, saya bisa berjalan, tetapi pincang. Artinya, saya harus menerima kenyataan bahwa kaki kanan saya ini cacat.

Ibu berusaha terus membesarkan hati saya. Menghibur dan memberikan semangat agar saya tidak patah arang. Berhubungan atau tidak, saya percaya bahwa kejadian malam itu tak lepas dari doa beliau. Ibu bilang, beliau mendoakan keselamatan untuk saya. Dan itu dikabulkan oleh-Nya. Alhamdulillah.

Kejadian Kedua

Kala itu, selepas lulus dari IKIP Surabaya pada 2004 saya masih menjalani waktu-waktu tak menentu di Surabaya. Saya menganggur setelah sebelumnya sempat ”magang” di warung kopi milik paman. Tak betah, tapi saya tetap memutuskan untuk tinggal di Surabaya. Seolah dapat ilham, saya teringat ibu. Saya menelepon beliau dan menceritakan kondisi saya yang luntang-lantung di Surabaya. Sulitnya mencari kerja. Mau buka usaha pun tak sanggup. Mengirim lamaran kerja, sebagai guru dan pegawai swasta, tetapi belum kunjung ada panggilan. Semuanya saya ceritakan kepada beliau.

Di ujung telepon, pada pengujung pembicaraan, saya meminta restu ibu agar segera dapat kerja. Esoknya, saya dapat panggilan dari PT Tata Solusi Pratama (TSP) di divisi logistik. Hanya sekali ikut tes, saya dinyatakan diterima dan bekerja di sana. Meski hanya digaji Rp 800 ribu, saya sangat bersyukur. Alhamdulillah.

Kejadian Ketiga


Saya mulai tak kerasan di PT TSP. Saya sadar bahwa saya memiliki kemampuan lebih untuk sekadar jadi pegawai gudang (logistik). Saya ingin mengembangkan karir di bidang lain. Dan impiannya saya adalah jurnalistik atau pendidikan. Saya memberi tahu ibu soal niat saya untuk hengkang dari TSP. Beliau bilang, semua terserah saya. ”Pokoknya, apa yang terbaik menurutmu, ibu mendukung,” ucapnya waktu itu. Saya meminta restu beliau untuk mendoakan saya agar bisa mencapai apa yang saya cita-citakan.

Surat resign saya serahkan ke atasan. Dikabulkan. Saya resmi jadi pengangguran lagi. Namun, itu tak berlangsung lama. Secara tak sengaja, ketika ngopi di kawasan Ketintang, dekat kampus IKIP, saya membaca lowongan kerja. Terpampang jelas di situ, Jawa Pos butuh ”polisi EYD” alias tukang edit. Segera saya membeli amplop cokelat ukuran folio, kertas HVS selembar, dan menyiapkan berkas lain untuk mengirim surat lamaran kerja ke sana. Setelah siang saya mengirimkannya, malamnya saya telepon ibu. Meminta doa beliau.

Impian jadi nyata. Saya lolos tes administrasi dan ikut tes tulis. Setiap lolos, saya mengabarkan kepada ibu dan bapak. Ibu sangat antusias mendengarnya. Berharap saya bisa lolos dan meyakinkan bahwa saya pasti bisa. Ketika ikut tes ketiga, yakni psikotes, saya melaluinya dengan baik. Selanjutnya, saya menjalani tes wawancara dengan kepala editor (Pak Guntur) dan koordinator liputan (Pak Baihaqi). Saya sempat dicecar oleh Pak Baihaqi tentang kebiasaan membaca. Bahkan, beliau sempat melontarkan nada tinggi ketika saya agak gugup ketika menjawab. Namun, saya lolos! Gembira bukan kepalang. Saya merasa juara meski belum sepenuhnya diterima. Paling tidak, saya sudah menyisihkan banyak sarjana bahasa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Seingat saya, ada lulusan UGM dan Undip. Wajah mereka tampak pasti. Namun, seperti ibu bilang bahwa saya pasti bisa. Doanya menjadi penyemangat yang dahsyat. Kepercayaan diri saya berlipat-lipat.

Tiba tes terakhir, yakni kesehatan. Jujur, saya ragu. Pasalnya, saya punya sakit jantung lemah. Sehingga telapak tangan dan kaki saya selalu basah. Ini membuat saya nggak pede. Saya memohon doa kepada ibu. Tinggal selangkah lagi. Esoknya saya mengikuti serangkaian tes kesehatan lengkap. General check up. Saya yakin doa ibu selalu menyertai setiap langkah saya. Bismillah. Dan betul, saya dinyatakan lolos. Allahu akbar. Tak menyangka impian saya untuk menggeluti dunia jurnalistik benar-benar terealisasi.

Kejadian Keempat

Saya berkenalan dengan seorang alumnus Undip, kader Partai Keadilan Sejahtera. Perempuan berparas cantik dan murah senyum. Kami memutuskan bertaaruf. Sekali bersua, saya lantas nekat berkunjung ke rumahnya di Pekalongan. Mengutarakan niat kepada orang tuanya untuk melamarnya. Benar-benar bonek lah. Padahal, kala itu, saya belum punya tabungan untuk menikah. Pada pertemuan selanjutnya, orang tua saya sowan ke Pekalongan. Beberapa minggu kemudian, ganti keluarga calon mertua yang menyambangi rumah orang tua saya di Bekasi.

Semuanya terasa begitu cepat. Ibu sempat tanya ke saya, ”Apa kamu sudah siap?” Saya jawab, ”Insya Allah, Bu. Saya sangat siap.” Modal yakin saja. Allah pasti menolong saya, begitu pikir saya waktu itu.

Setelah lamaran, tanggal pernikahan kami pun ditentukan, 8 Maret 2009. Dan kantong ini belum cukup ”tebal”. Bahkan, saya belum mendapatkan kontrakan buat kami.

Saya bilang ke ibu tentang hal ini. Bapak hanya sopir, penghasilannya tak seberapa. Jika ada order, dapat uang. Jika tidak, ya nganggur. Tidak pasti setelah beliau pensiun. Ibu hanya menjual nasi bungkus dan bikin kue yang dititipkan ke warung-warung. Sangat membantu finansial rumah tangga. Karena itu, saya nggak tega untuk minta bantuan keuangan kepada ibu dan bapak untuk biaya menikah. Bingung. Gamang sekali waktu itu.

Ibu membesarkan hati saya. ”Minta sama Allah, Dia pasti menolong,” jawab ibu singkat. Saya bersemangat lagi. Tanggal pernikahan sudah dekat. Saya berusaha mencari dana untuk modal nikah. Kemudian saya bertemu dengan Mas Mierza, bendahara Badan Amil Zakat (BAZ) Jatim. Saya mengutarakan kesulitan saya. Tanpa tedeng aling-aling, beliau bersedia memberikan pinjaman tanpa anggunan sama sekali. Alhamdulillah walaa ilaha illallah...

***

Saya tak pernah menyangsikan kekuatan doa seorang ibu. Memang manusia hanya bisa berusaha, selanjutnya keputusan berada di tangan Allah.

Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barangsiapa mengabaikan orang tuanya, maka dia kafir.” (HR. Muslim)

Pada hadis lain disebutkan, ketika ditanya tentang peran kedua orang tua, Rasulullah SAW menjawab, "Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu." (HR. Ibnu Majah)

Semoga Allah selalu melindungi ibuku, ibuku, ibuku, dan ayahku. Menyayangi mereka sebagaimana mereka menyayangi aku sejak kecil sampai sekarang. Amiin.

Salam
Eko Prasetyo

Selasa, 05 Juli 2011

Menjaga Konsistensi Menulis

Menjaga konsistensi menulis tak semua orang bisa melakukannya. Kita lihat saja teman-teman di kompasiana. Ada yang dulunya rajin menulis setiap hari. Bahkan dalam sehari bisa 3 sampai 4 tulisan. Namun hanya sedikit saja orang yang bisa menulis dengan penuh konsistensi hingga hari ini. Kenapa? Karena orang yang menulis dengan niat berbagilah yang akan terus bertahan dan mempertahankan konsistensinya.

Falsafah mata air selalu menjadi pijakannya dalam berpikir. Lihatlah mata air. Mengalir deras setiap hari. Semakin diambil airnya, justru malah semakin jernih airnya. Itulah sebuah falsafah hidup dari orang yang menjaga konsistensi menulis. Dirinya harus seperti mata air yang tak boleh berhenti mengalir.

Wah, kalau begitu susah dong! Ya gak susah, mudah saja kok! Asalkan ada komitmen yang tinggi dari dalam diri. Meminjam istilah Prof. Arief Rachman, AKU-nya harus kuat.

Apa itu AKU? A itu adalah ambisi atau cita-cita, K itu adalah kemauan atau Kemampuan, dan U itu adalah usaha atau kerja keras. Tanpa ambisi, kemauan, dan usaha mustahil anda akan mampu menjaga konsistensi dalam menulis. Sebab menulis itu membutuhkan pengorbanan, baik soal waktu dan juga hal lainnya.

Bagi saya yang berprofesi sebagai seorang guru, menulis itu adalah sebuah kebutuhan. Dengan menulis saya memproduksi dari apa yang telah saya baca.

Saya memiliki sebuah ambisi untuk menjadi seorang produsen pengetahuan dan bukan cuma sebagai konsumen pengetahuan. Pola berpikir saya pun sudah saya rubah. Dari guru yang suka download menjadi guru yang senang mengupload. Artinya, langkah dan pemikiran-pemikiran saya tentang dunia pendidikan akan terekam dengan jelas ketika saya masih hidup. Saya pun akan meninggalkan banyak jejak dalam dunia maya karena saya mampu menjaga konsistensi menulis setiap hari.

Menulis setiap hari itu mudah kawan. Hanya kitalah yang tak punya misi untuk diri kita sendiri. Ambisi tanpa diikuti oleh kemauan dan kemampuan sama saja dengan bermimpi. Oleh karenanya saya menjaga mimpi-mimpi itu menjadi nyata dengan cara menuliskannya. Perlu kerja cerdas, kerja ikhlas, kerja tuntas, dan kerja keras yang tak pernah henti. Saya ingin seperti almarhum Buya Hamka yang begitu produktif dalam menulis.

Menjaga konsistensi dalam menulis harus terekam dalam alam bawah sadar kita. Ketika itu sudah terekam, maka aktivitas yang akan dilakukan maupun yang telah dilakukan akan dengan mudah dituliskan, karena menulis telah menjadi sebuah kebutuhan. Tidak mudah memang, tapi bisa. Bila anda komitmen, dan membiasakan diri menulis sebelum tidur atau setelah bangun tidur atau disela-sela kesibukan anda bekerja, maka anda akan menjadi orang yang konsisten dalam menulis.

Lalu bagaimana cara mengatasi kemalasan diri? Caranya mudah saja. Segera tuliskan apa yang membuatmu malas. Dengan begitu tanpa disadari kegairahanmu dalam menulis akan muncul kembali. Seperti apa yang saya lakukan saat ini. Saya mencoba menulis dari kegalauan hati saya sendiri ketika melihat begitu banyak teman-teman guru yang tak mampu menulis. Budaya TULISAN masih kalah dengan budaya LISAN. Guru-guru kita pandai sekali bicara, tetapi ketika harus menuliskannya, hanya sedikit yang mampu melakukannya.

Untunglah, kegalauan hati saya dijawab Allah. Handphone jadul saya berbunyi. Pak Rully dan Pak Rio daripengajarplus.com mengajak saya makan siang bareng di rumah makan padang sederhana. Kami pun ngobrol ngalor ngidul untuk melaksanakan kegiatan creative writing dan edupreneurship di bulan Juni. Semoga kegiatan itu terwujud, dan alangkah senangnya bisa berbagi ilmu dengan teman-teman guru.

Akhirnya, saya harus menutup artikel ini dengan sebuah pesan, “Mari menjaga Konsistensi dalam Menulis”. Dengan menjaga konsistensi dalam menulis, akan membuat kita menjadi orang besar yang tulisan-tulisannya dirindukan. Terbukti, tulisan-tulisan saya tak pernah sepi dari pembaca, dan ada saja pembaca yang memberikan tanggapan. Tak usahlah bersedih hati bila pembaca tulisan kita hanya sedikit.

Sedikit demi sedikit bukankah lama-lama akan menjadi bukit?
Salam Blogger Persahabatan
Omjay

Belajar Lebih Inovatif dengan Ice Breakers

Pentingnya penggabungan antara keilmuan dan keahlian dalam pembelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan sangatlah penting, mengingat motivasi belajar siswa yang mudah rapuh karena mudah bosan dan sulit berkonsentrasi. Oleh karenanya sudah selayaknya seorang guru haruslah berinovasi untuk menghadirkan pembelajaran yang kreatif. Di antaranya hal yang diperlukan adalah pentingnya menghadirkan `ice breakers' sebagai awalan untuk pembelajaran yang menarik perhatian para siswa didiknya.

Melalui `ice breakers' sebetulnya lebih berfungsi untuk menumbuhkan energi belajar, saling mengenal, dan membangun hubungan yang hangat siswa satu sama lain. Idealnya guru mampu membuat para siswa didiknya nyaman saat berbicara dalam bahasa Inggris. Buatlah upaya sedemikian rupa agar mereka berdiri dari tempat duduknya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang menarik minat siswa didik. Sehingga saat mereka kembali duduk, guru sudh mendapatkan perhatian penuh dari siswa didiknya.

Beberapa contoh menerapkan teknik `ice breakers' di antaranya adalah `call the name' dan `catch the ball". Call the name adalah sebuah permainan kata-kata dengan menggabungkan kata sifat atau sebuah objek yang menarik. Misalnya nama buah atau binatang dengan menggabungkannya dengan nama siswa sebagai bentuk aktivitas pengenalan diri. Untuk memainkan aktivitas ini para siswa didik bisa melakukannya dengan cara berdiri membentuk lingkaran besar dan kemudian memulainya dengan menyebutkan julukan dan namanya sesuai dengan abjad pertama namanya. Misalnya, Smart Sandra, Alice the Apple, Brilliant Brian, dan lain lain sesuai kreativitas para siswa didik.

Agar alur aktivitas ini terasa runut dan mengalir, para siswa harus menyebutkan nama siswa sebelumnya, sehingga siswa kedua akan mengucapkan kalimat sebagai berikut, misalnya `he is Brilliant Brandon and i am Alice the Apple. Kemudian dilanjutkan oleh siswa ketiga yang melanjutkan dengan menyebutkan nama siswa sebelumnya dan memperkenalkan diri sendiri. Misalnya "He is Brilliant Brandon, she is Alice the Apple, and i am Cute Charlie, dan seterusnya.

Tentu saja aktivitas permainan ini bisa diimbuh atau dikurangi sesuai kebutuhan atau aturan main yang disepakati seluruh siswa dalam kelas. Terutama, jika menurut mereka penyebutan nama teman dan dirinya sendiri cukup untuk lima atau tujuh nama saja, karena jika penyebutan semua nama teman sekelas akan terasa panjang dan mungkin malah membuat siswa bosan. Dan, pelajaran berharga yang didapat dari kegiatan ini adalah membantu para siswa dan guru untuk lebih mengenal satu sama lain.

Contoh kedua dari `ice breakers' ini adalah `catch the ball'. Dalam aktivitas ini guru dapat memulai dengan membuat bola dari kertas. Mintalah para siswa berdiri dan membentuk lingkaran besar dan guru berada di tengah pusat lingkaran. Instruksi dari kegiatan ini adalah lemparkan bola kepada salah satu siswa dan mulailah dengan percakapan singkat. Misalnya mengenalkan nama, asal tempat tinggal, kegemaran dan seterusnya. Kemudian siswa melemparkan kembali kepada guru dan guru melemparkan ke siswa lain dimulai dengan mengulang perkenalan sebelumnya baru kemudian mengenalkan diri sendiri, dan selanjutnya melemparkan bola ke guru lagi dan begitu seterusnya.

Aturan dalam kegiatan ini, siswa yang lalai menangkap bola harus dihukum dengan menampilkan kemampuan bakatnya, misal bernyanyi, menari atau lainnya. Dalam hal ini siswa juga dapat belajar untuk berkonsentrasi agar tidak lalai menangkap bola dan memahami aturan kegiatan serta belajar bertanggungjawab sebagai bentuk konsekuensi dari kelalaiannya tersebut.

Kegiatan semacam `ice breakers' ini sangatlah bermanfaat untuk menuntun siswa menuju pembelajaran yang menyenangkan dalam pembelajaran bahasa Inggris yang konon sulit. lce breakers mudah dilakukan dengan meluangkan waktu sejenak untuk memulihkan energi belajar siswa karena kegiatan pembelajaran sebelumnya tanpa harus mengurangi inti pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu marilah para guru mulailah dari sekarang dengan menciptakan awalan pembelajaran yang menarik untuk membantu meningkatkan motivasi belajar siswa.

Semoga bermanfaat
Salam
Yuli Astuti Hasanah

Jumat, 01 Juli 2011

Dua Jenis Guru

Guru Pertama adalah guru kognitif, sedangkan Guru Kedua adalah guru kreatif.

Guru Kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara,
banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan. Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum, namun tangan dan badannya bergerak aktif. Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan saat menjelaskan sesuatu, dia selalu mencari alat peraga. Entah itu tutup pulpen, botol plastik air mineral, kertas lipat, lidi, atau apa saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif yang bicaranya selalu melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif berbuatnya lebih banyak.

Guru Kognitif

Guru kognitif hanya mengajar dengan mulutnya. Dia berbicara panjang lebar di depan siswa dengan menggunakan alat tulis. Guru-guru ini biasanya sangat bangga dengan murid-murid yang mendapat nilai tinggi. Guru ini juga bangga kepada siswanya yang disiplin belajar, rambutnya dipotong rapi, bajunya dimasukkan ke dalam celana atau rok, dan hafal semua yang dia ajarkan. Bagi guru-guru kognitif, pusat pembelajaran ada di kepala manusia, yaitu brain memory. Asumsinya, semakin banyak yang diketahui
seseorang, semakin pintarlah orang itu. Dan semakin pintar akan membuat seseorang memiliki masa depan yang lebih baik. Guru kognitif adalah guruguru yang sangat berdisiplin. Mereka sangat memegang aturan, atau meminjam istilah para birokrat (PNS),sangat patuh pada ”tupoksi”. Saya sering menyebut mereka sebagai guru kurikulum. Kalau di silabus tertulis buku yang diajarkan adalah buku ”x” dan babbab yang diberikan adalah bab satu sampai dua belas, mereka akan mengejarnya persis seperti itu sampai tuntas. Karena ujian masuk perguruan tinggi adalah ujian rumus, guru-guru kognitif ini adalah kebanggaan bagi anakanak yang lolos masuk di kampus-kampus favorit.

Kalau sekarang, mereka adalah kebanggaan bagi siswa-siswa peserta UN. Sayangnya, sekarang banyak ditemukan anak-anak yang cerdas secara kognitif sulit menemukan ”pintu” bagi masa depannya.Anak-anak ini tidak terlatih menembus barikade masa depan yang penuh rintangan, lebih dinamis ketimbang di masa lalu, kaya dengan persaingan, dan tahan banting. Saya sering menyebut anakanak produk guru kognitif ini ibarat kereta api Jabodetabek yang hanya berjalan lebih cepat daripada kendaraan lain karena jalannya diproteksi, bebas rintangan. Beda benar dengan kereta supercepat Shinkanzen yang memang cepat. Yang satu hanya menaruh lokomotif di kepalanya, sedangkan yang satunya lagi, selain di kepala, lokomotif ada di atas seluruh roda besi dan relnya.

Guru Kreatif

Guru Kreatif Ini guru yang sering kali dianggap aneh di belantara guru-guru kognitif. Sudah jumlahnya sedikit, mereka sering kali kurang peduli dengan tupoksi dan silabus. Mereka biasanya juga sangat toleran terhadap perbedaan dan cara berpakaian siswa. Tetapi, mereka sebenarnya guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya. Mereka bukan sibuk mengisi kepala anak-anaknya dengan rumus-rumus, melainkan membongkar anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka. Belenggu-belenggu itu bisa jadi ditanam oleh para guru, orang tua, dan tradisi seperti tampak jelas dalam membuat gambar (pemandangan, gunung dua buah, matahari di antara keduanya, awan, sawah, dan seterusnya). Atau belenggu-belenggu lain yang justru mengantarkan anak-anak pada perilaku-perilaku selfish, ego-centrism, merasa paling benar, sulit bergaul, mudah panik, mudah tersinggung, kurang berbagi, dan seterusnya. Guru-guru ini mengajarkan life skills, bukan sekadar soft skills, apalagi hard skill.

Berbeda dengan guru kognitif yang tak punya waktu berbicara tentang kehidupan, mereka justru bercerita tentang kehidupan (context) yang didiami anak didik. Namun, lebih dari itu, mereka aktif menggunakan segala macam alat peraga. Bagi mereka, memori tak hanya ada di kepala, tapi juga ada di seluruh tubuh manusia. Memori manusia yang kedua ini dalam biologi dikenal sebagai myelin dan para neuroscientist modern menemukan myelin adalah lokomotif penggerak (muscle memory). Di dalam ilmu manajemen, myelin adalah faktor pembentuk harta tak kelihatan (intangibles) yang sangat vital seperti gestures, bahasa tubuh, kepercayaan, empati, keterampilan, disiplin diri, dan seterusnya. Saat bertemu guru-guru kognitif, saya sempat bertanya apakah mereka menggunakan alat-alat peraga yang disediakan di sekolah? Saya terkejut, hampir semua dari mereka bilang tidak perlu, semua sudah jelas ada di buku. Beberapa di antara mereka bahkan tidak tahu bahwa sekolah sudah menyediakan mikroskop dan alatalat bantu lainnya.

Sebaliknya, guru-guru kreatif mengatakan: ”Kalau tidak ada alat peraga, kita akan buat sendiri dari limbah. Kalau perlu, kita ajak siswa turun ke lapangan mengunjungi lapangan. Kalau tak bisa mendatangkan Bapak ke dalam kelas, kita ajak siswa ke rumah Bapak,”ujarnya. Saya tertegun.

Seperti itulah guru-guru yang sering saya temui di negara-negara maju. Di negara-negara maju lebih banyak guru kreatif daripada guru kognitif. Mereka tak bisa mencetak juara Olimpiade Matematika atau Fisika, tetapi mereka mampu membuat generasi muda menjadi inovator, entrepreneur, dan CEO besar. Mereka kreatif dan membukakan jalan menuju masa depan. Saat membuat disertasi di University of Illinois, para guru besar saya bukan memaksa saya membuat tesis apa yang mereka inginkan, melainkan mereka menggali dalam-dalam minat dan objektif masa depan saya.

Sewaktu saya bertanya, mereka menjawab begini: ”Anda tidak memaksakan badan Anda pada baju kami, kami hanya membantu setiap orang untuk membuat bajunya sendiri yang sesuai dengan kebutuhannya.”

Salam
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

Banyak Duduk Percepat Kematian

British Journal of Sports Medicine pada 2010 pernah merilis penelitian menarik tentang bahaya duduk yang bisa meningkatkan risiko kematian. Kini riset itu diperkuat dalam American Journal of Epidemiology Juni 2011.

Para ahli menyimpulkan duduk dalam jangka waktu lama atau sedikitnya 6 jam sehari cukup membuat seseorang mati muda. "Pria 18 persen adapun wanita 37 persen," begitu perkiraan persentase risiko kematian yang ditulis dalam Huffington Post. Kecenderungan ini berlaku setelah aktivitas rutin tersebut dilakukan selama 13 tahun.

Penelitian ini dinilai akurat lantaran dilakukan terhadap 123 ribu orang dalam kurun waktu 14 tahun. Para peneliti mengamati pola duduk seseorang dalam rentang waktu 3 jam dan 6 jam. Hasilnya, orang yang duduk 6 jam atau lebih yang paling banyak berisiko mati.

Seseorang yang berlama-lama duduk cenderung diserang berbagai penyakit seperti diabetes, depresi, dan obesitas. Tempat seseorang duduk pun tak jadi soal, apakah di kantor, sekolah, mobil, di depan komputer, atau televisi. Intinya duduk enam jam atau lebih berbahaya bagi kesehatan.

Lalu bagaimana cara mengatasi masalah duduk yang sudah menjadi kebiasaan manusia modern? Para peneliti American Cancer Society mengimbau masyarakat tidak khawatir.

Potensi kematian akibat duduk dapat dilawan dengan pola hidup sehat. Misalnya melakukan olah raga rutin minimal 30 menit yang dilakukan selama 5 hari dalam seminggu.

Salam
RUDY