Rabu, 06 Juli 2011

The White Tiger

Setiap kali ke toko buku saya selalu mengambil beberapa buku yang saya anggap bagus untuk dibaca. Tapi biasanya saya tidak selalu punya waktu untuk membaca semua buku yang saya beli tersebut. Soalnya sebelum semuanya saya baca saya sudah ke toko buku lagi dan mengambil beberapa buku lagi. Salah satu buku yang sudah saya beli cukup lama tapi tidak sempat saya baca sampai hari ini adalah “The White Tiger” karya Aravind Adiga, seorang keturunan India yang dibesarkan di Australia. Ia menamatkan studinya di Universitas Columbia dan Universitas Oxford. Ia pernah menjadi koresponden India untuk majalah Time.

Meski The White Tiger adalah novel pertamanya tapi novel ini langsung mendapat penghargaan The Man Booker Prize. The Man Booker Prize adalah lembaga yang mempromosikan ‘the finest in fiction by rewarding the very best book of the year’. Penghargaannya adalah ‘the world's most important literary award’ dan Aravind Adiga adalah pemenang penghargaan tersebut pada tahun 2008. Selain itu karyanya mencatat salah satu novel yang paling cepat penjualannya dalam sejarah The Man Booker Prize. Ini membuktikan bahwa buku Aravind Adiga adalah buku yang luar biasa.

Buku ini tenggelam dalam rak buku saya dan baru saya lihat lagi ketika saya mencari-cari buku untuk saya baca. Hari ini saya akan ke bank dan seperti yang kita ketahui bersama bank mana pun selalu penuh pada hari Senin dan saya pikir alangkah enaknya jika kita bisa menunggu giliran dipanggil sambil membaca sebuah buku yang ‘mak nyus’.

Dan buku ini benar-benar ‘mak nyus’! Saya sampai heran kenapa saya tidak langsung membacanya waktu pertama kali saya membelinya beberapa bulan yang lalu!

Begitu membaca paragraph pertama saya langsung tersedot oleh gaya bertutur Aravind yang sungguh jenaka. Saya terkekeh-kekeh membaca paragraph demi paragraph dan berharap agar tidak segera dipanggil oleh petugas teller bank yang cantik tersebut. Gaya berceritanya mengingatkan saya pada Andrea Hirata yang mampu membius kita dengan sinismenya yang tajam tapi sangat jenaka.

The White Tiger adalah kisah tentang petulangan dua orang India, Balram dan Ashok, si budak dan tuannya. Balram yang semula adalah laki-laki yang jujur dan pekerja keras akhirnya tercebur menjadi pembunuh tuannya. Ia berubah demikian karena marah pada keserakahan para penguasa elit India yang menghisap rakyat dengan tanpa belas kasihan. Buku ini bercerita tentang ironi India yang digambarkan 'penuh dengan entrepreneur sekali pun tidak memiliki air minum, listrik, saluran pembuangan, sarana transportasi public, budaya menjaga kebersihan, disiplin, keramahan'. Jadi India meski tidak punya semua itu tapi punya banyak entrepreneur dan jumlahnya ribuan, terutama dalam bidang teknologi (IT tentunya)!

Bab pertama dari buku ini dibuka dengan sebuah surat kepada Yang Mulia Wen Jiabao, Perdana Mentri Cina, yang ditulisnya sebagai Negara Pencinta Kebebasan (pencinta kebebasan katanya?). Surat itu ditulis oleh “Sang Harimau Putih” Pemikir dan Entrepreneur yang bermukim di pusat dunia teknologi dan Outsourcing Elektronik, Bangalore, India. Jadi sejak bab pertama saja buku ini sudah menawarkan gambaran kisah yang menarik. Apa hubungan antara PM Cina, Negara Pencinta Kebebasan, paradox antara ‘Pemikir’ dan ‘Entrepreneur’, dan India (atau Bangalore khususnya)?

Sang Harimau Putih memulai kalimatnya dengan

“Sir, Kita berdua sama-sama tidak bisa berbahasa Inggris, tapi ada beberapa hal yang hanya bisa diungkapkan dalam bahasa Inggris.”

Dan ia pun bercerita tentang berita di All India Radio yang mengabarkan bahwa PM Jiabao akan mengunjungi Bangalore minggu depan,”Mr Jiabao memiliki misi penting-beliau ingin mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang Bangalore.”

“Darah saya seakan membeku. Sayalah orang yang tahu informasi sebenarnya tentang Bangalore.

“Anda ingin belajar mencetak entrepreneur Cina, itulah alasan kunjungan Anda. Saya merasa bangga. Lalu tiba-tiba saya sadar bahwa sesuai protokol internasional, perdana menteri serta menteri luar negara saya akan menyambut Anda di bandara dengan membawa kalungan bunga, patung mungil Gandhi dari kayu Sandalwood, serta buklet informasi lengkap tentang sejarah, keadaan masa kini, serta prospek masa depan India.

“Ketika itulah saya merasa perlu mengucapkan hal itu dalam bahasa Inggris, Sir. Keras-keras.”

Tahukah Anda apa ungkapan dalam bahasa Inggris yang katanya dipelajarinya dari janda mantan bos Balram si Harimau Putih ini?

“Omong kosong besar.” (Jika Anda paham bahasa Inggris maka Anda akan tertawa lebih keras).

Novel ini memang penuh sinisme tapi benar-benar jenaka. Saya terpingkal-pingkal membacanya.

“Sudah merupakan adat orang di Negara saya untuk memulai sebuah cerita dengan berdoa kepada Yang kuasa.”

Yang mulia, saya rasa saya juga harus memulai dengan “menjilat bokong dewa”.
Masalahnya dewa yang mana? Ada begitu banyak pilihan.
Kaum muslim punya satu Tuhan.
Orang Kristen punya tiga Tuhan.
Sementara kami penganut Hndu punya 36.000.000 dewa-dewi.
Jadi saya harus memilih dari total 36.000.004 bokong suci.

Nah, ada sebagian kalangan, bukan hanya Komunis seperti Anda, tapi juga para pemikir dari berbagai partai politik, yang beranggapan bahwa sebagian besar tuhan dan dewa-dewi ini nyata. Bahkan ada yang menganggap semuanya tidak nyata. Yang ada hanya manusia dan samudra kegelapan di sekeliling kita. Saya bukan filsuf atau penyair- jadi bagaimana mungkin saya tahu kebenaran? Kenyataannya tuhan-tuhan ini tidak terlalu banyak berguna-sama seperti politisi kami- namun tetap saja mereka menempati takhta emas di surga, tahun demi tahun. Bukan berarti saya tidak menghormati mereka, Pak Perdana Menteri! Jangan sampai ide melecehkan tersebut terserap ke batok kuningmu. Di negara saya, kami harus selalu punya dua sisi: entrepreneur India harus jujur dan penuh tipu muslihat, mengejek dan percaya, licik dan tulus, pada saat yang sama.”

Dan saya tertawa terpingkal-pingkal.
Jadi: saya memejamkan mata. Melipat tangan dalam sikap Namaste, dan memohon kepada para dewa untuk menyinari kisah gelap saya.
Sabarlah Mr Jiabao. Kisah ini agak panjang.
Menjilat 36.000.004 bokong dewa memang sangat lama bukan?

Dan saya kembali terpingkal-pingkal. This guy is really funny!

Buku ini memang terang-terangan mengejek India tapi dengan cara yang jenaka. Saya jadi berpikir bagaimana seandainya ada penulis Indonesia yang berani menulis tentang Indonesia dengan cara mengejek yang sengit seperti Aravind Adiga ini (Ah! Tiba-tiba saya teringat pada Hanung Bramantyo, anak muda jenius yang membuat karya film dengan judul “?” (Tandatanya) dan dihujat habis-habisan setelahnya. Mungkin kalau Aravind adalah orang Indonesia ia akan dijadikan target ‘yang darahnya dihalalkan’)

Satu fakta tentang India adalah : putarbalikkan pernyataan apa pun yang Anda dengar dari perdana menteri kami tentang negara ini dan anda akan mendapatkan informasi sebenarnya. Nah, Anda sudah mendengar bahwa Ganga disebut sungai emansipasi dan setiap tahun ratusan turis Amerika datang untuk memotret para Sadhu telanjang di Hardwar atau Benaras, dan perdana menteri kami pasti menggambarkannya persis seperti itu lalu membujukmu untuk berendam di sungai tersebut.

Jangan!-Mr Jiabao, saya sarankan Anda tidak berendam di sungai Ganga kecuali Anda ingin mulut Anda dipenuhi kotoran manusia, jerami, potongan tubuh manusia yang sudah lembek, potongan busuk mayat kerbau, serta tujuh macam limbah industri yang berbahaya.’

Sungguh menggigit…!
“Di jalan masuk rumah saya, Anda akan menjumpai anggota keluarga saya yang paling penting.

Kerbau.
Dialah anggota keluarga tergemuk; sebagaimana halnya di semua rumah lain di desa kami.”

Dan saya terkekeh-kekeh lagi. Asem tenan cah iki…!

What a funny guy!
Salam
Satria Dharma
http://satriadharma.com/

Tidak ada komentar: