Rabu, 01 September 2010

Membaca untuk Memecahkan Masalah?

Budaya baca di Indonesia paling rendah di Asia Timur. Seandainya membaca dijadikan sebuah solusi untuk mengatasi masalah, terutama di sekolah-sekolah, mungkin lain ceritanya. Ayo para guru Indonesia mulailah membuat soal-soal kognitif untuk setiap bab pada bidang studi dengan OPEN BOOK. Dampaknya sangat luar biasa. Pelajar kita terbiasa dengan membaca untuk menyelesaikan masalah. Tinggalkan soal-soal pilihan ganda dan CLOSING BOOK—karena ini tidak melatih para pelajar kita untuk berpikir kritis. Bahkan terjebak pada kebiasaan berpikir TEBAK-TEBAKAN. Bangkitlah pendidikan Indonesia.

Membaca dimanfaatkan sebagai sebuah solusi memecahkan masalah?
Bagi saya, pesan ini bukan pesan sembarangan meskipun saya tahu bahwa Mas Munif mengirimkan pesan itu dengan menggunakan “mesin”. Ada kemungkinan, yang dikirimi pesan itu mencapai jumlah yang sangat banyak. Saya hanya salah satu di antaranya. Namun, saya perlu berterima kasih kepada Mas Munif. Mengapa?

Karena pesan tersebut berhasil membangkitkan-kembali “raksasan tidur” di dalam diri saya. Menginjak bulan Ramadhan tahun ini, saya cukup banyak diminta advis. Advis itu terkait dengan upaya sebagian masyarakat—yang peduli terhadap kehidupan baca-tulis di Tanah Air—yang bersemangat untuk membuat banyak masyarakat yang mau dan mampu membaca. Mereka telah menyediakan sarana berupa buku-buku. Bahkan, ada juga yang membuat perpustakaan keliling.

Hanya, upaya mulia mereka kadang tidak mendapat sambutan yang cukup menggembirakan. Saya ingin segera mengatakan bahwa saya yakin sekali bahwa mereka mengadakan upaya mulia itu tentulah berlandaskan keikhlasan. Mereka tidak ingin mendapatkan imbalan apa-apa—termasuk sambutan yang gegap gempita dan puja puji yang membahana. Namun, bukankah tidak ada salahnya untuk menjadikan upaya mulia mereka juga mendapat tempat yang semestinya?

Itulah yang terus saya pikirkan begitu saya ingin memasuki bulan Ramadhan. Hingga sepuluh hari saya menjalankan puasa Ramadhan, saya memang masih belum mendapatkan ide cemerlang bagaimana menggagas sebuah cara yang, mungkin, ampuh untuk membangkitkan minat membaca masyarakat. Saya hanya memiliki beberapa cara yang, sekali lagi, tidak baru dan berputar-putar pada hal-hal itu melulu.

Nah, menurut saya pesan, Mas Munif itu merupakan ide yang sangat cemerlang.

Pertama, membangun generasi cinta baca bukanlah proyek instan atau sekali jadi. Ini harus disadari benar oleh semua orang yang ingin terjun ke kegiatan sosial dalam rangka mengajak masyarakat untuk mau perlahan-lahan membaca buku secara kontinu dan konsisten—setiap hari.

Kedua, proyek ini tidak dapat dilakukan sendirian alias harus bekerja sama dengan pihak-pihak lain sebanyak mungkin. Boleh saja setiap individu mendirikan perpustakaan di rumah atau di kampungnya. Namun, buku-buku yang ada di situ harus, secara terus-menerus, di-update dan dibuat sangat menarik. Jika tidak, perpustakaan tersebut akan berubah menjadi kuburan dalam perjalanan waktu.

Ketiga, mengajak para tokoh dan ”public figures” untuk terlibat dalam kepedulian ”membawa” buku—ya bukan membaca, tetapi hanya membawa buku. Saya ingin di mana-mana terpampang slogan yang berbunyi: ”Jadikan buku barang bawaan.” Saya tentu akan sangat bersyukur jika para guru pun ikut terdorong untuk mengimplementasikan slogan tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka ketika berada di sekolah. Dan bayangkan jika para orangtua yang memiliki putra-putri pun mau mengenalkan buku, setiap hari (barang 10 hingga 15 menit), kepada darah dagingnya sendiri.

Tentu, ketiga hal yang saya catat di atas tidak dapat dilakukan dalam bentuk perintah—apalagi pemaksaan. Itu perlu kesadaran. Kecintaan—terhadap buku—memang baru akan bisa muncul dan tumbuh jika disertai kesadaran.

Salam
Hernowo

Samudera Jihad Membawa Nikmat

Kosakata jihad tak pernah sepi diperbincangkan. Kali ini, ulama ahli fiqih kaliber dunia, Syaikh Yusuf Qardhawi, mengeluarkan karya monumental terlengkap tentang jihad menurut Al-Quran dan Sunnah.

Berangkat dari istilah-istilah yang sering digunakan dalam terminologi Islam, Qardhawi mencoba membedahnya. Sedikitnya ada tiga istilah yang patut kita kenali dan ketahui bersama.

Jihad

Al-Quran menyebut kata ini, sedikitnya, sebanyak 34 kali. Ia berasal dari kata jahad-yujahidu-jihadan-mujahadah. Secara bahasa, jihad berarti “menanggung kesulitan”. Jihad juga punya pengertian mencurahkan segala usaha, kemampuan, dan tenaga. Bentuk jihad bisa beragam, ada jihad hawa nafsu, jihad dakwah, dan jihad sabar. Selain itu, ada juga jihad melawan musuh dengan menggunakan senjata.

Al-Qital atau peperangan. Berasal dari kata qatala-yuqatilu, qitalan-muqatalah. Menurut Qardhawi, peperangan adalah bagian terakhir dari jihad. Yakni, berperang dengan menggunakan senjata untuk menghadapi musuh. Dari segi makna, Al-Qital tidak sama dengan jihad. Ini karena, kata Al-Qital terambil dari kata al-Qatl, adapun al-jihad diambil dari kata al-juhd. Al-Qital adalah sebuah peperangan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman, berperang di jalan Allah. Jika peperangan tidak dilakukan oleh orang-orang beriman dan tidak di jalan Allah, maka ia tidak termasuk dalam jihad.

Al-Irhad atau terorisme. Terambil dari kata irhab-yurhibu, yang bermakna memberikan ketakutan kepada pihak musuh. Menciptakan rasa takut tersebut dalam rangka menuju rasa aman. Dalam Al-Quran disebutkan, “Dan dia benar-benar akan mengubah keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa” (QS Al-Nûr: 55).

Adapun yang dimaksud dengan terorisme, menurut Qardhawi, adalah menciptakan kondisi takut kepada orang-orang yang disebabkan oleh aktivitas militer, baik individu maupun kelompok. Aksi-aksi terorisme juga tidak seperti yang ada dalam ayat 60 Surah Al-Anfâl, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menakuti musuh Allah dan musuhmu.” Menurut para ulama, menciptakan rasa takut seperti dalam ayat ini, disyariatkan. Mempersiapkan diri secara militer menyebabkan musuh menjadi takut alias keder, sehingga menghalanginya untuk melakukan serangan atau mendahului peperangan.

Ada Syariat Ada Syarat

Sejatinya, tidak banyak orang Islam mengerti betul tentang jihad dan syariatnya. Jika di kalangan Muslim saja tidak banyak yang paham—bahkan terkesan takut ketika istilah jihad disebut—apalagi orang-orang di luar Islam, yang memang belum mengenal ajaran Islam secara utuh.

Dalam sejarah jihad—dalam pengertian perang—yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, tidak pernah menghancurkan umat yang diserbunya atau ditaklukkannya. Tetapi, justru umat tersebut dibangun dalam hal peradabannya, moralnya, dan kesejahteraannya. Adapun jihad, menurut tujuannya, menegakkan kebenaran dan keadilan (QS Âli ‘Imrân: 195), menjamin kebebasan umat manusia merasakan cahaya kebenaran hidayah Islam (QS Al-Baqarah: 217), membangun harga diri umat Islam (QS Muhammad: 35), dan membebaskan golongan lemah dari penindasan penguasa tiran (QS Al-Nisâ’: 75).

Untuk melakukan jihad itu, ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi. Di antaranya, ada pengumuman dan pernyataan terlebih dahulu kepada pihak yang hendak diperangi dan alasannya yang sah (QS Al-Anfâl: 56), adanya pelanggaran atau pengkhianatan yang dilakukan oleh pihak musuh (lihat QS Al-Taubah ayat 4 dan 12), serta untuk membebaskan kaum Muslim yang tertindas di negeri non-Islam (QS Al-Baqarah: 190). Dengan demikian, untuk melaksanakan jihad dalam pengertian perang, selain ada syariatnya, juga ada syarat-syaratnya yang mesti dipenuhi.

Adapun terorisme tidak mengenal norma dan hukum. Terorisme adalah sebuah sistem yang destruktif dengan cara merusak umat manusia, merusak ketenteraman hidup bersama, membuat kekacauan, anti-ketertiban, dan memaksakan kehendak secara sepihak.

Tindakan yang dibenarkan adalah menakuti pihak musuh agar mereka tidak menyerang lebih dulu atau mengobarkan perang. Tapi, tentu saja, tindakan tersebut tidak berlaku untuk sesama Muslim. Dalam sebuah hadist yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Abdurrahman ibn Abi Laila, Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menakuti Muslim lainnya.” Bukankah, “Orang beriman adalah orang-orang yang merasa aman darinya atas darah dan harta mereka” (Riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah).

Dengan demikian, maka tindakan teror secara umum dilarang. Aksi teror menjadi boleh jika dilakukan dengan tujuan dan cara-cara yang disyariatkan. Jika tujuannya disyariatkan, tetapi caranya tidak disyariatkan, atau keduanya tidak disyariatkan, tentu saja, dalam pandangan Islam, diharamkan.

Oleh sebab itu, Qardhawi memberikan pemahaman tentang makna jihad.

Pertama, jihad militer.
Yakni, memerangi musuh melalui kontak fisik, perang. Ini akan terjadi jika kaum Muslim diserang, baik diri, negeri, maupun akidah, dengan pengerahan kekuatan sesuai kemampuan yang dimiliki agar musuh gentar dan tidak jadi menyerang. Inilah aktivitas jihad yang dibenarkan oleh mayoritas ulama.

Kedua, jihad spiritual.
Adalah jihad di ranah nafsu, insting, dan tendensi. Inilah yang dimaksud dengan hadis Nabi Muhammad Saw., “Mujahid itu adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya.” Dan juga, “Orang yang berjihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah” (Riwayat Ibnu Hiban).

Ketiga, jihad dakwah.
Yakni, menyampaikan kebenaran Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. kepada mereka yang belum pernah mendapatkan informasinya, baik keluarga dekat, kerabat, maupun handai taulan. Caranya pun mesti dengan yang hikmah dan baik, “Dan serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS Al-Nahl: 125).

Selain tiga jenis jihad tersebut, ada juga jihad madani yang dikenal dengan jihad masyarakat sipil. Jihad ini untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat, menutupi tuntunan moral dan materinya, menangani problematikanya, serta membangkitkan dalam segala bidang sehingga mendapat kedudukan yang terhormat. Jihad masyarakat sipil ini, antara lain, di bidang keilmuan dan teknologi, sosial-kebudayaan, pendidikan dan pengajaran, ekonomi, kesehatan dan kedokteran, lingkungan, serta peradaban, dan seterusnya. Pada prinsipnya, jihad masyarakat sipil tujuannya untuk memberdayakan umat. Inilah jihad yang memerlukan komitmen, keistikomahan, waktu, dana, dan kesabaran yang prima.

Dan inilah yang dituntut oleh sebuah bangsa, agar tidak ketinggalan dan menjadi pengekor dari bangsa-bangsa lain. Dari sisi ini, Yusuf Qardhawi berhasil mengelaborasi ayat-ayat dan hadist-hadist sebagai penopang argumentasinya. Samudra jihad membawa kedamaian, ketenteraman, dan kenikmatan bersama.

Salam
Herry Mohamad

Sisi Manusiawi K.H. Ahmad Dahlan

(cerita novel mas Hanung Bramantyo)

Muhammadiyah, dan juga Nahdhatul Ulama (NU), adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan. Beliau kini bahkan merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Siapakah K.H Ahmad Dahlan itu? Mungkin tak banyak yang paham akan idealisme, perjuangan, dan suka duka kehidupannya. Apa yang membuat beliau mendirikan Muhammadiyah? Apa visi dan misi beliau ketika itu?

Mungkin kita dapat membaca beberapa buku biografi atau sejarah mengenai sosok kontroversial yang mengagumkan ini. Bahkan, kita tahu benar, jika nama dan kiprahnya telah banyak dihafal oleh anak-anak sekolah. Namun, seberapa banyak yang bisa ikut menyelami kehidupan seorang tokoh yang dikisahkan dalam buku sejarah? Yang ada hanya tahun-tahun dan nama-nama, dan peristiwa yang disingkat sedemikian rupa. Padahal, memahami sepak terjang K.H. Ahmad Dahlan sungguh menarik jika dilakukan dengan cara yang penuh muatan emosi.

Lewat sebuah novel, kerinduan akan sosok pendiri Muhammadiyah—yang lain daripada yang lain—terpenuhi sudah. Hal itu dimulai dari keinginan membuat film mengenai tokoh ini. Hanung Bramantyo sebagai sutradara sekaligus penulis skenario dan Akmal Nasery Basral sebagai novelisnya. Setiap kejadian yang berpengaruh dalam hidup K.H. Ahmad Dahlan diteliti secara saksama dan menyeluruh. Hasilnya adalah sosok K.H. Ahmad Dahlan yang dikisahkan dengan cara berbeda, seakan-akan kita diajak langsung mengenal sesosok pemuda yang bernama asli Muhammad Darwis ini.

Sang Pencerah—demikian judul novel tentang pendiri Muhammadiyah ini—bukan sekadar novel biasa. “Novel ini mengungkap sisi manusiawi seorang Ahmad Dahlan. Tidak mudah dan butuh keberanian seorang penulis. Siapa pun dia, seorang tokoh sebaiknya dikisahkan secara apa adanya.” Demikian komentar Hanung Bramantyo atas novel karya Akmal ini. Sementara itu, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, dengan pendek berkata, ”Siapa pun yang membaca novel ini pasti akan terinspirasi dan tercerahkan.”

Inilah sebuah novel yang penerbitannya dibarengkan dengan peringatan ”100 Tahun Muhammadiyah”. Di kesempatan yang terjadi hanya sekali ini, alangkah idealnya jika kita menilik kembali perjalanan dan perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dengan cara yang berbeda. Novel ini akan memberikan spirit-baru bagi kaum Muslim zaman kini karena saat mereka menelusuri jejak tokoh fenomenal ini, lewat novel Sang Pencerah, mereka akan begitu banyak mendapatkan hal-hal baru yang tidak terduga.

Ekuator E-megazine

Sosok Kontroversial K.H. Ahmad Dahlan

(sebuah cerita Keraton Yogyakarta)

“Tempat ini terlalu sempit bagi pemikiran Kiai. Dibutuhkan wadah yang lebih besar dari Kauman.” Sri Sultan memberi dorongan semangat kepada kiai berusia 36 tahun yang terlihat sedang gundah itu. ”Kiai tahu, beberapa hari lalu saya bicara dengan dr. Wahidin Sudirohusodo. Saya kira sudah saatnya kita harus punya perkumpulan pembaru dalam bidang pendidikan seperti yang diinginkan dr. Sudirohusodo, dan saya harap Kiai Dahlan melakukan hal yang sama di bidang agama.”

Adegan sangat menarik ini dapat kita baca di novel karya Akmal Nasery Basral, Sang Pencerah, yang ditulis berdasarkan skenario film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo. Berbeda dengan kebiasaan novelisasi skenario para penulis lain yang umumnya sekadar memindah mediakan format skenario ke dalam bentuk novel, Akmal melakukan pendalaman materi skenario dengan memperkaya bahan penulisan, serta mengubah sudut pandang penceritaan dari mata sang tokoh protagonis (”aku”), sehingga hasilnya adalah sebuah novel yang melengkapi kisah film, bukan mengulangi apa yang sudah dilihat penonton.

Salah satu hal menarik, yang dapat ditemui di dalam novel karya Akmal ini, adalah upaya meletakkan ”Prolog” dan ”Epilog”. Kedua ”gerbang” yang berada di paling depan dan paling belakang novel setebal 460 halaman itu menjadi unik karena berhasil membangun cerita berlatar sejarah yang tidak biasa. Di bagian ”Prolog”, sang tokoh berdialog dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada tahun 1904. Sementara itu, di bagian ”Epilog”, ada sebuah dialog yang terjadi pada tahun 1912. Kali ini bukan sang tokoh, K.H. Ahmad Dahlan, yang berdialog dengan Sri Sultan, tetapi Sri Sultan membicarakan sang tokoh. Nah, apa yang terjadi dengan K.H. Ahmad Dahlan selama rentang waktu delapan tahun itu?

”Kiai Dahlan itu orang baik, titisan darah dari leluhurnya Maulana Malik Ibrahim tak mungkin salah. Dia juga pintar, dan mudah bergaul. Belum pernah kudengar ada kiai lain yang bermain biola untuk mengajarkan agama bagi murid-muridnya. Kiai muda ini juga tidak mudah mengafirkan orang lain, bahkan mau bergaul dengan kalangan priyayi dan terpelajar di Budi Utomo.”

K.H. Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Dia merupakan sosok anak muda pendobrask tradisi, yang tak lain berniat agar Islam kembali menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan Islam yang menyulitkan pemeluknya sendiri. Pada masanya, dia bahkan dianggap kafir, tetapi beberapa orang yang berpikiran terbuka dan banyak anak-anak muda yang kritis menyukai caranya.

Ekuator E-megazine

Daoed, a Voice of Conscience

Age, as they say, is just a number. Just look at Daoed Joesoef. The former education minister, who turns 84 this month, is sharper, more articulate and more knowledgeable than most public figures half his age.

Daoed made headlines when he turned down the 2010 Achmad Bakrie Award for his lifetime of work. Established in 2003, the awards are presented to “distinguished countrymen and women for their extraordinary achievements in the social sciences and literature.”

“I refused it because the hands that offered me the award were muddy,” Daoed said, referring to the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, where hectares of land have been inundated with mud, leaving thousands homeless.

The mudflow is widely blamed on a 2006 gas-drilling venture by Lapindo Brantas, part of the Bakrie group owned by the family of Golkar Party chairman Aburizal Bakrie.

Daoed holds the distinction of being the first Indonesian to graduate with a degree in economics from the Sorbonne University in France. “When I arrived in Sorbonne, I was like a rat that fell in a barn,” he said.

“I could learn so many things, I did not know where to start.”

As minister of education and culture from 1978-83 under President Suharto, Daoed was known for two things: his so-called anti-Islam policy — even though he is a devout Muslim — and his decision to ban university students from engaging in political activities while on campus grounds.

He was also known for being bluntly critical of Suharto.

In an interview with the Jakarta Globe at his house in Kemang, Daoed discussed his beliefs and hopes for a better political environment.

Why did you turn down the Bakrie award?

I am thankful to the Freedom Institute [the nonprofit think-tank that administers the award] for their recognition, but I can’t accept it.

Why? Because my conscience just can’t accept the fact that Bakrie is related to a business that has caused disaster to thousands of people in Sidoarjo, East Java.

You can’t ignore your conscience because that is the place where God stays in each of us.

Although Ulil [Abshar-Abdallah, head of the Freedom Institute] tried to persuade me by saying “Just turn down the prize money, but please receive the award,” I still couldn’t do it. I respect Ulil, but still couldn’t do it because the award has the name Bakrie on it.

In life, it’s normal to sometimes give and take. I know the value of money. When you receive something, your hands are always below the giver, never above.

But how would you feel if the hands above you are muddy? So please clean those hands first. Does that make sense?

Bakrie should just give the money to the victims of their mud. Some children from Sidoarjo came here when they heard I was getting the award.

They told me how their dreams and future were shattered because of the disaster. Many of them can’t continue their studies because of the mud. It’s sad that the government is neglecting all of this.

Do you see leadership missing in the Lapindo case?

I see no leadership from Yudhoyono. When all this took place, Bakrie was his minister, so he could have given him a warning. But he didn’t. That forced us to have dirty thoughts: What is behind all this? Did he owe Bakrie a favor?

You worked with President Suharto. What do you think is the core difference between Suharto and Yudhoyono?

Suharto was more solid. He knew he was the head of state, although he made mistakes. But at least Suharto was a firm leader.

Unlike Yudhoyono, Suharto dared to make decisions for us. He knew he was there to decide for us, to govern.

We have four more years under Yudhoyono and now one of his party members has asked if he could run for another term.

You sound pessimistic. Why?

Honestly, yes I am. Because I don’t see our leaders [understanding] the concept of governance. The same goes with our politicians.

All of them are keen on establishing their own political dynasties.

This is not what I and our founding fathers imagined we would become when we gained our independence.

This shows that despite our big potential, we are metaphysically small. Why? Because we are led by leaders with tiny souls. That is why our neighbors look down on us.

The situation today is our collective mistakes as a nation. It is our own fault to have chosen these kinds of leaders.

How do you see our system of education today?

Our Constitution’s preamble states that our goal for independence is to educate the nation. That is the government’s first obligation, to educate Indonesians.

But what do we see today? We see many children committing suicide because they can’t even afford basic education. It is just really disappointing that the government is neglecting education.

It shows that our government has no concept of where exactly they are taking us. You don’t build a nation with prayers, you build it with concepts, preferably futuristic ones.

It’s annoying to see that instead of making education accessible to all, the government creates castes in education by introducing international-standard schools with expensive fees.

I see that as an act of low self-esteem. I thought we fought for independence to eradicate castes.

Because of that, our children today can have a good education not because they are smart, but because their parents can afford to pay.

When you were minister, why did you ban university students from getting politically involved on campus?

I wanted to see universities as a place to uphold science, because we are not inventors, only adopters.

Students should learn about science properly in their universities.

Students should learn politics as a concept so they can become good politicians when they graduate — politicians who have concepts, unlike what we see today.

I never opposed the idea of students getting involved in politics as long as they did so outside their campuses.

If they want to criticize government policies, they should channel that through their political organizations, such as the Muslim Student Association [HMI].

But of course, students refused this because they have been perceived by society as agents of change.

You were also known as a critical voice in Suharto’s cabinet.

Yes, I was, and that is why he didn’t like me. I told him that some of his policies were wrong and he thought I was trying to tell him what to do.

He kept telling me to just take care of education, not other things, but I said no.

I told him that indeed, I hold an oar and he was the captain, but if the boat sinks, I sink along with it. I wanted to be a good aide, a reminder, by not just saying things that pleased him like others did. I had a chance to remind him and I did.

One of my criticisms was about the policy requiring approval from the Home Affairs Ministry and Religious Affairs Ministry to build churches. Look what is happening now. Why is there no approval needed to build a mosque? It’s not fair.

Why do you think you were labeled as anti-Islam?

It’s because I terminated the [monthlong student] holiday during Ramadan.

Hamka [a popular Islamic cleric] and the Indonesian Council of Ulema [MUI] protested against me. I told them, “If you are under Dutch occupation, sure, the Dutch would give you a year’s holiday because that makes you lazy and dumb.”

I also told them that other Islamic countries such as Malaysia, Pakistan and other Arab nations didn’t give holidays during the fasting month.

I also refused to greet in the Islamic manner when I was a state minister. I didn’t say “assalamualaikum,” because I was not a minister from an Islamic state, although I am a Muslim.

If I greet in an Islamic fashion, I automatically eliminate those from other religions who are minorities. We should respect them.

I tried to separate religion from the state, that is why I am surprised that the Acehnese have adopted the Shariah bylaw.

The state should protect its citizens’ right to worship, but we don’t see that today either. It’s sad to see radical groups say “God is great” while crushing Ahmadiyah’s mosques. It is not for us to judge others’ faiths.

You wrote ‘Emak,’ a memoir about your mother. Tell us why she was special.

Emak was special because although she didn’t get the chance to pursue higher education, she convinced me of the importance of education.

She made all school tests fun because whenever I was about to have a test, I could ask for my favorite dishes. I loved those times, it felt like a party to me. I miss it.

How would you like to be remembered?

I would like to be remembered only as a human being, an Indonesian who tried to do something good for the country’s education.

That’s all.
Dewi Kurniawati

Kasus Negeri Jiran jadi Pelajaran

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kisah si kembar botak asal negeri jiran, Upin dan Ipin, di televisi Indonesia mulai jadi pelampiasan kekesalan orang. Kemarahan sejumlah orang di Tanah Air terhadap pemerintah Malaysia akhir-akhir ini membuat mereka gelap mata, menuntut semua yang berbau negara serumpun itu cabut dari bumi Indonesia.

Sebuah aksi yang digelar di Tegal, nun di Jawa Tengah, menuntut dihentikannya penyiaran film kartun itu. “Ipin-Upin salah satu simbol membawa budaya Malaysia, yang haram hukumnya kita tonton,” ujar Fatur Rahman, koordinator aksi yang tergabung dalam Simphoni Bangsa, kemarin.

“Kita dipaksa memahami omongan gaya Malaysia kayak Ipin-Upin yang tak memiliki mutu seni, padahal tontonan anak seperti Si Unyil lebih mendidik anak Indonesia,” ujar Fatur.

Bahkan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan pun setuju penghentian penayangan film Upin-Ipin itu. "Tentunya paling tidak pemerintah Indonesia harus mencoba gertakan diplomasi yang enteng-enteng, seperti memblokir film seri Upin-Ipin yang dibuat Malaysia," ujar Taufik kepada Detikcom.

Film yang diproduksi Les' Copaque ini memang banyak mempengaruhi anak-anak Indonesia. Tidak sedikit dari mereka yang mencoba berbicara dengan logat Melayu. Para pengusaha dan pedagang pun memanfaatkan kepopuleran film ini dengan mencetak kaus bergambar Upin-Ipin serta mengedarkan jutaan keping DVD bajakannya.

Stasiun TPI, yang menyiarkan film ini, pun mendapat berkah. Berkat tayangan ini, TPI berhasil meraih gelar sebagai televisi peringkat wahid untuk tayangan anak. “Sejak setahun lalu, rating tayangan anak TPI meningkat drastis,” ujar Nana Putra, Managing Director TPI.

Tapi ramainya unjuk rasa yang mempersoalkan keberadaan si botak membuat TPI waswas juga. Corporate Secretary TPI, Wijaya Kusuma, menyatakan pihaknya akan menghentikan tayangan film itu setelah ada putusan resmi dari pemerintah ihwal boikot terhadap produk Malaysia di Indonesia.

Meski diakuinya, tidak mudah menghentikan pemutaran film tersebut begitu saja. “Ini kaitannya dengan bisnis. Tidak mungkin disetop gitu aja karena kita sudah punya komitmen dengan banyak pihak,” katanya. Betul, betul, betul.

Perang Lawan Malaysia: Buat Apa?

(sekilas info)

Ketua MPR: Presiden Harus Konsolidir TNI untuk Siap Perang.

Elvan Dany Sutrisno - (detikNews)

Jakarta - Ketua MPR Taufiq Kiemas memahami jika sebagian masyarakat geram terhadap Malaysia. Pemerintah diminta mulai mengkonsolidir TNI, mempersiapkan adanya kemungkinan terburuk konflik Indonesia-Malaysia.

"Saya setuju, tapi kita memang tidak bisa mengganyang-ganyang seenaknya. TNI harus kita konsolidasi dulu dan itu harus dijalankan oleh Presiden, sebab pemerintah bertanggungjawab untuk itu," ujar Taufiq.

Taufiq melihat pidato SBY di Mabes TNI Cilangkap untuk memulai konsolidasi TNI. Harapan Taufik, TNI dapat semakin solid mempertahankan NKRI.

"Di Cilangkap kan dia mengkonsolidasikan TNI. TNI kita kan banyak ada ratusan ribu jadi butuh waktu lama," terang Taufiq.

Dengan demikian jika kondisi terburuk harus ada peperangan Indonesia-Malaysia, kita sudah siap mempertahankan diri. "Kalau soal keberanian kita berani, masalahnya hanya di peralatan," tutupnya.

(van/gun)

Rabu, 01/09/2010

Komisi I DPR: Demi Kedaulatan, Perang Bukan Hal Tabu

Elvan Dany Sutrisno - (detikNews)

Jakarta - Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin meminta agar pemerintah mempersiapkan kemungkinan terburuk, perang melawan Malaysia. Perang menjadi opsi terakhir jika Malaysia tidak menghargai kedaulatan RI.

"Prinsip dasar negara harus siap perang. Indonesia itu cinta damai tapi lebih cinta kedaulatan. Untuk sebuah kedaulatan perang itu bukan hal yang tabu," tegas Hasanuddin kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/9/2010).

Namun Hasanuddin berharap pemerintah mencoba diplomasi dengan Malaysia. Perang menjadi pilihan yang tidak dapat dihindarkan jika Malaysia tidak mau menghargai Indonesia.

"Perang itu jalan terakhir," ujar Hasanuddin.

Pidato SBY di markas TNI dinilai sebagai langkah awal konsolidasi. SBY sedang mempersiapkan kekuatan TNI untuk melindungi nusantara.

"Karena itu kewajiban TNI menjaga kedaulatan NKRI," tutupnya.

(bersambung)