Rabu, 01 September 2010

Sosok Kontroversial K.H. Ahmad Dahlan

(sebuah cerita Keraton Yogyakarta)

“Tempat ini terlalu sempit bagi pemikiran Kiai. Dibutuhkan wadah yang lebih besar dari Kauman.” Sri Sultan memberi dorongan semangat kepada kiai berusia 36 tahun yang terlihat sedang gundah itu. ”Kiai tahu, beberapa hari lalu saya bicara dengan dr. Wahidin Sudirohusodo. Saya kira sudah saatnya kita harus punya perkumpulan pembaru dalam bidang pendidikan seperti yang diinginkan dr. Sudirohusodo, dan saya harap Kiai Dahlan melakukan hal yang sama di bidang agama.”

Adegan sangat menarik ini dapat kita baca di novel karya Akmal Nasery Basral, Sang Pencerah, yang ditulis berdasarkan skenario film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo. Berbeda dengan kebiasaan novelisasi skenario para penulis lain yang umumnya sekadar memindah mediakan format skenario ke dalam bentuk novel, Akmal melakukan pendalaman materi skenario dengan memperkaya bahan penulisan, serta mengubah sudut pandang penceritaan dari mata sang tokoh protagonis (”aku”), sehingga hasilnya adalah sebuah novel yang melengkapi kisah film, bukan mengulangi apa yang sudah dilihat penonton.

Salah satu hal menarik, yang dapat ditemui di dalam novel karya Akmal ini, adalah upaya meletakkan ”Prolog” dan ”Epilog”. Kedua ”gerbang” yang berada di paling depan dan paling belakang novel setebal 460 halaman itu menjadi unik karena berhasil membangun cerita berlatar sejarah yang tidak biasa. Di bagian ”Prolog”, sang tokoh berdialog dengan Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada tahun 1904. Sementara itu, di bagian ”Epilog”, ada sebuah dialog yang terjadi pada tahun 1912. Kali ini bukan sang tokoh, K.H. Ahmad Dahlan, yang berdialog dengan Sri Sultan, tetapi Sri Sultan membicarakan sang tokoh. Nah, apa yang terjadi dengan K.H. Ahmad Dahlan selama rentang waktu delapan tahun itu?

”Kiai Dahlan itu orang baik, titisan darah dari leluhurnya Maulana Malik Ibrahim tak mungkin salah. Dia juga pintar, dan mudah bergaul. Belum pernah kudengar ada kiai lain yang bermain biola untuk mengajarkan agama bagi murid-muridnya. Kiai muda ini juga tidak mudah mengafirkan orang lain, bahkan mau bergaul dengan kalangan priyayi dan terpelajar di Budi Utomo.”

K.H. Ahmad Dahlan dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Dia merupakan sosok anak muda pendobrask tradisi, yang tak lain berniat agar Islam kembali menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan Islam yang menyulitkan pemeluknya sendiri. Pada masanya, dia bahkan dianggap kafir, tetapi beberapa orang yang berpikiran terbuka dan banyak anak-anak muda yang kritis menyukai caranya.

Ekuator E-megazine

Tidak ada komentar: