Rabu, 01 September 2010

Membaca untuk Memecahkan Masalah?

Budaya baca di Indonesia paling rendah di Asia Timur. Seandainya membaca dijadikan sebuah solusi untuk mengatasi masalah, terutama di sekolah-sekolah, mungkin lain ceritanya. Ayo para guru Indonesia mulailah membuat soal-soal kognitif untuk setiap bab pada bidang studi dengan OPEN BOOK. Dampaknya sangat luar biasa. Pelajar kita terbiasa dengan membaca untuk menyelesaikan masalah. Tinggalkan soal-soal pilihan ganda dan CLOSING BOOK—karena ini tidak melatih para pelajar kita untuk berpikir kritis. Bahkan terjebak pada kebiasaan berpikir TEBAK-TEBAKAN. Bangkitlah pendidikan Indonesia.

Membaca dimanfaatkan sebagai sebuah solusi memecahkan masalah?
Bagi saya, pesan ini bukan pesan sembarangan meskipun saya tahu bahwa Mas Munif mengirimkan pesan itu dengan menggunakan “mesin”. Ada kemungkinan, yang dikirimi pesan itu mencapai jumlah yang sangat banyak. Saya hanya salah satu di antaranya. Namun, saya perlu berterima kasih kepada Mas Munif. Mengapa?

Karena pesan tersebut berhasil membangkitkan-kembali “raksasan tidur” di dalam diri saya. Menginjak bulan Ramadhan tahun ini, saya cukup banyak diminta advis. Advis itu terkait dengan upaya sebagian masyarakat—yang peduli terhadap kehidupan baca-tulis di Tanah Air—yang bersemangat untuk membuat banyak masyarakat yang mau dan mampu membaca. Mereka telah menyediakan sarana berupa buku-buku. Bahkan, ada juga yang membuat perpustakaan keliling.

Hanya, upaya mulia mereka kadang tidak mendapat sambutan yang cukup menggembirakan. Saya ingin segera mengatakan bahwa saya yakin sekali bahwa mereka mengadakan upaya mulia itu tentulah berlandaskan keikhlasan. Mereka tidak ingin mendapatkan imbalan apa-apa—termasuk sambutan yang gegap gempita dan puja puji yang membahana. Namun, bukankah tidak ada salahnya untuk menjadikan upaya mulia mereka juga mendapat tempat yang semestinya?

Itulah yang terus saya pikirkan begitu saya ingin memasuki bulan Ramadhan. Hingga sepuluh hari saya menjalankan puasa Ramadhan, saya memang masih belum mendapatkan ide cemerlang bagaimana menggagas sebuah cara yang, mungkin, ampuh untuk membangkitkan minat membaca masyarakat. Saya hanya memiliki beberapa cara yang, sekali lagi, tidak baru dan berputar-putar pada hal-hal itu melulu.

Nah, menurut saya pesan, Mas Munif itu merupakan ide yang sangat cemerlang.

Pertama, membangun generasi cinta baca bukanlah proyek instan atau sekali jadi. Ini harus disadari benar oleh semua orang yang ingin terjun ke kegiatan sosial dalam rangka mengajak masyarakat untuk mau perlahan-lahan membaca buku secara kontinu dan konsisten—setiap hari.

Kedua, proyek ini tidak dapat dilakukan sendirian alias harus bekerja sama dengan pihak-pihak lain sebanyak mungkin. Boleh saja setiap individu mendirikan perpustakaan di rumah atau di kampungnya. Namun, buku-buku yang ada di situ harus, secara terus-menerus, di-update dan dibuat sangat menarik. Jika tidak, perpustakaan tersebut akan berubah menjadi kuburan dalam perjalanan waktu.

Ketiga, mengajak para tokoh dan ”public figures” untuk terlibat dalam kepedulian ”membawa” buku—ya bukan membaca, tetapi hanya membawa buku. Saya ingin di mana-mana terpampang slogan yang berbunyi: ”Jadikan buku barang bawaan.” Saya tentu akan sangat bersyukur jika para guru pun ikut terdorong untuk mengimplementasikan slogan tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka ketika berada di sekolah. Dan bayangkan jika para orangtua yang memiliki putra-putri pun mau mengenalkan buku, setiap hari (barang 10 hingga 15 menit), kepada darah dagingnya sendiri.

Tentu, ketiga hal yang saya catat di atas tidak dapat dilakukan dalam bentuk perintah—apalagi pemaksaan. Itu perlu kesadaran. Kecintaan—terhadap buku—memang baru akan bisa muncul dan tumbuh jika disertai kesadaran.

Salam
Hernowo

Tidak ada komentar: