Rabu, 12 Agustus 2009

Ketika Pendidikan jadi Komoditi

Karena pendidikan sudah menjadi sebuah komoditi
Kita punya kekuatan besar dalam industri
Jadilah konsumen yang kritis dan teliti
karena tanpa kita industri akan mati

Karena pendidikan sudah menjadi sebuah komoditi
Jangan mudah percaya dengan bungkus yang membohongi
Jangan dukung pebisnis nakal yang suka menindas guru dan pelit menggaji
Jangan membeli kualitas semu yang hanya ada di iklan padahal tidak bergaransi

Meskipun pendidikan sudah menjadi sebuah komoditi
Pendidikan sejati sesungguhnya tidak pernah mati
Pendidikan sejati sudah ada dalam diri kita sendiri
Kita hanya perlu mata hati untuk melihatnya sehingga kita bisa menjadi mandiri

Meskipun pendidikan sudah menjadi sebuah komoditi
Hak kita untuk belajar akan selalu abadi
Tidak ada yang bisa merubah, merusak dan menghentikan ini kecuali diri kita sendiri
Pertanyaannya, apakah kita sudah menyadari?

Learning Freedom!!!!!
Salam Ines Setiyawan

Ketika pendidikan hanya menjadi sebuah komoditi
tak ada bedanya ia dengan barang kebutuhan sehari-hari
orang selalu mencari, dan bahkan rela membayar dengan harga tinggi
karena sang penjual pun tak pernah mau rugi

Ketika pendidikan tak lebih dari sebuah komoditi
ia akan menyerupai sebuah proses produksi
"bawakan kami bahan bakunya, maka akan kami jadikan ia produk yang dicari-cari"
begitu mungkin pikiran mereka,
para guru yang tak lagi mendidik dengan hati nurani

Karena pendidikan sudah menjadi komoditi
kitapun tak tahu mau dijadikan apa anak kita nanti
akan menjadi gurukah?
akan menjadi ilmuwankah?
akan menjadi presidenkah?
atau mungkin hanya akan menjadi kuli?

Ah...semoga ini semua tidak terjadi

Karena aku tak ingin anakku hanya menjadi sebuah komoditi
Karena ku yakin anakku layak menjadi elang,
terbang tinggi, memberi arti pada dunia, dan dalam kehormatan kelak ia akan mati
Karena anakku bukan sekedar ayam,
yang tak mampu terbang, matipun karena disembelih, dan (lagi-lagi) hanya menjadi komoditi

Para guru, kalianlah yang akan memberi arti pada anak kami
tolong...
didik anak kami
karena kalian akan menjadikan mereka "siapa",
dan bukan menjadikan mereka "apa"

#hanya sebuah ungkapan kebingungan melihat semakin mahalnya biaya sekolah, tanpa jelas kualitas sekolahnya. Memangnya sekolah barang dagangan?#

Kemampuan belajar menurun..?!

Salah satu kemunduran yang kita alami seiring dengan bertambahnya umur adalah; berkurangnya kemampuan kita dalam belajar. Kalau kita berusaha untuk menghafal sesuatu misalnya, hafalan kita hanya bertahan beberapa jam saja. Atau, paling lama dalam hitungan hari. Setelah itu, kita lupa lagi, seolah tidak pernah melewati proses menghafal tadi. Selama ini kita percaya bahwa menurunnya kemampuan kita dalam belajar ada kaitannya dengan penurunan kemampuan otak kita. Oleh karena itu, orang-orang dewasa seperti kita selalu mempunyai cukup alasan untuk diberi belas kasihan. Jadi, ”harap dimaklumi saja jika orang dewasa seperti kami ini agak ’telmi’”. Tetapi, apakah penurunan kemampuan kita dalam menyerap ilmu itu benar-benar disebabkan oleh penurunan kemampuan otak, ataukah karena kurangnya antusiasme kita dalam belajar?

Baru-baru ini, saya mendapatkan kesempatan untuk berbicara dalam sebuah forum yang berkaitan dengan acara familiy gathering sebuah perusahaan. Tidak banyak waktu yang disediakan bagi saya. Hanya 45 menit saja. Namun, meski sangat singkat; sesi itu sangat spesial bagi saya. Sebab, audience yang hadir disana terdiri dari anak-anak, remaja hingga pimpinan puncak perusahaan. Berbicara diforum orang dewasa memang merupakan pekerjaan saya. Bagaimana dengan anak-anak? Itu juga bukan masalah, karena semasa kuliah dulu, saya ikut mengabdikan diri untuk menjadi mentor bagi anak-anak TK, SD, dan SMP di PAS-ITB. Not, that hard to deal with, actually. Tetapi...., masalahnya adalah; sekarang kedua tipe audience itu digabungkan dalam satu forum dimana saya harus menyampaikan pesan penting bagi semua. That’s quite a challenge.

Saya tidak melebih-lebihkan ketika mengatakan bahwa anak-anak dalam forum yang saya fasilitasi itu begitu antusias dan cerdas. Mereka mengerumuni saya, serta menjawab pertanyaan-pertanya an yang saya lontarkan dengan penuh semangat. Dan cara mereka menjawab; bukan main, seolah mereka menggunakan semua energi yang dimilikinya. Mereka mengangkat tangan, melompat, dan berteriak. Tidak heran kalau pada usia seperti mereka, manusia bisa mencapai tingkat efisiensi proses belajar yang paling tinggi.

Sesaat setelah menyelesaikan sesi itu, saya kembali merenungkan satu hal, yaitu; betapa mengagumkannya semangat belajar anak-anak dalam forum itu. Dan menengok kembali kebelakang ketika saya masih menjadi pembina PAS-ITB dulu, saya kira; memang demikianlah adanya anak-anak. Mereka memiliki semangat belajar yang teramat sangat tinggi. Sampai-sampai, mereka membuntuti kemanapun saya pergi selama sesi itu.

Sampai disini, saya kembali tersadarkan, bahwa; kita para lelaki dan perempuan dewasa telah kehilangan antusiasme dalam belajar. Padahal, dahulu kala kita adalah little boys dan little girls yang pernah memiliki antusiasme itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita disampaikan sebuah pesan berisi pelajaran berharga dan nilai-nilai luhur; kita begitu bersemangatnya untuk menyerap seluruh ilmu itu. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kepada kita diajukan sebuah tantangan untuk melakukan sesuatu kita saling berebut untuk mengajukan diri, sambil mengangkat tangan dan terteriak; ”Saya Pak Guru! Saya Pak Guru!” seolah kita tengah berlomba dengan teman-teman agar dipilih sang guru untuk melakukan tugas didepan kelas. Dulu, kita seperti anak-anak kecil itu; dimana ketika kita tidak mengerti tentang sesuatu kita segera mengangkat tangan dan bertanya; ”Bu Guru, itu maksudnya apa?” tanpa khawatir ditertawakan oleh teman-teman sekelas.

Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana kita sering kehilangan gairah untuk menerima masukan yang berisi pelajaran-pelajaran berharga. Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita ditantang untuk melakukan sesuatu kita bersembunyi sambil menunjuk-nunjuk teman kita; ”kamu saja, kamu saja...” Sekarang, kita sudah tidak seperti anak-anak kecil itu lagi, dimana ketika kita tidak mengerti sesuatu kita memendamnya dalam hati seolah terbebani oleh stigma orang lain, bahwa; ”Jika bertanya, maka kita menunjukkan betapa bodohnya kita”. Padahal, kita tahu bahwa kebodohan itu sangat memalukan. Jadi, kita memilih untuk berpura-pura tahu; daripada menanggung resiko dikira bodoh.

Oleh karena itu, tidak heran jika semakin tua; semakin berkurang kemampuan kita dalam belajar dan mengambil hikmah. Padahal, hikmah dan pelajaran itu berserakan disekitar kita. Namun kita sudah kehilangan kemampuan untuk menerimanya. Mencernanya. Dan meresapinya. Tiba-tiba saja; saya merindukan masa-masa ketika saya masih kecil dulu. Masa dimana saya begitu bersemangatnya. Untuk. Mempelajari. Segala sesuatu.

Mari Berbagi Semangat!
Dadang Kadarusman
Natural Intelligence & Mental Fitness Learning Facilitator

7 Kiat sukses 1th ajaran

(edisi spesial tuk guru)

Agar sukses di satu tahun ajaran, guru perlu melakukan persiapan. Banyak sekolah yang mewajibkan guru nya masuk 3 hari atau bahkan lebih saat siswa nya masih libur panjang. Semuanya agar saat siswa masuk di hari pertama, semuanya siap dan terencana, baik kelas secara fisik atau administrasi yang sifatnya menjadi `pegangan' selama satu tahun penuh.

Berikut ini saya ingin berbagi mengenai hal apa saja yang mungkin bisa menjadi kiat agar sukses satu tahun ajaran.

1. Menyiapkan sebuah folder khusus yang berisi nya adalah semua `paper work' atau pekerjaan yang bersifat keadministrasian dan ditulis dikertas. Isinya antara lain, visi misi sekolah, nama siswa, rencana pembelajaran dari hari ke hari, dokumen kurikulum serta hal lain yang memudahkan anda menjalankan administrasi satu tahun ajaran penuh.

2. Menyepakati peraturan dan konsekuensi di kelas, latih terus di dua minggu pertama sampai satu bulan di tahun ajaran baru. Dijamin anda tidak akan bermasalah dengan perilaku siswa di kelas.

3. Menyiapkan `template' yang berisi nama anak dan kolom yang kosong disebelahnya, untuk bisa memudahkan anda menggunakannya saat menilai siswa atau bahkan hanya untuk mengecek kelengkapan sesuatu yang perlu dibawa siswa.

4. Siapkan games atau permainan yang bisa dimainkan saat siswa jenuh atau butuh penyegaran. 10 permainan saja tidak usah banyak-banyak. Permainan tadi bisa anda lakukan satu tahun penuh.

5. Lakukan pemetaan materi pembelajaran satu tahun penuh (atau tema jika anda menggunakan pendekatan `tematik'). Mulai sekarang lepaskan ketergantungan pada buku paket. Jadikan itu hanya menjadi salah satu rujukan saja, artinya jangan kemudian buku paket mendominasi alur pembelajaran dan pengajaran kita di kelas. Karena anda yang mengajar dikelas maka anda yang pegang kendali. Jika anda melakukan pemetaan, menjadi mudah bagi anda untuk menentukan kapan membagi hal yang sifatnya rutin seperti portfolio atau melakukan kegiatan lain yang ada hubungannya dengan pembelajaran seperti tes dan lain sebagainya.

6. Menyiapkan arus atau penataan informasi, bagaimana siswa tahu dan mengerti jika ada pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Bagaimana memberitahu orang tua mengenai sebuah informasi yang penting. Hal yang tidak kalah penting adalah menyiapkan fisik kelas, bagaimana individu yang ada didalamnya berinteraksi, bagaimana kelas di tata serta hal lain yang memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran.

7. Lakukan refleksi minimal seminggu sekali atau sehari sekali. Anda bisa menulis apa saja mengenai pembelajaran yang anda lakukan selama seminggu atau pada hari itu. Ditulis dalam sehelai kertas, walau beberapa kalimat, akan bisa membuat anda menjadi guru yang lebih baik. Beberapa tips di atas adalah gambaran dari betapa sejatinya guru yang baik, melakukan semuanya secara terencana sambil terus memperbaharui kualitas diri.

Jika anda sudah punya perencanaan satu tahun penuh saya jamin anda makin punya waktu untuk hal yang lain yang merupakan hobi atau bisnis sampingan anda, atau menulis buku barangkali? Seperti yang dilakukan Pak Wijaya Kusumah lewat buku `Penelitian Tindakan Kelas' nya, atau anda punya tips sukses tahun tahun ajaran penuh yang lain dan berharga yang bisa dibagi melalui forum ini? saya persilahkan

Terima kasih
Agus Sampurno

700 PT Dianggap Illegal

*Bogor *
Pemerintah menganggap ilegal sekitar 700 perguruan tinggi swasta yang dimiliki yayasan. Akibatnya, ratusan perguruan tinggi swasta tersebut, "Terancam dilikuidasi, " kata Direktur Kelembagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Hendarman dalam diskusi di Hotel Grand Ussu, Puncak, Bogor, Sabtu lalu.

Menurut Hendarman, perguruan tinggi swasta itu belum mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Pengelola perguruan tinggi itu juga mengabaikan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Formal.

Hendarman menjelaskan, semua yayasan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi seharusnya mendaftar ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pendaftaran terakhir paling lambat 17 Desember 2008. Ternyata, sampai kini, masih ada 700 perguruan tinggi berbasis yayasan yang belum mendaftar ulang. "Baik berupa universitas maupun sekolah tinggi," kata Hendarman.

Namun, Hendarman tidak membuka daftar ratusan perguruan tinggi yang dianggap ilegal itu. Dia beralasan data perguruan tinggi yang belum mendaftar ulang berada di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Agar lolos dari ancaman likuidasi, menurut Hendarman, perguruan tinggi milik yayasan pun sebenarnya bisa mengubah status hukumnya menjadi badan hukum pendidikan masyarakat. Syaratnya, yayasan harus dibubarkan lebih dulu, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Pada kesempatan yang sama, Hendarman mengungkapkan Direktorat Pendidikan Tinggi kini tengah memproses tujuh perguruan tinggi swasta di daerah untuk menjadi perguruan tinggi negeri. "Ketujuhnya dalam proses menjadi badan hukum pendidikan pemerintah," ujar Hendarman.

Ketujuh perguruan tinggi itu adalah Universitas Bangka Belitung,Universitas Borneo, Universitas Merauke, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Universitas Siliwangi, Politeknik Batam, dan Politeknik Negeri Bangka Belitung.

Jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang tercatat di Departemen Pendidikan Nasional adalah 2.967 lembaga. Perinciannya, 83 perguruan tinggi negeri dan 2.884 perguruan tinggi swasta.

Untuk memperjelas informasi mutu perguruan tinggi swasta, Departemen Pendidikan berencana memeringkat perguruan tinggi seperti hotel. "Dari bintang satu hingga bintang lima," ujar Hendarman. Salah satu variabel dalam pemeringkatan itu adalah ketersediaan sarana peribadatan bagi semua agama di perguruan tinggi.

Salam
Dianing Sari

Menata Diri tuk jadi Guru Idola

Banyak teman seprofesi yang bertanya kepada saya bagaimanakah menjadi guru idola?

Pertanyaan itu terus terang begitu menggoda dan membuat saya melakukan refleksi dan instropeksi diri. Bertanya pada diri sendiri apakah selama ini telah menjadi guru idola. Idola para siswa yang merasa nyaman bila berada dalam suasana pembelajarannya. Idola para siswa karena mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Bicaranya sangat menyejukkan hati, ilmunya bak ’mata air’ yang tak pernah habis diambil, dan kehadirannya membuat para siswa merasa belajar menjadi menyenangkan. Mereka pun merasakan betapa nikmatnya berada di sekolah sebagai rumah ”keduaku”.

Untuk bisa menjadi guru idola para guru harus menata diri. Memperbaiki hal-hal yang kurang tepat dilakukan oleh guru dan senantiasa melakukan apa yang disebut belajar sepanjang hayat. Tak ada guru yang langsung menjadi idola para siswa, meskipun guru tersebut berwajah ganteng dan cantik. Sebab ganteng dan dan cantik tidak menjadi jaminan guru itu menjadi guru idola. Guru idola bukan hanya guru yang digugu dan ditiru saja, tetapi tercermin dari tingkah lakunya yang selalu satu kata antara perkataan dan perbuatan. Mampu memberikan keteladanan kepada teman sejawat dan anak didiknya. Kreatif, tidak sombong, dan rendah hati kepada sesama. Gaya bahasanya biasa saja, tidak dibuat-dibuat seperti layaknya penyair kondang. Tetapi, bila ia bicara dan mengembangkan senyumnya membuat mereka yang mendengarnya terdiam dan mengatakan,”inilah guru idolaku”.

Hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya.

Dalam hidupnya, guru idola adalah guru yang senantiasa mengajarkan kepada peserta didiknya untuk hidup dengan memberi sebanyak-banyaknya bukan menerima sebanyak-banyaknya. Dengan prinsip tangan di atas lebih mulia daripada tangan dibawah, membuat dirinya merasakan harus senantiasa memberi. Memberi tidak harus dengan sesuatu yang sifatnya materi, tetapi memberi dapat dilakukan dengan sesuatu yang sangat mudah. Sesuatu yang sangat mudah itu adalah ‘senyum seorang guru’. Bila guru tersenyum, maka anak didiknya akan menghampirinya dengan kedamaian hati. Namun, bila guru tak tersenyum, maka muridpun akan berlari, dan mengatakan dalam hatinya, “guruku tak lagi tersenyum”.

Beban hidup yang ditanggung oleh para guru, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya harus membuat para guru bersabar dan terus berdoa kepada Tuhan yang Maha Pemberi. Ketika guru sadar bahwa dirinya harus senantiasa menjadi motivator dalam hidupnya, maka guru idola akan mengatakan pada dirinya untuk selalu memberi dan memberi. Memberi sebanyak-banyaknya dan tak harap kembali. Bagai sang surya yang menyinari dunia. Hidupnya seperti matahari yang senantiasa menyinari dunia mulai dari pagi sampai petang menjelang. Ketika malam menghampiri, guru idola tak pernah lepas berdoa untuk selalu diberikan kekuatan oleh Tuhan agar mampu menggali ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang dan tiada henti.

Akhirnya, guru idola tentu akan menjadi harapan semua peserta didik. Harapan kita semua agar pendidikan ini tampil sesuai dengan apa yang kita cita-citakan. Guru idola harus menjadi cita-cita semua guru di sekolah agar dunia pendidikan kita kembali tersenyum. Oleh karena itu, untuk menjadi guru idola, mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang kecil, mulailah banyak memberi, dan mulailah menata diri sendiri untuk menjadi guru idola.

Salam
Wijaya Kusumah, S.Pd
Guru TIK SMP Labschool Jakarta

Tangan & Mulutmu tuk si Tuna Netra

(sebuah cerita)

Jalanan menuju kota Bandung hari ini sedikit padat, maklum hari ini weekend – tanggal muda pula. Hmm… akhirnya berhasil juga menemui temanku yang sedang kerja lab di kampusnya. Kok dia pucat sekali yah?? Ohh, sedang sakit rupanya! Kok memaksa pergi ke lab siang panas bolong begini, hari sabtu pula?! Hayoo, kita pulang saja, istirahat dan bersenang-senang! :)

Ahhh, kita berdua memang butuh isi pulsa untuk ponsel masing-masing. Hmmm, ternyata aku lupa mengatur kerja ponselku agar dapat digunakan di luar kota tempat asalku – Jakarta. Jadi tak perlu aku membeli pulsa itu, toh aku di kota ini hanya sampai besok sore. “Bicaralah kau kepada si penjual pulsa dan ambil apa yang kau butuhkan!”, nyataku pada temanku. Sembari menunggu, tak sadar ada seorang pria mendekatiku. Oh, ia menanyakan angkutan umum yang ingin ia tumpangi. Hmmm, sayangnya aku tak pernah hafal arah dan jenis angkutan umum yang melaju di sekitar belakang kampus temanku ini. “Hei, kau tahu angkutan umum ke arah Dago?”, sela tanyaku di tengah transaksi jual beli yang sedang berlangsung. Ohhh, ternyata dari sini tak ada trayek yang langsung ke arah Dago – harus berjalan menembus Jalan Dayang Sumbi. Kebetulan rumah temanku, tempat kami hendak menuju, juga berada di daerah Dago, di Jalan Bang Bayang tepatnya. Lelaki yang menanyakan jalan tampak sedikit panik atas apa yang ia hadapi dan arah mana yang harus ia tuju. Akhirnya, kami memutuskan untuk jalan bersama melintasi Jalan Dayang Sumbi, toh kami memang ke menuju ke arah yang sama.

Satu hal yang belum kuceritakan mengenai lelaki ini adalah mengenai kondisi fisiknya yang buta. Ya, ia memang seorang tuna netra yang sedang kebingungan menanyakan arah, jalan, sekaligus angkutan umum untuk mencapai tempat tujuannya. Menurutnya, kejadian ini tidak perlu terjadi bila si supir angkutan umum yang sebelumnya ia tumpangi tidak asyik mengobrol dan akhirnya mengacuhkan pesannya untuk turun di daerah Simpang Dago. Namun kenyataannya, disinilah ia sampai dan terbengkalai, di belakang salah satu kampus terkenal di kota Bandung. Berjalan bersama seorang tuna netra tentu tidak sama dengan berjalan bersama dengan teman-teman yang ‘melek’. Dengan sedikit krbingungan, cepat-cepat kuberinisiatif untuk membimbing si lelaki tuna netra dengan memberikan tanganku sebagai ‘pegangan dan arahan’ baginya. Aku dapat merasakan kebingungan dan keanehan yang dialami temanku karena sekarang kami berjalan bersama seorang asing dan ia memegangi tanganku cukup erat.

Aku tahu bahwa sebenarnya ada cara yang benar (efektif) untuk menjadi pemandu bagi para tuna netra bila kita hendak membantunya. Aku pernah ditunjukkan caranya, namun sayang aku sudah tak ingat lagi karena peristiwa ini terjadi di sekian tahun yang lampau. Ahhhh, aku sedikit kecewa pada diriku sendiri. Well, setidaknya aku berusaha semampuku. Meski harus kuakui apa yang aku lakukan agak-agak ‘menyerempet bahaya’. Seperti, kami berjalan di sebelah kanan jalan dan aku berada di posisi paling kanan, sehingga membuat si tuna netra berada paling dekat dengan lalu lalang kendaraan. Hey, aku lupa – ia tidak bisa melihat kalau saja ada motor atau mobil atau kendaraan lain melintas tepat di sampingnya meski dari arah yang berlawanan (datang dari hadapannya). Nyaris terserempet! Ia kaget dan panik dengan lalu lalang di samping kiri badannya. Lagi, aku membawanya berjalan melintasi trotoar yang tidak terlalu aman karena ukurannya yang sempit dan lebih tinggi dari jalan dan selokan, belum lagi permukaannya yang tidak rata dan banyak lubang. Nyaris terjeblos! Bagaimana kuingatkan dia bahwa ada lubang menganga di hadapannya atau ia berjalan terlalu ke pinggir? Akhirnya aku membawanya berjalan di jalan raya, meski lebih dekat dengan lalu lalang kendaraan – paling tidak permukaannya lebih rata dan ‘jauh’ dari ketinggian, mengingat kesulitanku memberikan instruksi bila kami sudah berjalan terlalu ke pinggir trotoar atau bila menghadapi lubang di antaranya.

Lelaki ini berjalan agak terburu-buru – aku dapat merasakan ini, atau memang jalannya yang ‘agak cepat’. Di tengah perjalanan singkat ini, kami memulai percakapan. Mulai dari sekolah, nama, tempat tinggal, dan beranjak mengenai cerita perjalannya sampai di tempat ini – seperti yang sudah kusampaikan sebelumnya. Ternyata, ia memang tergesa-gesa dan bergegas untuk mencapai tujuannya – ke tempat ia akan memijat di daerah Dago Atas. Ia seorang tukang pijat panggilan. Pantas saja kurasa ‘dorongan’ di tanganku agar segera bergegas berjalan menuju tempat ia bisa mendapatkan angkutan umum yang benar. Ia sudah terlambat untuk ‘panggilannya’ karena peristiwa ketidaksimpatikan si supir angkutan umum yang sebelumnya. Dan terasa kegeramannya karena ia harus membuat orang lain menunggu dirinya – sepertinya ia tidak suka datang terlambat untuk menunaikan tugasnya.

Sampai menemukan angkutan umum yang kami tuju, ternyata belum selesai juga panduan yang harus diberikan – bahwa inilah angkutan umum yang kami maksud, di sini pintunya, masuklah dan di sini tempat kau bisa duduk. Kami pun naik bersama dan melanjutkan uraian percakapan kami. Sayangnya, tempat yang kami tuju adalah perhentian sebelum tempat tujuan si lelaki tuna netra. Jadi, di sinilah kami turun dan mengucap salam kepada si lelaki tuna netra dan melanjutkan pesan kepada si supir angkutan umum agar ia menurunkan ‘teman baru’ kami ke tempat perhentian yang ditujunya.

Kejadian ini mengingatkanku untuk memberikan pesan kepada teman-temanku untuk belajar ‘keahlian’ yang satu ini – sebagai pemandu bagi para tuna netra. Penting! Aku mengingat, betapa ingin aku membantu para tuna netra ini, namun apa dayaku bila tak cakap dalam berempati dan tak tahu cara (teknik) melengkapi ‘keterbatasan’ mereka? Well, meski bukan berarti aku akan mencari setiap tuna netra yang butuh bantuan di jalanan dan berusaha membantu mereka. Tapi, kecakapan yang satu ini tetap dibutuhkan, seandainya kita menemui mereka yang mengalami ketersesatan atau kebingungan atau masalah apapun, di jalan dan di tempat lain. Karena seperti yang dialami oleh teman baru kami tadi, ia diturunkan di pinggir jalan tanpa tahu ada di mana (Hahh, gara-gara keteledoran dan keacuhan si supir angkutan umum!). Aku pun tak ingat untuk menggambarkan di mana ia berada saat itu, karena aku pun tak sadar bagaimana harus bersikap dengan tepat.

Satu lagi, maukah kamu mengulurkan tangan dan mulutmu untuk menjadi alat pandu bagi para tuna netra ini – sebagai pengganti matanya yang tak berfungsi dan juga tongkat yang dipegangnya? Karena, mereka yang membutuhkanmu di luar sana kebanyakan (hampir pasti) adalah orang asing yang mungkin baru kali itu saja kau temui. Seorang buta yang asing, yang mungkin akan melakukan kontak fisik denganmu secara langsung. Maukah kau mempelajari ini? Aku mau!!!

Salam
MC Hartanti

Anak Cerdas & Berbakat

Jakarta, Kompas - Anak cerdas dan berbakat istimewa yang ber-IQ di atas 125 membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Tidak sebatas percepatan studi, tetapi yang lebih penting adalah pengembangan secara maksimal potensi diri mereka. Seperti diberitakan sebelumnya, baru 9.551 siswa cerdas dan berbakat istimewa mendapat layanan khusus di sekolah.

Diperkirakan ada 2,2 persen anak usia sekolah atau 1,05 juta anak sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Anak Cerdas dan Berbakat Istimewa, yang juga pengajar di Universitas Negeri Jakarta, Amril Muhammad mengatakan, berbeda dengan anak berkebutuhan khusus yang mendapat pelayanan melalui sekolah luar biasa (SLB) dan anak normal di sekolah umum, anak cerdas dan berbakat istimewa belum mendapat pelayanan terbaik.

Beragam pilihan

Pelayanan terbaik itu bisa beragam bentuk. Tahap awal, kecerdasan dan bakat anak dinilai. Nilai itu dijadikan dasar penyusunan program individual oleh guru dan psikolog pendamping. Jenis pelayanan yang ada baru kelas akselerasi di 318 sekolah. Padahal juga dibutuhkan penguasaan substansi. Adapun kemampuan verbal dan komunikasi juga harus baik agar apa yang mereka sampaikan mewakili kecerdasan mereka. Program pengayaan juga dibutuhkan sesuai dengan minat anak.

Dia menyarankan, setiap kota dan kabupaten setidaknya memiliki satu sekolah khusus anak cerdas dan berbakat, tidak perlu mahal, tetapi dikelola guru yang kompeten dan kreatif. ”Anak-anak itu butuh ruang berekspresi dan bereksperimen sesuai kecerdasan dan bakatnya. Lepas dari kekakuan birokratisasi pendidikan,” ujarnya.

Kurang terasah

Fisikawan Prof Yohanes Surya, kemarin di hadapan para guru di Surabaya pada seminar motivasi yang diadakan harian Surya dan majalah Kuark, mengatakan, potensi ribuan anak genius kurang terasah baik. Diduga beberapa penyebabnya adalah karena pengajaran kurang baik dan pelajar kurang dimotivasi agar mengeluarkan kemampuan terbaik.

Surya mengatakan, penelitian di dunia menyebutkan, ada satu orang genius dari setiap 11.000 orang. Jadi dari 230 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 20.900 orang jenius. ”Mereka punya IQ minimal 160 atau setara Einstein,” ujarnya.

Anak Indonesia yang semula tak pernah menang kompetisi tingkat dunia kini sering memetik medali emas pada kompetisi sains dunia. Dia membuktikan itu dengan mendidik anak-anak pedalaman Papua. ”Mereka perlu motivasi untuk memunculkan kemampuan terbaik. Manusia secara naluriah perlu berada dalam kondisi kritis untuk bisa mengeluarkan potensi terpendamnya,” ujarnya. (INE/RAZ)

Selasa, 11 Agustus 2009

Bahasa Aneh "Presiden SBY" :)

Ini bukan hal aneh bagiku. Seandainya aku sakit, aku lebih baik mengisolir diri kalau penyakitku berkemungkinan menularkan virus tersebut ke rekan2ku. Ketika anakku sewaktu kecil sakit flu, kularang dia bermain dengan teman2nya agar tidak menyebarkan virus flu. Teman2nya yang datang ke rumah, kuberitahu tidak main dengan anakku agar tidak tertular flu.

Kalau SBY memakai kata "terdistribusi" ya mungkin itu ada guyonan di baliknya, bukan hal serius atau pilihan kata yang tidak tepat. Jika dikatakan "menular" kan negatif maknanya, lain dengan "terdistribusi" yang cenderung bermakna positif. Bisa saja aku memakai kata/diksi yang sama dengan yang dipilih SBY. Tak rumit kok.

Cuma ... SBY semestinya pakai masker saja agar helaan nafasnya tidak menyebarkan virus via mulut. :O) Ini kan muara penyebaran virus. Di rumkit (maksudnya rumah sakit) banyak tersebar virus via pernafasan mestinya, maka masker perlu dipakai pada kondisi tertentu.

Flu mewabah ke mana2, jaga kesehatan! Kuizinkan mahasiswaku bawa minum dalam botol dan boleh minum di kelas. Tak ada larangan jika mau makan di kelas ketika lapar dan haus tak dapat dicegah, asal tertib tidak bikin ribut yang lainnya. Ada mahasiswa yang sakit dengan gejala yang dia ceritakan, aku duga itu ginjalnya alami gangguan. Ternyata benar. Itu sebabnya aku selalu ingatkan mahasiwaku agar jaga kesehatan dan boleh minum selagi kuliah jika dia bawa minuman. Tubuh kita perlu air, utamanya di musim kemarau.

Wis ah .. mau belajar software baru untuk analisis kalimat. Software ini dikembangkan kakak kelasku. Software ini hanya dapat dipelajari jika sudah belajar aliran linguistik tertentu. Weleh ... itu butuh satu semester belajar teori ini, baru bisa pakai software ini.

He..He
:)


Minggu, 09 Agustus 2009

Ada apa dengan Bill Gates?

New Delhi- Bagi penggemar Facebook, menambah banyak teman di laman jejaring sosial itu merupakan sesuatu yang menyenangkan. Namun, suasana itu tidak lagi berlaku bagi Bill Gates.

Juragan perusahaan piranti lunak komputer Microsoft yang juga berstatus orang terkaya di dunia itu rupanya sudah risih dengan begitu banyaknya orang yang ingin menjadi temannya di laman Facebook.

Dia pun mengaku banyak yang tak kenal dengan orang-orang yang mau menjadi friend. Akhirnya, Gates sudah tak tahan sehingga tak mau lagi mengaktifkan akun di Facebook.

Demikian curhat Gates dalam forum para pebisnis di New Delhi, India, Sabtu (25/7/2009). Gates mengaku pada awalnya dia tertarik bergabung masuk Facebook - laman jejaring sosial dan pertemanan yang didirkan Mark Zuckerberg pada 4 Februari 2004.

Namun, Gates kewalahan menampung permintaan banyak orang yang ingin menjadi teman di Facebook. "Bayangkan, lebih dari 10.000 orang mau menjadi teman saya," tutur Gates seperti yang dikutip laman stasiun televisi NBC.

"Bagi saya itu sudah keterlaluan, akhirnya saya menyerah," lanjut Gates. Dia pun mengaku tidak begitu suka main SMS atau berlama-lama di depan layar komputer. "Saya bukan pengguna teknologi selama 24 jam penuh dan lebih suka membaca buku," tutur Gates, yang berada di India untuk menerima penghargaan atas perannya sebagai donatur lembaga amal.

Bom "Jum'at Legi"

Karya: SUJIWO TEJO
(Dalang)

Terpujilah mengutuk pengebom Mega Kuningan, Jumat (17/7/2009). Namun, tanpa mengurangi hormat kepada korban dan keluarganya yang menanggung duka, sepatutnya kita menengok ”bom-bom” dan ”korban-korban” lain. Inilah tragedi yang bermunculan hampir saban hari tanpa pernyataan kecaman terhadap pelaku, tanpa pameran duka ke hadapan penanggung deritanya.

Suatu tatanan yang mengakibatkan—terutama—pendidikan tinggi menjadi luar
biasa mahal adalah salah satu wajah lain dari ”bom” sehari-hari yang penulis maksud. Para korban tidak meninggal, juga tidak luka-luka. Mereka tetap memiliki tubuh, ditengarai denyut nadi dan detak jantung. Namun, tubuh-tubuh itu ada di bawah taraf kepatutan hidup. Mereka tak mendapat pendidikan layak alias—sejatinya—tak ubahnya jenazah.

*Hidup itu bekerja*

Mari menafsir kematian secara lebih arif, lebih dewasa. Sungguh tetap kekanak-kanakan jika pada era sekarang, era saat kita diam-diam mulai tahu sama tahu tentang standar hidup minimal, kita masih tetap mengartikan kematian harfiah sebagai terhentinya aktivitas fisik semata. Bukankah kita diam-diam tahu sama tahu bahwa pada era seperti ini orang yang mondar-mandir tak dapat pekerjaan karena di tangannya cuma tergenggam ijazah SMU, lantaran tak sanggup berkuliah, tak ubahnya orang kelojotan menjelang sirna?

Bahkan, jauh sebelum ”bayi” Indonesia lahir tahun 1945, jauh sebelum
kita sebagai bangsa matang, nenek moyang kita sudah mengajar, orang baru sah disebut hidup jika sudah mampu mengaktualisasi diri dalam kerja. Pandangan Nusantara ini seiring pandangan di Eropa bahwa manusia itu Homo faber (manusia tukang, manusia pekerja). Tanpa aktualisasi itu, manusia disebut mati sakjroning urip (ada ya ada, tetapi sejatinya telah tiada). Lebih-lebih kesadaran seperti itu sudah ditanamkan sejak kanak-kanak di berbagai suku dan pelosok antara lain melalui tembang dolanan. Misalnya... Pak Jenthit Lololobah, wong mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip goleko duwit.... Intinya, nenek moyang kita sudah mencangkokkan wacana sejak usia dini bahwa kalau kelak kalian ingin disebut hidup, ya bekerjalah. Padahal, tanpa kasus khusus, misalnya mengandung bakat luar biasa, lapangan kerja macam apa yang kini bisa digapai lulusan SMU untuk hidup layak karena mereka termehek-mehek akan biaya melanjutkan belajar ke pendidikan tinggi?

*”Bom” yang lain*

”Bom” lain yang penulis maksud terjadi sehari-hari adalah suatu sistem yang mengakibatkan modal-modal besar dan asing bisa menyusup dan merangsek sampai perkampungan untuk membuka perdagangan eceran. ”Korban-korban”-nya yang seakan telah meninggal maupun luka bakar dan luka ringan adalah seluruh manusia yang mestinya bisa hidup (layak) jika pasar-pasar tradisional beserta seluruh jaringan distribusinya tidak remuk redam akibat ”bom” itu.

Suatu sistem yang mengakibatkan kesenian tradisional nyaris mati diikuti
megap-megapnya hampir sebagian besar pelaku seni tradisional juga termasuk ”bom-bom” lain. Bagaimana mungkin media massa seperti televisi diberi kebebasan mengikuti mekanisme pasar. Pasti semua berlomba-lomba mengejar rating acara dan itu sah. Tanpa campur tangan government alias pamong praja (maaf penulis sejak dulu kurang sreg dengan konsep kata ”pemerintah” alias pangreh praja) agar tiap stasiun televisi menyiarkan minimal sekian persen tayangan tradisional, tak mungkin televisi swasta rela menyiarkan program tradisional.

Belum lagi sistem yang mengakibatkan para petani garam, petani padi,
nelayan, dan lain-lain sempoyongan. Semua itu adalah wujud lain dari bom yang meledak di Mega Kuningan. Sama halnya dengan Rahwana, simbol angkara murka yang berkepala sepuluh alias dasamuka, bom Mega Kuningan cuma wajah lain dari keangkaramurkaan yang tunggal dan padu. Wajah-wajah lain Rahwana adalah sistem-sistem yang telah penulis singgung. Dan seperti wajah-wajah Rahwana yang bisa bermetamorfosa sekehendak hati si empunya angkara, tak seluruh wajah itu tampak mengerikan. Kadang wajah itu mengambil bentuk nun jauh bertolak belakang dari kesan beringas.

*Norma tradisional kematian*

Jika kita lebih teliti, lebih awas, lebih sejenak tak tertipu oleh indra penglihatan yang gampang bias dan fana, mengulur-ulur manusia tetap hidup secara fisik tetapi sejatinya sudah membunuh perlahan-lahan martabatnya selaku manusia bukankah jauh lebih tega dan kurang sopan dibandingkan dengan membunuh manusia seketika secara fisik melalui bom fisik?

Lagi pula, ajakan untuk tak sekadar memaknai kematian secara fisik
bukanlah mengada-ada. Sebenarnya sudah sejak lama dunia menyelenggarakan imbauan itu. Orang yang tak dihiraukan apalagi sudah dicabut namanya, meski masih hidup, sebenarnya sudah mati. Lihat tradisi beberapa suku di Indian maupun Papua. Seseorang tak perlu dihukum mati secara fisik oleh kepala suku. Sang ketua cuma mewajibkan warganya tidak menghiraukan dan tidak menyapanya. Jika perlu, cabut namanya sehingga tiap saat warga cuma menyerunya ”hoiii!!”. Lama-lama tokoh ini nglokro lalu akan benar-benar mati secara fisik.

Kini bandingkan, adakah beda yang amat prinsip antara orang yang tak
dihiraukan itu, lebih-lebih yang telah dicabut namanya sehingga cuma menjadi nomor dalam cacah jiwa kependudukan zaman dulu, dan penganggur, petani, nelayan, serta mantan orang-orang pasar tradisional saat ini?

Kamis, 06 Agustus 2009

Kyai dan tiga orang santrinya

(Fenomena Cahaya)

Tersebutlah disuatu masa, sebuah pondok pesantren yang cukup termasyur dinegara khayalan akan mengadakan suksesi pemimpin pondok. Pergantian pemimpin pondok itu, melalui sebuah sayembara. Sang Kyai Sepuh, pemimpin pondok memanggil tiga orang santri yang cukup mewakili teman-temannya. Mereka bertiga terkenal alim, fashih bicara, dan cerdas. Singkat cerita, Kyai Sepuh mempersiapkan sebuah gudang. Kyai Sepuh berkata kepada ketiga santri terpilih: "Nih. ..saya sudah menyiapkan sebuah gudang. Untuk bisa saya angkat salah satu dari kalian sebagai pengganti aku, maka kalian harus bisa mengisi gudang itu sampai penuh".

Seorang santri bertanya: "Boleh diisi apa saja Ki?". "Tentu boleh", jawab Kyai. Maka mulailah mereka secara bergilir, mengerjakan tugas tersebut.
Santri pertama mendapat giliran awal. Dia membersihkan gudang sampai bersih. Mulai dari disapu sampai dipel. Terakhir dia isi gudang kosong itu dengan semua benda-benda yang ada disekitarnya. Rumah, mobil, pabrik, pasar, meja, kursi, dokar, bus, kereta api dll. Sampai "penuh". Setelah selesai dia melaporkan pekerjaanya pada Sang Kyai Sepuh. "Ki..., sudah aku selesaikan tugasnya dengan baik", ujarnya. Sang Kyai segera melihat hasil kerja santri pertama, kemudian berkata:"Kamu sudah yakin gudang itu penuh ?". "Ya iya..lah, massa ya iya dong!", katanya mantap. "Lah itu dibawah kolong meja, dalam mobil, di dalam bus, masih banyak ruang kosong !"."Jadi kamu gagal !", Jawab Kyai Sepuh tak kalah mantapnya. Dengan perasaan malu karena mengisi gudang dengan benda-benda dia mundur.

Santri kedua mendapatkan gilirannya. Dia berpikir, "Wah kakak seniorku, mengisi gudang dengan benda-benda yang kelihatan penuh, ternyata salah". "Eureka! aku pasti bisa!". Dengan mantapnya, santri kedua mengeluarkan semua benda-benda itu. Dilelangnya satu persatu. Setelah semua terjual, uangnya dia tukar dengan uang kertas ratusan ribu rupiah. Kemudian ia tata uang itu dengan tertib dan teliti sampai "penuh". Setelah dirasa yakin benar, dia melaporkan hasil kerjanya pada Kyai Sepuh. "Kangjeng Kyai, saya sudah menyelesaikan tugas dengan tepat!". Sang Kyai pun segera investigasi hasil kerja santrinya itu. "Apa kamu sudah mantap, mengisi gudang dengan penuh?". "Ya iya...lah, massa ya iya dong!. Tuh kan lihat sendiri, gudang itu aku isi dan tata dengan uang. Sampai penuh, gak bisa diselipkan lagi", tangkisnya. "Nah aku mau tanya, kamu bilang mengisi dengan apa?", tanya Kyai. Santri menjawab:"Dengan uang Kyai". "Mana uang ?", tanya Kyai lagi. "Itukan kertas! bukan uang! Uang itu kalau dibelanjakan tahu....!!". "Kamu tertipu oleh alat buatanmu sendiri !". "Kamu GAGAL !". Kyai kelihatan amat marah (Amat aja ga marah ye...). Sudah dua orang santri senior gagal semua. Tak mampu menangkap isi kitab-kitab sakti yang diajarkannya.

Giliran terakhir, santri ketiga. Dia merenung, "Kakak pertama gagal karena mengisi gudang dengan benda-benda, dan itu masih ada ruang kosong. Kakak kedua gagal karena mengisi gudang dengan uang, dia terjebak rasionalisasi bikinannya sendiri. Ya Tuhan, berikanlah hamba petunjuk !". Setelah merenung beberapa saat, mulailah dia bekerja. Langkah awal seperti kakak kedua, ia keluarkan seluruh simpanan uang yang ada di gudang itu. Kemudian diberikan pada yang membutuhkannya. Ia hanya menyisakan sedikit untuk membeli lampu kecil. Dengan yakin, ia bersihkan gudang itu dari disapu kembali sampai dipel. Terakhir ia nyalakan sebuah lampu kecil tepat di tengah ruangan gudang itu. Tampaklah cahaya menerangi hampir seisi ruangan yang kelihatan kosong. "Nah ini yang dimaksud Kyai Sepuh", katanya dalam hati. Segera ia melaporkan hasil kerjanya dengan harap-harap cemas. Masa dari tiga orang santri terpilih gagal semua. "Kangjeng Kyai, mudah-mudahan kali ini saya tidak salah", lapornya pada sang Kyai. "Loh engkau isi apa gudang itu, kok ga ada apa-apanya ?", tanya Kyai. Santri ketiga menjawab dengan tenang,"Benar Kyai, gudang itu kosong dari benda-benda dan rasionalitas, tapi penuh dengan cahaya". "Bukankah cahaya mampu menerobos hampir seisi ruangan ?".

Akhirnya Sang Kyai Sepuh mengangguk tanda setuju. Dia berkata: "Nah itulah yang aku maksudkan. Isilah gudang yang kamu miliki satu-satunya dengan CAHAYA TUHAN. Bukan dengan benda-benda dan yang lain-lain."

TAMAT
(Diolah dari ceramah Sang Kyai)
moga ada hikmahnya... .

Tips Sukses (1) :"Seperti Semut"

Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya bagi kamu pada kehidupan hewan itu ada pelajaran buat kamu ” (QS.Surah 6).

Dalam hal pandai bersyukur dan tekun bekerja serta ulet, kita dapat meniru semut. Allah SWT sengaja menurunkan satu surah mengenai semut, yaitu An Naml, surah ke 27 sebanyak 93 ayat.

Ketika Nabi Sulaiman AS sedang berjalan, beliau melihat seekor semut sedang membawa sebutir kurma yang besar dan beratnya jauh melebihi tubuh semut itu. Lalu Nabi yang mengerti bahasa binatang itu bertanya : “Untuk apa kurma yang kau bawa itu?”. “Ini adalah kurma yang Allah SWT. Berikan kepadaku sebagai makanan selama satu tahun”, jawab sang semut. Mendengar penuturan semut ini, Nabi Allah Sulaiman segera kembali ke istana dan mengambil sebuah kurma yang lebih besar serta sebuah botol. Setelah kurma itu dibelahnya menjadi dua bagian, kemudian ia berkata : “Wahai semut, silahkan masuk ke dalam botol ini, aku telah membagi dua kurma ini dan aku berikan separuhnya kepadamu sebagai makananmu selama satu tahun. Tahun depan aku akan datang lagi untuk melihat keadaanmu.”

Setahun kemudian, Nabi Sulaiman kembali melihat si semut. Beliau tersenyum, saat melihat kurma yang diberikannya itu tidak banyak berkurang. Dengan bijak ia bertanya : “Wahai semut, mengapa engkau tidak menghabiskan kurma itu ?”. Semut menjawab : “Selama ini aku hanya menghisap airnya dan aku banyak berpuasa. Selama ini Allah SWT yang memberikan kepada ku sebutir kurma tiap tahunnya, akan tetapi kali ini engkau memberiku separuh buah kurma. Aku khawatir tahun depan engkau tidak memberiku kurma lagi karena engkau bukan Allah pemberi rezeki.”

Mendengar ungkapan semut itu, Nabi Sulaiman AS tersenyum dan berkata : “Engkau hai semut, selain mahkluk yang giat bekerja dan taat juga pandai bersyukur atas rezeki yang engkau dapat dari Allah dan pula engkau sangat yakin bahwa Allah akan menjamin rezekimu.”

Menurut Prof. Dr.Harun Yahya, ada tiga Profesor di Amerika Serikat yang sudah puluhan tahun menyelidiki kehidupan semut, namun tidak tuntas-tuntas, saking penuh keajaibannya. Diantara kesuksesan semut, ujar Dr.’Aidh Abdullah Al Qarny dalam bukunya DEMI MASA, ialah karena makhluk ini tekun dan rajin bekerja keras. Semut senantiasa mengulangi usahanya berkali-kali hingga sampai pada tujuannya. Salah satu contoh. Mereka bergelayutan di atas pohon lantas jatuh kemudian mengulangi lagi usahanya untuk naik dan jatuh lagi, begitu seterusnya hingga akhirnya dia berhasil naik ke atas pohon dan memperoleh apa yang mereka kehendaki.

Dalam sebuah riwayat disebutkan ada seorang Arab Dusun sedang berpergian untuk mencari nafkah. Karena merasa lelah, dia duduk sambil memikirkan cara kembali dari perjalanannya. Kemudian dia melihat seekor semut sedang berusaha naik ke atas sebongkah batu. Semut itu terjatuh kemudian berusaha naik lagi dan terjatuh lagi hingga berkali-kali kemudian naik lagi, hingga akhirnya berhasil juga naik di atas batu. Sambil tersenyum si Arab Dusun itu berkata : “Aku lebih layak untuk bisa bersabar dan bersikap tegar dari pada semut itu.” Lantas dia melanjutkan perjalannya dan pada akhirnya ia dapat mencapai tempat yang dituju.

As Qalani, karena tidak mampu mengikuti pelajaran di “Sekolah Dasar”, maka oleh Dewan Guru, terpaksa dikeluarkan dari sekolah. Satu waktu ketika ia berjalan di tepi pantai, ia melihat ada seekor semut yang menaiki sebatang lidi. Sebelum sampai ke ujungnya, semut itu jatuh. Kemudian naik lagi, dan lagi-lagi jatuh. Perbuatan itu ia lakukan berulang-ulang tanpa jemu, sampai akhirnya si Semut itu berhasil juga mencapai ujung lidi itu. Kemudian dalam perjalanan pulang, ketika As Qalani Mengaso di pinggir sebuah bukit, ia melihat titikan air yang terus menetes ke atas batu, sehingga membuat permukaannya menjadi cekung. Maka dengan tersenyum dia segera pulang dan menemui gurunya serta menceritakan dua peristiwa yang ia saksikan itu. Pendek cerita, Dewan Guru memberi kesempatan kepada As Qalani untuk mengikuti pelajaran. Ternyata dua peristiwa itu memotivasi semangat belajarnya membaja. Apa yang terjadi kemudian ?. Sejarah mencatat, As Qalani yang tadinya diremehkan itu, bisa menjadi salah seorang ulama besar yang disegani, dan telah menulis berbagai kitab tebal-tebal, yang namanya dikenal dengan panggilan Ibnu Hajar As Qalani.

Jika seekor semut menemukan sepotong makanan yang tidak dapat dibawa sendiri, maka ia memberi tahu teman-temannya untuk membawa makanan itu ke satu tempat. Disitu mereka cicipi bersama. Selain itu semut menghimpun persediaan makanan yang mencukupinya dari musim panas hingga musim dingin atau dari musim kemarau hingga musim penghujan. Karena dia tidak banyak keluar pada musim dingin atau penghujan, maka dia menyimpan makanan musim dingin atau penghujan dan tidak memakannya kecuali pada waktunya. Di samping itu dia khawatir bila biji-bijian yang disimpannya itu akan tumbuh, sehingga dia memecahkan biji-bijian itu dari bagian tengahnya agar tidak tumbuh.

Ketegaran dan keteguhan semut yang tidak mengenal putus asa itu mengandung pelajaran bagi orang yang menginginkan kesuksesan

Wallahualam...
Ttd FAY

Therapy; Trauma, Phobia & Limiting Belief

Assalamu'alaikum wr.wb
Apa itu Trauma ?

Banyak orang menyebut dirinya mengalami trauma. Setelah mengalami kecelakaan jadi tidak berani lagi menyetir karena trauma. Atau putus cinta, lalu trauma dan tidak berani menjalin hubungan serius lagi. Sebenarnya apa arti trauma?
Secara sederhana trauma bermakna luka atau kekagetan (shock). Dalam artian psikologis trauma mengacu pada pengalaman-pengalaman emosional yang mengejutkan, menyakitkan dan membawa dampak serius, tidak jarang untuk jangka waktu lama.

Sejauh mana orang dapat hidup normal kembali setelah trauma? Apakah trauma bisa disembuhkan (dihilangkan) ?

Beda Takut dengan Fobia

Merasa takut adalah hal yang alami. Ketakutan itu muncul ketika kita berhadapan dengan hal yang mengancam keselamatan dan hidup kita, seperti binatang buas, senjata tajam atau arus lalu lintas yang sangat ramai. Rasa takut memang dibutuhkan karena membuat kita tetap waspada dan siap bertindak untuk menghindar dari bahaya.

‘Fobia adalah ketakutan yang luar biasa dan tanpa alasan terhadap sebuah obyek atau situasi yang tidak masuk akal,” kata Dr Nicholas Keks, profesor Departemen Peskiatri di Monash University, Australia, yang mengambil spesialis penanganan fobia.

“Fobia sebetulya adalah salah satu bentuk gangguan jiwa ringan. Saat berhadapan dengan situsi atau obyek yang mengganggu keyamananya, penderita fobia bisa gemetar, berkeringat dingin, jantungya berdebar keras, terkena serangan panik, bahkan mungkin sampai jatuh pingsan.”
( Dr H.Tubagus Erwin Kusuma,SpKJ (K) psikiater dari Pro V clinic jakarta)

Apakah Fobia bisa disembuhkan ?

Apa itu Limiting Belief

Belief adalah seuatu yang anda percaya dan anggap Benar. Sementara Limiting belief sesuatu yang kta rasakan saat ada penolakan atau hambatan untuk mencapai suatu target yang anda inginkan. Penolakan ini juga timbul saat kita ingin berubah. Biasa juga disebut dengan (Mental block)

Contoh keyakinan yang menghambat ;

Saya tidak bisa menjadi penulis buku karena saya bukan lulusan perguruan tinggi

Saya ingin berwiraswasta tapi tidak bisa karena saya sudah terlalu tua.

Apakah Limiting Belief bisa dirubah (Ganti) ?

Note; Trauma,Phobia dan Limiting belief bukanlah sesuatu hal yang negative atau buruk. Namun apakah menjadi efektif atau tidak efektif sangat tergantung pada KONTEKS nya…..

RAHMADSYAH, C.MNLP
Motivator & Trauma Therapist
081511448147
YM;rahmad_aceh
www.rahmadsyah.co.cc


Negara Ikut Lahirkan Terorisme


Oleh: Toto Suparto*)

PELEDAKAN bom di Mega Kuningan, Jakarta, belum lama ini melahirkan opini publik bahwa pelakunya adalah kelompok fanatik agama tertentu. Opini ini dibangun secara sistematis sehingga muncul kesan hanya orang-orang fanatik yang rela menjadi martir bom bunuh diri. Pelaku dianggap lebih memburu surgawi ketimbang duniawi. Janji surga menggerakkan pelaku untuk menerima tantangan mematikan.

Kalau mau memperhatikan secara lebih jernih akar teror itu, akan tampak bahwa bukan melulu janji surga yang menggerakkan para teroris. Bukan pula hanya soal ideologi. Tetap saja ada pengukur materi. Filsafat teror melihat terorisme di sini mengandung ekspresi kaum marginal terhadap kemapanan, entah itu kemapanan yang dinikmati elite politis maupun birokrat. Yang paling mencolok adalah ekspresi ketidaksetaraan antarbelahan dunia yang ditunjukkan oleh ketimpangan ekonomi.

Terorisme Global

Kita mulai dulu dari skala luas. Dalam tatanan dunia, terorisme tumbuh akibat ketimpangan belahan dunia. Entah itu di Bali atau di Mega Kuningan, sasaran teror adalah simbol-simbol Barat. Kapitalisme Barat sangat nyata mengalir ke negeri ini dan celakanya malah memperlebar ketimpangan. Karena itu, Barat menjadi metafor keserakahan yang harus dihentikan. Inilah yang acap disebut terorisme global.

Terorisme global adalah menebar ketakutan kepada dunia atas penolakan ketimpangan globalisasi. Secara eksplisit para teroris itu ingin menunjukkan penolakan terhadap jenis modernitas dan sekularisasi. Simbol modernitas dan sekularisasi adalah Barat.

Teroris itu menyerang akses Barat di Indonesia, sebagai wujud perlawanan terhadap kecongkakan globalisasi. Sudah lama diingatkan oleh para pemikir sosial bahwa globalisasi telah membagi masyarakat dunia ke dalam kelompok-kelompok pemenang, penerima keuntungan, dan para pecundang. Terorisme global adalah perlawanan para pecundang terhadap pemenang.

Para pecundang punya dalih bahwa globalisasi merupakan "pencabutan cara-cara hidup tradisional dengan jalan kekerasan". Si pencabut itu justru Barat lewat modernisasi. Mereka yang kalah lebih rapuh terhadap modernisasi yang kejam, yang justru dibawa oleh pasar global dan celakanya, didominasi oleh sejumlah kecil korporasi internasional.

Kalau kita pinjam pandangan filsuf Jurgen Habermas, terorisme merupakan efek trauma modernisasi yang telah menyebar ke seantero dunia dengan suatu kecepatan patologis. Sementara Jacques Derrida melihat terorisme sebagai suatu gejala elemen traumatis yang intrinsik terhadap pengalaman modern. Fokusnya selalu pada hari depan yang acapkali dipahami sebagai janji, harapan, dan penegasan diri. Karena itu, momok terorisme global menghantui cita rasa kita akan masa depan karena ia membunuh harapan.

Marginalitas Terorisme

Bicara soal harapan, kita akan berhadapan dengan fakta bahwa banyak anggota masyarakat hidup tanpa harapan. Ketika berharap untuk menumbuhkan keluarga sehat, mereka berhadapan dengan adagium kapitalisme "sehat itu mahal". Karena itu, senantiasa dipelesetkan, "Orang miskin jangan sakit". Begitupun manakala berkeinginan menyekolahkan anaknya, mereka terbentur sebuah fakta semu dari "sekolah gratis". Kenyataannya sekolah masih saja membutuhkan biaya tinggi.

Ketimbang berpengharapan tanpa terwujudkan, masyarakat pun memilih hidup tanpa harapan. Orang hidup tanpa harapan sesungguhnya ketiadaan akses. Mereka yang punya akses lebih mudah mewujudkan segala harapan tersebut. Inilah kondisi mengkhawatirkan, yakni ketika ada orang tanpa harapan dan orang berpengharapan dan ini acap dinamakan ketimpangan.

Di mana pun kita duduk, apakah itu di birokrasi atau kancah politik, tetap harus menjaga agar tidak terlalu njomplang ketidaksetaraan. Memang sebuah konsekuensi, ada yang tersisih dalam sebuah proses mewujudkan itu. Namun, kalau membiarkan kian banyak yang tersisih, sama artinya menyimpan bom waktu yang suatu saat meledak dahsyat.

Tanggung Jawab Negara

Agar bom waktu tidak meledak, negara punya peran. Hakikatnya, kesenjangan dan ketidaksetaraan bisa ditekan jika negara secara maksimal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ketimpangan global bisa pula dimanipulasi bila negara bisa memfilter kapitalisme Barat. Namun, apa lacur, negara lebih berfungsi bagi segelintir orang ketimbang rakyat kebanyakan. Akibatnya, ekspresi kesenjangan, ketidaksetaraan maupun ketimpangan global itu terus terjadi. Bentuk ekspresi yang paling nyata adalah terorisme. Ini berarti tatkala negara membiarkan kesenjangan maupun ketimpangan, sama artinya ikut melahirkan terorisme.

Jadi, sekali lagi, teror tidak sekadar berkedok agama. Masih sangat memungkinkan teror disebabkan oleh warna ekonomi dan budaya. Wajar jika senantiasa diingatkan oleh para pengamat, tak selayaknya buru-buru melihat agama demi memberangus terorisme. Pada dasarnya agama sekadar penguatan sekaligus percepatan. Cukup memakai dalil agama, seorang penggerak akan mudah merekrut operator lapangan. Janji-janji surga memudahkan untuk membangun jaringan ketimbang janji-janji materiil.

Namun, sesungguhnya upaya menekan terorisme adalah bagaimana negara bisa menjalankan fungsinya bagi masyarakat. Jika negara secara sungguh-sungguh mau menyejahterakan rakyatnya, pelan-pelan terorisme bisa ditekan. Inilah pekerjaan besar bagi aparat negara, terutama para pemimpin baru di negeri ini. (*)

*). Toto Suparto, peneliti di Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab) Jogjakarta.

Pekerjaan yang baek

Jam tujuh pagi. Seorang guru, datang ke sekolah dengan dasi atau blazer bergaris tegas, bersepatu pantofel, menenteng setumpuk buku. Bersamaan dengan itu, seorang ibu kantin, berkaus, sandal jepit, menenteng kardus snack dan termos air. Manakah pekerjaan yang lebih baik?

Jam sembilan pagi. Seorang pegawai, datang ke kantor, rapi wangi, duduk di depan komputer sambil merasakan hembusan AC dingin di kulit. Di waktu yang sama, seorang montir, mendorong rolling door bengkelnya, membereskan alat yang segera membuat tangan bernoda hitam, bersiap menanti pelanggan. Manakah pekerjaan yang lebih baik?

Pertanyaan ini muncul karena saya teringat anak-anak didik saya yang telah lulus. Saya bertemu dengannya di sebuah pusat perdagangan dan ia mundur sambil menunduk, malu dengan pekerjaannya sebagai trolleyboy. Saya bertemu dengan yang lainnya di tepi jalan, dan ia menghindar karena masih juga menganggur. Saya bertemu dengan yang lainnya lagi, dan ia sibuk mencari nama lain untuk menyamarkan pekerjaannya sebagai waitress.

Kenapa demikian? Perkiraan saya, adalah karena adanya pandangan tentang sesuatu yang disebut ‘pekerjaan yang sesungguhnya’ .

Saya juga mengerti sulitnya mencari pekerjaan yang dianggap layak bagi lulusan SMA. Ditambah lagi, mereka biasanya belum menemukan hal yang menjadi minat mereka, dan tidak terbiasa melihat alternatif lain selain menjadi pegawai.

Tapi, apakah pekerjaan yang baik itu? Apakah yang berhadapan dengan komputer? Berkantor di gedung bertingkat? Berpakaian fashionable? Saya kira kita sepakat bahwa tidak demikian. Pekerjaan yang baik dalah pekerjaan yang bernilai ibadah, tapi juga haruslah pekerjaan yang kita sukai, yang memenuhi kebutuhan rohani kita, yang membuat kita bahagia ketika mengerjakannya.

Dan saya teringat novel Sang Pemimpi.

Ikal, tokoh utama novel ini, bekerja sebagai juru sortir di kantor pos. Selain senang dengan baju seragamnnya, ia menemukan kebahagiaan ketika bisa membantu orang yang kesulitan mencairkan wesel. “Maka dengan sebuah cap karet berukiran nama dan nomor induk pegawaiku, aku memberi otorisasi di belakang wesel itu: DIKENAL PRIBADI. Bangga minta ampun aku dengan privilege sebagai pegawai pos itu, selain senang dapat memberi bantuan kecil untuk rekan sekampung.”

Ada lagi, film Janji Joni.

Joni adalah pengantar film, dan dia dengan tegas berkata dia bahagia dengan pekerjaannya. “Pekerjaan menyampaikan sesuatu adalah pekerjaan mulia. Bahkan itulah ini tugas para nabi.”

Inilah yang saya impikan dari para lulusan di sekolah saya. Menemukan pekerjaan yang mereka sukai. Tidak harus berpakaian licin dan berjalan di atas ubin mengilap. Bisa saja berpeluh, bercoreng cat, berkotor-kotor, asal membuat hati bahagia. Lagipula, pada banyak kasus, pekerjaan seperti penjual sate ayam, kadang berpenghasilan sama, atau bahkan lebih, daripada pegawai bank.

Jadi, apa yang akan saya jawab bila anak-anak didik bertanya, “Jadi saya harus bagaimana?”

Tentu saja, jangan bosan bila saya mengatakan temukan minatmu, lalu bangun mimpi-mimpimu. Jangan biarkan pandanganmu tertipu dengan tampilan luar yang mentereng, karena hatimulah yang lebih penting.

Kalaupun akan lama hingga mimpi itu bisa terwujud, tak apa. Kerjakan apa yang ada, ambil kesempatan yang tersedia, walaupun sebagai cleaning service atau bahkan pembantu rumah tangga. Tapi jangan biarkan impianmu mati. Jangan. Walaupun jalannya akan berkelok-kelok, kadang terpaksa berhenti sejenak, tapi tetaplah mengarah ke sana, ke mimpimu.

Pengabdian penuh cinta dr. Lo Siaw Ging

Dokter Lo Siaw Ging, tak sudi berdagang Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.

Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.

Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.

Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan "biasa saja". Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.
Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, "Memangnya kamu sudah punya uang banyak?"
Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. "Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima," ucapnya.
Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. "Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa," katanya.

Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.

Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.

Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? "Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan."
Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.

Kerusuhan 1998
Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif "populer". Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.
"Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa, " ujarnya.
Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. "Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa," ujarnya.

Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.

Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.
"Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat," cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.
Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.
"Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?" ucapnya.

Anugerah
Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.

Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. "Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidakpasang tarif," kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.
Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.

Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. "Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana," ujarnya.
Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. "Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang," katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.

Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.
"Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?" ujar Lo.
Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah "cuti" praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, "Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan."

DATA DIRI

• Nama: Lo Siaw Ging
• Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934
• Istri: Maria Gan May Kwee (62)
• Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995
• Profesi: - Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo

Rabu, 05 Agustus 2009

Ngobrol dengan guru senior

(sebuah cerita)

Selama saya di Indonesia, saya beruntung sempat bertemu dengan seorang pensiunan guru sebuah sekolah negeri, yang dulunya mengajar sebuah SD di Bukit Tinggi. Usianya sudah 70-an tampaknya tapi tubuhnya masih sehat sekali. Saat ia mendengar bahwa saya sedang belajar ilmu pendidikan, ia dengan senang hati membagikan pengalaman hidupnya kepada saya ditambah petuah-petuahnya mengenai pendidikan.

Setamat SPG, ibu Nurjanah, nama sang guru, langsung mengajar di sebuah sekolah di Bukit Tinggi. Nasihat pertamanya kepada saya, "Kalau mau menjadi guru, coba bacalah buku-buku mengenai ilmu jiwa anak. Guru-guru sekarang banyak yang tidak paham tentang ilmu jiwa anak. Tidak tahu bagaimana caranya memisahkan anak di dalam kelas biar bisa belajar dengan baik."

Ibu Nurjanah sebenarnya sedang membicarakan mengenai diferensiasi dalam pendidikan, tetapi dalam bahasa yang lebih sederhana. Menurutnya, anak-anak yang nakal, baik, berprestasi maupun tidak membutuhkan perlakuan khusus, kadang hanya dengan menempatkan mereka di tempat duduk yang tepat di dalam kelas, kita bisa memaksimalkan proses pembelajaran agar berlangsung dengan baik.

Lalu ibu menasihati saya kembali, "Yang paling utama kalau menjadi guru adalah kasih sayang terlebih dulu. Kalau sudah kita berkasih sayang pada anak, apapun bisa kita masukan."

Katanya lagi, " Dulu ada seorang anak yang kerjanya melempar batu pada guru. Nakal kan katanya. Tapi ibu tanya kenapa kamu melempar batu? Katanya karena ibu gurunya memukulnya. Nah itu kalau guru kencing berdiri murid nanti kencing berlari."

"Kalau ada murid yang nakal, nah itu tugas guru, untuk membuatnya menjadi tidak nakal. Kalau bukan, bukan guru itu namanya! Nah makannya yang penting kasih sayang dulu, nanti kita bisa itu membuat murid-murid menjadi baik"

Ibu Nurjanah tampaknya dengan pengalamannya bertahun-tahun, telah mengajar murid dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang merupakan nasihat yang paling dia tekankan pada saya. Dan saya pun percaya kata-katanya. Ibu Nurjanah berani berbicara, karena ia juga telah membuktikan sendiri, bahwa kasih sayang berhasil melembutkan hati anak. Ibu Nurjanah seorang guru yang keras dan tegas sebenarnya, tapi ia tahu waktu, kapan harus tegas, kapan harus lembut. Tapi sikap apapun yang diambil, baik bersikap keras, tegas, dan lembut, semuanya dilakukan berdasarkan kasih sayang, sehingga murid-murid tidak sakit hati.

Muka Ibu Nurjanah akan berbinar-binar saat ia menceritakan mengenai keajaiban-keajaiban dalam hidupnya, misalnya saat ia bertemu dengan murid-muridnya yang sudah dewasa, ada yang menjadi dokter, ada yang bekerja di bandara. Dan kalau bertemu dengan Ibu Nurjanah, mereka masih ingat. Betapa bahagia dan bangga rasanya hati Ibu Nurjanah. "Padahal saya cuma guru kelas 1 SD, saya tanya kok mereka ingat sama saya." Lalu kata muridnya, "kalau tidak karena ibu, saya tidak bisa membaca. Ada juga murid yang pernah dijewernya yang berterima kasih pada Ibu Nurjanah, karena dia menjadi seperti sekarang. Keberuntungan sering berpihak pad Ibu Nurjanah, kalau ia bertemu dengan murid-muridnya dimanapun, seringkali murid-muridnya ingin membalas budi dengan cara yang sederhana, misalnya kalau muridnya ada yang bekerja di rumah sakit, ibu Nurjanah ditawari pengobatan gratis dan sebagainya.

Yang tak kalah mengagumkan adalah bagaimana Ibu Nurjanah bertahan menghadapi hidup. Tentu gaji seorang guru saja, saat itu pun tak mencukupi, untuk membiayai anak-anaknya sekolah sampai tinggi. Tapi semua anak-anaknya berhasil sekolah hingga tinggi, dan bahkan Ibu Nurjanah berhasil menyekolahkan anak-anak yang lain. Ternyata, setiap selesai mengajar, ia pergi ke sawah untuk bertani. Padi hasil bertani tersebut, menjadi sumber makanan bagi semua putra-putrinya. Hal ini dilakukannya setiap hari. Betapa kagumnya saya mendengarnya. Ibu Nurjanah, seorang guru yang berkarakter, ia pekerja keras, pantang menyerah, dan penuh kasih sayang. Saya selalu yakin untuk menghasilkan murid berkarakter, tentu perlu guru berkarakter, dan karakter sang guru tentu dibentuk dari pengalaman hidup. Ibu Nurjanah, pasti tanpa perlu bicara bisa mengajarkan mengenai ketekunan, kerja keras, bekerja dengan hati pada murid-muridnya, karena kesemua sikap tersebut merupakan bagian dari dirinya. Sungguh menginspirasi!

Ibu Nurjaha kini sudah pensiun. Ia bangun setiap subuh, lalu shalat menghadap sebuah jendela yang terbuka. Setiap pagi ia menyempatkan dirinya untuk melakukan senam-senam kecil seperti mencium lutut dan berbaring sambil mengangkat kaki, saya terkagum-kagum betapa fit dan lentur tubuhnya, untuk seorang yang sudah berumur 70-an. Ia masih memasak untuk keluarganya, lalu setiap hari selalu pergi berkebun, yang menurutnya merupakan caranya untuk melakukan olahraga agar tubuhnya tetap sehat. Ia masih kuat menyusuri tangga 40 di bukit tinggi untuk pergi mengaji setiap minggunya. Lalu di waktu luangnya ia selalu sempatkan diri membaca apa saja, mulai dari Al-Quran, koran, buku-buku mengenai apa saja. Ia menceritakan pada saya mengenai sebuah buku tebal judulnya "Dokter di Rumah" yang ia baca hingga pengetahuan-pengetahuannya tentang kesehatan bertambah. Baginya membaca adalah suatu kenikmatan, yang mungkin sewaktu mudanya saking sibuknya mengajar, bertani, dan mengurus keluarga, tak selalu sempat dilakukannya.

Ibu Nurjanah, bagi saya merupakan seorang yang sungguh memberikan inspirasi. Bahagia saya beruntung mendengarkan kisahnya, mendapatkan petuahnya, da mengenal pribadinya. :)

Semoga bermanfaat.

Ngambek diangkot ngetem?

Assalamu'alaikum wr.wb

Shahabat yang baik

Tadi sore ada pengalaman menarik, mungkin andapun juga pernah mengalami sebagaimana saya alami tadi. Bahkan mungkin tidak hanya pada konteks ini. yang terkadang memang benar-benar membuat kita jengkel. Saya ingin tahu bagaimana emosi dan perilaku anda jika mengalami hal itu? Sementara itu, angkot yang saya tumpangi gak jalan-jalan. padahal sudah 8 orang didalam. Ngetemnya minta ampun lamanya. saya lihat penumpang lain, mulai menunjukkan wajah-wajah kesel, kecewa. Saya pun terbawa emosi hampir ngambek.

Alhamdulillah, Mode Reframing on. Sesaat saya hampir ngambek tiba-tiba saja self talk muncul "Memangnya kalau kamu ngambek dan kesal, apakah akan menbuat angkot ini jalan ?" aha.... ya juga saya fikir. Mau saya ngambek atau tidak, jalannya angkot dikuasai oleh Kang Sopir. Bukankah ini pilihan yang saya ambil ? Kalau angkot tetap gak jalan, bukankah saya memiliki pilihan lain untuk turun dan ganti angkot? Jika saya tetap duduk, berarti ini keputusan dari pilihan, Dengan resiko kondisi angkotnya ngetem. Kalau memang ini pilihan, mengapa jadi kesal dan kecewa dengan pilihan sendiri ? Mendingan dinikmati aja, anggap aja istirahat dalam angkot..he.. he...

Syukur alhamdulillah, seketika perilaku dan state saya berubah. Ternyata angkot ngetem gak bikin ngambek kalau tahu caranya...

RAHMADSYAH, C.MNLP
Motivator & Trauma Therapist I
081511448147
I
YM;rahmad_aceh

www.rahmadsyah.co.cc

Barack Obama: Sesosok Pribadi yang Unik


“Banyak hal yang diwarisi Obama dari Ibu,” kata Maya Soetoro. “Ibu kami idealistis sekaligus praktis, senang cerita dan bercerita. Obama mampu merangkul banyak orang karena dia, seperti Ibu, menyukai cerita. Dia merangkai cerita demi cerita dan menemukan bahwa satu cerita mewarnai cerita lain. Dia mengangkat pengalaman hidup individu menjadi pengalaman hidup bersama rakyat Amerika dan dunia. Cerita-cerita itulah yang menginspirasi Obama.”

Kita dapat menemukan kata-kata Maya Soetoro, adik tiri Barack Obama, tersebut di atas dalam buku karya Stanley Ann Dunham, Pendekar-Pendekar Besi Nusantara: Kajian Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia (Mizan, 2008). Buku Ann ini diterjemahkan dari disertasinya. Dan kata-kata itu, tepatnya, berasal dari Teguh Santosa, teman Maya Soetoro, yang pernah berkuliah di Universitas Hawaii yang di universitas inilah Ann Dunham pernah berkuliah pula.

Teguh Santosa memberikan pengantar-menarik dalam buku Ann Dunham edisi Indonesia tersebut. Teguh Santosa pulalah yang membantu Penerbit Mizan sehingga disertasi Ann Dunham dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Untuk mempersiapkan buku ini,” tulis Teguh dalam pengantarnya, “penulis berdiskusi secara intensif dengan adik tiri Obama, Maya Soetoro-Ng, dan Profesor Alice Dewey dari Jurusan Antropologi UHM yang menjadi ketua komite disertasi Ann Dunham.”

Dari diskusi tersebut, akhirnya Teguh memeroleh sebuah kesimpulan menarik tentang hubungan sang ibu, Ann Dunham, dengan sang anak, Obama. “Penulis sependapat dengan Maya dan Prof. Dewey bahwa buku ini juga dapat memberikan gambaran mengenai hubungan segitiga antara Obama, Ann Dunham, dan pemahaman akan multikulturalisme yang sangat dibutuhkan oleh pemimpin Amerika.”

Ann, lanjut Teguh, bukan sekadar perempuan yang melahirkan dan membesarkan Obama. Lebih dari itu, Ann adalah teman diskusi yang turut membentuk pemahaman Obama mengenai realitas dunia di luar Amerika Serikat. Membuat Obama mengerti dan menyadari bahwa berbagai perbedaan yang ada di muka bumi ini—sesuatu yang fitrah dan given—mestilah dijembatani dengan dialog, bukan dengan mesin perang.

Dalam sebuah tayangan video yang mengawali peluncuran buku Obama di Jakarta, apa yang dikatakan oleh Teguh itu tampaknya diakui oleh Obama sendiri. Obama mengatakan tentang ibunya, Ann, sebagai berikut, “Ibuku membangunkan aku pukul 4.30 pagi dan kami bersiap-siap pergi ke sekolah. Dan aku sering mengeluh dan menggerutu. Anda bisa membayangkan, anak usia 6 atau 7 tahun dan harus bangun pukul 4.30 pagi.”

Obama menyadari sekali peran sang ibu terhadap dirinya. “Kalau aku menggerutu,” lanjut Obama, “ibuku akan berkata bahwa ini bukan piknik buatku, bukan juga sebuah tur.” Lantas, Obama juga masih ingat ketika ibunya mengajarkan tentang bagaimana bersikap. Simak apa yang dikatakan Obama berikut ini, “Sekali-kalinya aku melihat ibuku benar-benar marah adalah ketika dia melihat kekejaman, ketika melihat seseorang diganggu, atau seseorang diperlakukan berbeda karena keadaan mereka.”

Dengan bahasa yang seakan-akan menunjukkan bahwa Obama ingin terus mengenang ibunya, Obama melanjutkan, “Dan kalau dia melihatku melakukan hal itu, dia akan sangat marah. Dia akan berkata kepadaku, ‘Bayangkan kalau kamu berada dalam posisi orang itu. Apa yang akan kamu rasakan?’ Pemikiran sederhana itu yang aku tak yakin aku memahaminya sewaktu kecil dulu kini benar-benar menancap di dalam kepalaku.”

Sang pembentuk karakter Obama

Pada diri kedua putri saya,” demikian tutur Barack Obama, “setiap hari saya melihat keceriaan Ibu, kemampuannya mengagumi hal-hal. Saya tidak akan menggambarkan lebih jauh betapa dalamnya dukacita saya sepeninggal Ibu. Saya tahu bahwa dia adalah jiwa yang teramat baik dan murah hati yang pernah saya kenal, dan bahwa saya berutang padanya atas hal-hal terbaik yang ada di dalam diri saya.”

Tuturan Obama tersebut dapat kita baca di edisi kedua Dreams from My Father yang duterbitkan lagi pada 2004—edisi pertama terbit pada 1995—dan edisi Indonesianya diterbitkan pada 2009 oleh Penerbit Mizan. Dreams from My Father adalah satu-satunya buku yang ditulis Obama sendiri yang menuturkan secara lengkap masa-masa awal kehidupannya. Buku karya Obama ini meraih “British Book Award for Best Biography 2009” dan Joe Klein, kolumnis majalah Time, menyebutnya sebagai “salah satu memoar terbaik yang pernah ditulis politikus Amerika”.

Pak Efendi, guru-SD Barack Obama

Pada Jumat, 26 Juni 2009, malam sekitar pukur 20.00 WIB, di Graha Nandika-Graha Sucofindo, Jakarta Selatan, buku karya Barack Obama, Dreams from My Father, itu diluncurkan dengan meriah dan penuh haru. Bapak Abdillah Toha, Presiden Komisaris Kelompok Mizan, didampingi Ibu Lisa Trisulo, istri dari adik Lolo Soetoro—ayah kedua Barack Obama—berkesempatan membuka selubung yang menutupi sampul buku Dreams from My Father sebagai tanda secara resmi buku Barack Obama edisi Indonesia diluncurkan ke masyarakat luas.

Tampak para tamu undangan ikut menyaksikan peluncuran buku Obama tersebut. Di antaranya, Stanley Harsha, Mike Anderson yang mewakili Kedutaan Besar Amerika Serikat, Dr. Gisela Webb, Pak Efendi yang pernah mengajar Obama ketika Obama bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Menteng, Teguh Santosa yang mengenal secara baik Maya Soetoro (adik tiri Obama), Ikhwanul Kiram, dan Julia Suryakusuma. Beberapa tamu undangan berkesempatan memberikan kesan-kesannya atas kehidupan Barry—nama kecil Barack Obama—dan ibu Obama, Ann Dunham.


Julia Suryakusuma, sahabat Ann Dunham
Pak Efendi, misalnya, mengisahkan tentang kenangannya ketika mengajar Barry. Menurut Pak Efendi, karena tubuhnya yang besar, Barry tampak menonjol. Barry suka bergaul dan termasuk sosok yang pemberani. Suatu ketika, demikian kisah Pak Efendi, di kelas Barry diajarkanlah lagu “Syukur” oleh sang guru, Pak Efendi. Setelah lagu itu cukup dikuasai oleh anak didik Pak Efendi, Pak Efendi pun menantang para murid untuk maju di depan kelas agar mencoba menyanyikannya. Tidak dinyana, Barry mengangkat tangan dan menyanyilah Barry di depan kelas dengan suara dan nada yang tidak karuan.


Yang cukup membuat keharuan tumpah tak terbentung di acara peluncuran tersebut adalah kisah yang disampaikan oleh Julia Suryakusuma tentang ibunda Obama, Ann Dunham. Julia adalah sahabat Ann ketika Ann berada di Indonesia. “Bayangkan,” kata Julia, “suatu ketika Ann menyampaikan penyesalannya kepada saya bahwa dia gagal mendidik anaknya, Barry. Padahal yang disesali Ann itu hanyalah kegagalannya dalam mendidik Barry untuk membersihkan giginya dengan tali.”