Rabu, 05 Agustus 2009

Barack Obama: Sesosok Pribadi yang Unik


“Banyak hal yang diwarisi Obama dari Ibu,” kata Maya Soetoro. “Ibu kami idealistis sekaligus praktis, senang cerita dan bercerita. Obama mampu merangkul banyak orang karena dia, seperti Ibu, menyukai cerita. Dia merangkai cerita demi cerita dan menemukan bahwa satu cerita mewarnai cerita lain. Dia mengangkat pengalaman hidup individu menjadi pengalaman hidup bersama rakyat Amerika dan dunia. Cerita-cerita itulah yang menginspirasi Obama.”

Kita dapat menemukan kata-kata Maya Soetoro, adik tiri Barack Obama, tersebut di atas dalam buku karya Stanley Ann Dunham, Pendekar-Pendekar Besi Nusantara: Kajian Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia (Mizan, 2008). Buku Ann ini diterjemahkan dari disertasinya. Dan kata-kata itu, tepatnya, berasal dari Teguh Santosa, teman Maya Soetoro, yang pernah berkuliah di Universitas Hawaii yang di universitas inilah Ann Dunham pernah berkuliah pula.

Teguh Santosa memberikan pengantar-menarik dalam buku Ann Dunham edisi Indonesia tersebut. Teguh Santosa pulalah yang membantu Penerbit Mizan sehingga disertasi Ann Dunham dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Untuk mempersiapkan buku ini,” tulis Teguh dalam pengantarnya, “penulis berdiskusi secara intensif dengan adik tiri Obama, Maya Soetoro-Ng, dan Profesor Alice Dewey dari Jurusan Antropologi UHM yang menjadi ketua komite disertasi Ann Dunham.”

Dari diskusi tersebut, akhirnya Teguh memeroleh sebuah kesimpulan menarik tentang hubungan sang ibu, Ann Dunham, dengan sang anak, Obama. “Penulis sependapat dengan Maya dan Prof. Dewey bahwa buku ini juga dapat memberikan gambaran mengenai hubungan segitiga antara Obama, Ann Dunham, dan pemahaman akan multikulturalisme yang sangat dibutuhkan oleh pemimpin Amerika.”

Ann, lanjut Teguh, bukan sekadar perempuan yang melahirkan dan membesarkan Obama. Lebih dari itu, Ann adalah teman diskusi yang turut membentuk pemahaman Obama mengenai realitas dunia di luar Amerika Serikat. Membuat Obama mengerti dan menyadari bahwa berbagai perbedaan yang ada di muka bumi ini—sesuatu yang fitrah dan given—mestilah dijembatani dengan dialog, bukan dengan mesin perang.

Dalam sebuah tayangan video yang mengawali peluncuran buku Obama di Jakarta, apa yang dikatakan oleh Teguh itu tampaknya diakui oleh Obama sendiri. Obama mengatakan tentang ibunya, Ann, sebagai berikut, “Ibuku membangunkan aku pukul 4.30 pagi dan kami bersiap-siap pergi ke sekolah. Dan aku sering mengeluh dan menggerutu. Anda bisa membayangkan, anak usia 6 atau 7 tahun dan harus bangun pukul 4.30 pagi.”

Obama menyadari sekali peran sang ibu terhadap dirinya. “Kalau aku menggerutu,” lanjut Obama, “ibuku akan berkata bahwa ini bukan piknik buatku, bukan juga sebuah tur.” Lantas, Obama juga masih ingat ketika ibunya mengajarkan tentang bagaimana bersikap. Simak apa yang dikatakan Obama berikut ini, “Sekali-kalinya aku melihat ibuku benar-benar marah adalah ketika dia melihat kekejaman, ketika melihat seseorang diganggu, atau seseorang diperlakukan berbeda karena keadaan mereka.”

Dengan bahasa yang seakan-akan menunjukkan bahwa Obama ingin terus mengenang ibunya, Obama melanjutkan, “Dan kalau dia melihatku melakukan hal itu, dia akan sangat marah. Dia akan berkata kepadaku, ‘Bayangkan kalau kamu berada dalam posisi orang itu. Apa yang akan kamu rasakan?’ Pemikiran sederhana itu yang aku tak yakin aku memahaminya sewaktu kecil dulu kini benar-benar menancap di dalam kepalaku.”