Minggu, 09 Agustus 2009

Bom "Jum'at Legi"

Karya: SUJIWO TEJO
(Dalang)

Terpujilah mengutuk pengebom Mega Kuningan, Jumat (17/7/2009). Namun, tanpa mengurangi hormat kepada korban dan keluarganya yang menanggung duka, sepatutnya kita menengok ”bom-bom” dan ”korban-korban” lain. Inilah tragedi yang bermunculan hampir saban hari tanpa pernyataan kecaman terhadap pelaku, tanpa pameran duka ke hadapan penanggung deritanya.

Suatu tatanan yang mengakibatkan—terutama—pendidikan tinggi menjadi luar
biasa mahal adalah salah satu wajah lain dari ”bom” sehari-hari yang penulis maksud. Para korban tidak meninggal, juga tidak luka-luka. Mereka tetap memiliki tubuh, ditengarai denyut nadi dan detak jantung. Namun, tubuh-tubuh itu ada di bawah taraf kepatutan hidup. Mereka tak mendapat pendidikan layak alias—sejatinya—tak ubahnya jenazah.

*Hidup itu bekerja*

Mari menafsir kematian secara lebih arif, lebih dewasa. Sungguh tetap kekanak-kanakan jika pada era sekarang, era saat kita diam-diam mulai tahu sama tahu tentang standar hidup minimal, kita masih tetap mengartikan kematian harfiah sebagai terhentinya aktivitas fisik semata. Bukankah kita diam-diam tahu sama tahu bahwa pada era seperti ini orang yang mondar-mandir tak dapat pekerjaan karena di tangannya cuma tergenggam ijazah SMU, lantaran tak sanggup berkuliah, tak ubahnya orang kelojotan menjelang sirna?

Bahkan, jauh sebelum ”bayi” Indonesia lahir tahun 1945, jauh sebelum
kita sebagai bangsa matang, nenek moyang kita sudah mengajar, orang baru sah disebut hidup jika sudah mampu mengaktualisasi diri dalam kerja. Pandangan Nusantara ini seiring pandangan di Eropa bahwa manusia itu Homo faber (manusia tukang, manusia pekerja). Tanpa aktualisasi itu, manusia disebut mati sakjroning urip (ada ya ada, tetapi sejatinya telah tiada). Lebih-lebih kesadaran seperti itu sudah ditanamkan sejak kanak-kanak di berbagai suku dan pelosok antara lain melalui tembang dolanan. Misalnya... Pak Jenthit Lololobah, wong mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip goleko duwit.... Intinya, nenek moyang kita sudah mencangkokkan wacana sejak usia dini bahwa kalau kelak kalian ingin disebut hidup, ya bekerjalah. Padahal, tanpa kasus khusus, misalnya mengandung bakat luar biasa, lapangan kerja macam apa yang kini bisa digapai lulusan SMU untuk hidup layak karena mereka termehek-mehek akan biaya melanjutkan belajar ke pendidikan tinggi?

*”Bom” yang lain*

”Bom” lain yang penulis maksud terjadi sehari-hari adalah suatu sistem yang mengakibatkan modal-modal besar dan asing bisa menyusup dan merangsek sampai perkampungan untuk membuka perdagangan eceran. ”Korban-korban”-nya yang seakan telah meninggal maupun luka bakar dan luka ringan adalah seluruh manusia yang mestinya bisa hidup (layak) jika pasar-pasar tradisional beserta seluruh jaringan distribusinya tidak remuk redam akibat ”bom” itu.

Suatu sistem yang mengakibatkan kesenian tradisional nyaris mati diikuti
megap-megapnya hampir sebagian besar pelaku seni tradisional juga termasuk ”bom-bom” lain. Bagaimana mungkin media massa seperti televisi diberi kebebasan mengikuti mekanisme pasar. Pasti semua berlomba-lomba mengejar rating acara dan itu sah. Tanpa campur tangan government alias pamong praja (maaf penulis sejak dulu kurang sreg dengan konsep kata ”pemerintah” alias pangreh praja) agar tiap stasiun televisi menyiarkan minimal sekian persen tayangan tradisional, tak mungkin televisi swasta rela menyiarkan program tradisional.

Belum lagi sistem yang mengakibatkan para petani garam, petani padi,
nelayan, dan lain-lain sempoyongan. Semua itu adalah wujud lain dari bom yang meledak di Mega Kuningan. Sama halnya dengan Rahwana, simbol angkara murka yang berkepala sepuluh alias dasamuka, bom Mega Kuningan cuma wajah lain dari keangkaramurkaan yang tunggal dan padu. Wajah-wajah lain Rahwana adalah sistem-sistem yang telah penulis singgung. Dan seperti wajah-wajah Rahwana yang bisa bermetamorfosa sekehendak hati si empunya angkara, tak seluruh wajah itu tampak mengerikan. Kadang wajah itu mengambil bentuk nun jauh bertolak belakang dari kesan beringas.

*Norma tradisional kematian*

Jika kita lebih teliti, lebih awas, lebih sejenak tak tertipu oleh indra penglihatan yang gampang bias dan fana, mengulur-ulur manusia tetap hidup secara fisik tetapi sejatinya sudah membunuh perlahan-lahan martabatnya selaku manusia bukankah jauh lebih tega dan kurang sopan dibandingkan dengan membunuh manusia seketika secara fisik melalui bom fisik?

Lagi pula, ajakan untuk tak sekadar memaknai kematian secara fisik
bukanlah mengada-ada. Sebenarnya sudah sejak lama dunia menyelenggarakan imbauan itu. Orang yang tak dihiraukan apalagi sudah dicabut namanya, meski masih hidup, sebenarnya sudah mati. Lihat tradisi beberapa suku di Indian maupun Papua. Seseorang tak perlu dihukum mati secara fisik oleh kepala suku. Sang ketua cuma mewajibkan warganya tidak menghiraukan dan tidak menyapanya. Jika perlu, cabut namanya sehingga tiap saat warga cuma menyerunya ”hoiii!!”. Lama-lama tokoh ini nglokro lalu akan benar-benar mati secara fisik.

Kini bandingkan, adakah beda yang amat prinsip antara orang yang tak
dihiraukan itu, lebih-lebih yang telah dicabut namanya sehingga cuma menjadi nomor dalam cacah jiwa kependudukan zaman dulu, dan penganggur, petani, nelayan, serta mantan orang-orang pasar tradisional saat ini?