Minggu, 05 Desember 2010

Yang Kaya Makin Tak Peka

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada sebuah tayangan acara di televisi. Dalam acara itu, ada seorang anak yang dekil dan lusuh meminta tolong soal hal sepele untuk membangkitkan rasa iba orang lain. Jika kita menyimak acara tersebut, bisa jadi kita terkejut oleh kenyataan bahwa biasanya orang yang mau peduli dan membantu justru bukan orang yang kelihatan mampu. Orang yang dalam pandangan umum diharapkan bisa memberi lebih.

Ternyata memang itulah yang terjadi. Ketika masyarakat umum berpikir bahwa orang yang punya kelebihan bisa membantu lebih banyak, yang terjadi justru sebaliknya.

Sebuah penelitian multipel di Amerika Serikat membuktikan bahwa orang-orang dengan status sosial-ekonomi tinggi (atau orang yang merasa diri mereka berkecukupan) lebih buruk dalam berempati dan menilai emosi orang lain dibandingkan dengan mereka yang punya status sosial-ekonomi lebih rendah.

Alasannya adalah bisa jadi orang dengan pendapatan atau pendidikan rendah merasa harus lebih responsif terhadap orang lain, kata penulis hasil penelitian itu, dalam penelitian post-doktoral psikologi di University of California, San Francisco.

Dalam penelitian Michael W. Kraus sebelumnya, ia menemukan bahwa orang yang lebih makmur cenderung lebih kasar daripada orang yang lebih miskin saat berbicara dengan orang yang tak dikenal. Mereka juga menemukan bahwa orang yang lebih miskin justru lebih pemurah dengan harta mereka dibandingkan dengan orang yang kaya raya. Kraus menduga empati orang yang lebih miskin bisa jadi menjadi akar dari sikap murah hati mereka. "Mereka sangat waspada akan kebutuhan orang lain, dan mereka langsung merespons apa yang mereka lihat," kata Kraus.

Para peneliti melakukan tiga penelitian untuk melihat kesenjangan empati antara orang kaya dan miskin. Pada awalnya, mereka memfokuskan diri pada aspek pendidikan dari status sosial-ekonomi. Peneliti melibatkan 200 pekerja universitas, mulai staf administrasi, pengajar, hingga manajer.

Lalu mereka mengumpulkan data dari tingkat pendidikan relawan, dan bertanya kepada mereka untuk mengidentifikasi ekspresi wajah dari sejumlah foto. Inilah tugas yang sebesar apa pun pendidikan kita tak menjamin kita untuk lulus. Sebab, justru mereka yang hanya lulusan sekolah menengah atas yang mendapat nilai rata-rata 7 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang lulusan perguruan tinggi.

Jumlah angka mentah ini dikonversi ke skala yang rata-rata partisipan di penelitian itu, 100,89. Ketika angka itu dipecah berdasarkan kategori pendidikan, semua partisipan tersebut yang lulusan sekolah menengah atas mendapatkan nilai rata-rata 106, sedangkan partisipan yang lulus perguruan tinggi mendapat nilai rata-rata hanya 99.

Lalu si peneliti juga melibatkan 106 mahasiswa yang berhubungan satu dengan lainnya dalam kerangka wawancara kerja palsu. Mereka ditanyai bagaimana perasaan mereka dan bagaimana kira-kira perasaan rekan mereka selama wawancara berlangsung. Ternyata mereka yang sebelumnya tercatat menempati tingkat sosial-ekonomi tertinggi justru parah dalam menduga-duga perasaan rekan mereka.

"Hasil penelitian ini tidak melibatkan latar belakang gender dan etnik," kata Kraus. "Kita bisa dengan jelas melihat individu-individu yang berasal dari kelas yang lebih rendah justru menunjukkan akurasi empati yang jauh lebih besar dalam penelitian ini."

Tapi bagaimana jika orang yang lebih makmur itu menjadi demikian karena mereka sangat berfokus pada diri sendiri? Bagaimana jika ternyata kemakmuran tidak mempengaruhi empati, tapi justru empati yang mempengaruhi kemakmuran? Untuk mengetahui hal ini, para peneliti kemudian meneliti lagi 81 mahasiswa yang berbeda. Kali ini mereka diminta membayangkan orang-orang yang luar biasa kaya raya, orang-orang seperti Bill Gates.

Lalu para siswa itu diminta membayangkan diri mereka sebagai orang yang makmur dan menempatkan diri di tangga sosial-ekonomi. Sambil membayangkan figur seperti Bill Gates memicu mahasiswa untuk menempatkan diri mereka lebih rendah dalam tangga ekonomi dibanding seharusnya mereka berada. Sementara itu, mahasiswa lain yang diminta untuk membayangkan orang lain yang tidak makmur justru membuat mereka menempatkan diri sendiri lebih tinggi pada tangga status sosial-ekonomi.

Akhirnya, 81 mahasiswa tersebut melihat 36 foto close-up di bagian mata dan diminta menilai emosi yang digambarkan dalam gambar tersebut. Ternyata, mereka yang telah dimanipulasi hingga merasa diri mereka berada di kelas bawah 6 persen lebih akurat dalam menilai emosi dalam foto dibanding mereka yang dimanipulasi merasa diri lebih makmur.

Ini, kata Kraus, adalah temuan yang penting. "Jika memanipulasi, Anda bisa bicara tentang kepemimpinan kelas dalam empati," tutur Kraus, yang bersama koleganya dalam penelitian ini menerbitkan hasil penelitian itu dalam jurnal Psychological Science edisi Oktober 2010.

"Penelitian ini sangat menarik," kata Vladas Griskevicius, psikolog dari University of Minnesota yang tak terlibat dalam penelitian tersebut. "Sebagian besar peneliti semula berpikir bahwa semakin tinggi latar belakang status sosial-ekonomi seseorang, semakin baik mereka membaca emosi orang lain," kata Griskevicius. "Tapi penelitian ini menemukan hal sebaliknya. Bahwa orang dengan latar belakang status sosial-ekonomi lebih rendah justru lebih peka terhadap apa yang orang lain pikir dan rasakan."

Salam
Ahmad Rizali

Tidak ada komentar: