Minggu, 05 Desember 2010

Guru dan Dosen

Guru ataupun dosen adalah jabatan fungsional yang sebenarnya memiliki lingkup kerja yang hampir sama, keduanya dipisahkan pada level jenjang pendidikan yang diampu. Guru dan dosen adalah salah satu tulang punggung masa depan bangsa dan negara. Suatu bangsa akan maju bila guru dan dosennya bekerja secara benar pada posisinya.

Alih-alih pemerintah ingin memberikan reward kepada guru dan dosen dengan cara memberikan tunjangan sertifikasi (baca: tunjangan bagi yg sudah mendapat sertifikat), apa daya pelayanan dan mutu pendidikan tak kunjung tercapai.

Awalnya tunjangan sertifikasi sebagai senjata ampuh untuk memuliakan guru dan dosen oleh pemerintah, tetapi kemudian senjata itu bagai makan tuan. Entah itu sudah menjadi watak dan karakter, sebagian guru kemudian menggunakan berbagai macam cara untuk bisa mendapatkan sertifikasi karena nilai nominal yang akan didapat sangat menggiurkan.

Tengoklah kejadian proses sertifikasi guru di Riau, ternyata para guru memalsukan karya-karya ilmiah sebagai sarat mendapatkan sertifikasi. Kalau guru saja sudah berani memalsukan karya ilmiyah, lalu apa jadi dengan muridnya, bak pepatah guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kalau demikian adanya apakah salah cita-cita pemerintah memuliakan guru dengan sertifikasi ternyata yang terjadi adalah penuruan moral para guru? Program sertifikasi ternyata banyak disalahartikan sebagai program kenaikan gaji berlipat-lipat. Perbedaan yang mencolok di lapangan antara guru ataupun dosen yang sudah sertifikasi dengan yang belum, hanyalah gaji saja sementara etos dan prestasi tak terlalu signifikan. Apakah pemerintah sudah melakukan evaluasi seberapa besar efek sertifikasi dengan kenaikan mutu kualitas para guru dan dosen?

Sebenarnya maksud pemerintah memuliakan guru dan dosen dengan tunjangan sudah benar, tetapi implementasinya yang sangat rentan dengan manipulasi. Pemberian tunjangan lebih kepada guru dan dosen sebenarnya tidak perlu melalui proses yang sangat rentan manipulasi yang akhirnya menurunkan martabat guru dan dosen itu sendiri?

Untuk dosen, sebenarnya dengan jenjang pendidikannya dan berapa publikasi ilmiah yang telah didesiminasikan tingkat international sudah bisa menunjukkan kualitas seorang dosen. Di negara lain seorang dosen yang sudah mencapai jenjang strata tiga (S3) pastilah dia akan langsung mendapat gaji yang standar untuk kesejahteraan hidupnya tanpa harus mengikuti persaratan lain dan tentunya akan meningkat sesuai prestasi yang dicapai. Hal ini tentunya juga agar memotivasi para dosen yang sudah S3 untuk dapat mengabdi ke institusinya.

Indonesia adalah negara yang berpenduduk banyak, yang tentunya juga sudah banyak penduduknya yang mencapai jenjang S3. Tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang S3 di luar negeri ogah-ogahan pulang membangun negarinya. Hal ini dikarenakan nasib mereka tidak akan segera cerah bila mereka tetap tinggal di luar Indonesia. Tentunya ini adalah masalah besar, mereka yang sudah S3 masih memandang feodalisme pangkat di Indonesia yang sangat kental walau di institusi pendidikan sekalipun. Sehingga mereka kalau pulang harus mengabdi dulu dengan gaji yang relatif rendah bahkan untuk mendapat tunjangan yang memadahi seperti tunjangan sertifikasi mereka harus rela menunggu urut kacang (baca: urut senioritas).

Kalau orang-orang yang S3 saja enggan untuk pulang kampung, jangan heran kalau mereka yang cuma alumni sekolah menengah beramai-ramai keluar Indonesia untuk antri menjadi TKI di luar negeri. Lalu kapan orang-orang cemerlang penduduk negeri ini mendapat peluang untuk membangun negerinya?

Salam
Moh. Khairudin

Tidak ada komentar: