Rabu, 03 November 2010

Guru dan Pesan Cinta Zulaikha

”Ojo nggege mongso.” Pesan yang berisi nasihat itu diberikan wartawan senior Tempo sekaligus sastrawan Goenawan Mohammad kepada Widi Yarmanto dari Gatra.

Saya mendapati ”keabadian” pesan tersebut dalam tulisan Widi yang bertajuk Cinta di majalah Gatra No 40 Tahun VII, edisi 25 Agustus 2001. Widi adalah pemimpin redaksi Gatra yang saat itu digawangi Yudhistira A.N.M. Massardi sebagai pemimpin umumnya.

Bagi saya, tulisan Widi sama berkualitasnya dengan Goenawan. Maklum, Widi lama berada di ”kawah candradimuka” Tempo di bawah pimpinan Goenawan sebelum berlabuh ke Gatra.

Banyak persamaan rubrik Esai di Gatra dengan Catatan Pinggir di Tempo. Yakni, sama-sama berada di halaman terakhir. Ini juga yang penting: sama-sama enak dibaca, sama-sama informatif dan edukatif, serta sama-sama ditulis jurnalis kawakan yang hebat. Bagi saya, itulah kekuatan dua majalah tersebut.

Dalam tulisan bertitel Cinta, Widi berkisah tentang pengalamannya merayakan 40 tahun Goenawan sebagai penulis sekaligus ultah ke-60 Goenawan pada 2001. Acara yang dihelat di Jakarta itu berisi ceramah, diskusi, dan peluncuran buku.

Widi mengaku tak bisa melupakan kebersamaannya selama hampir 20 tahun bersama Goenawan di Tempo. ”Ia (Goenawan Mohammad, Red) membimbing kami dengan nada canda, serius, dan sering jengkel. Kadang ia diam, menutup mulut. Marah karena kami tak disiplin pada deadline, atau menggarap majalah setengah hati. Tidak profesional. Ia bisa menempatkan diri sebagai kakak, teman, atau bos dengan segala kesederhanaannya,” tulis Widi (rubrik Esai, Gatra, 25 Agustus 2001).

Yang jelas saya tangkap adalah kalimat nasihat Goenawan ”Ojo nggege mongso.” Artinya, Jangan mengharapkan sesuatu yang belum waktunya.

Bagi Widi, warning itu mungkin benar, mungkin pula kurang tepat. Sebab, cinta tidak bisa dimatematiskan. Sebagaimana ditulis Imam Al-Ghazali yang menyitir Asy-Syibli, cinta adalah ketercengangan dalam kelezatan dan kebingungan dalam pengagungan.

***

Paradigma pendidik sangat terkait dengan cinta. Dalam hal ini, cinta adalah perhatian sepenuh hati kepada sebagai bentuk profesionalisme dalam menjalankan tugas. Jamak diketahui, sejak adanya sertifikasi, tak sedikit orang yang menjadi guru demi alasan tunjangan setelah lulus/lolos sertifikasi. Ya, ada yang bilang bahwa kesejahteraan guru kini semakin terjamin. Beda dengan dulu, saat profesi itu kerap dikebiri, sebagaimana diabadikan oleh Iwan Fals dalam lagunya, Oemar Bakri (1981).

Oemar Bakri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati

Oemar Bakri banyak ciptakan menteri

Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi

Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Itu dulu, sekarang era korps Oemar Bakri agaknya bisa tersenyum dengan adanya program sertifikasi oleh pemerintah. Terlepas dari pro-kontra soal sertifikasi, toh tak sedikit yang mengakui bahwa kesejahteraan guru kini lebih meningkat, lebih baik.

Ada sisi positif, tentu ada sisi negatifnya. Dari sudut ironi, adanya sertifikasi justru menjadi bumerang bagi ”pengebirian” baru terhadap profesi mulia itu. Indikasinya, demi lolos sertifikasi, ada guru yang rela membeli sertifikat seminar, memalsukan syarat protofolio lain, dan melakukan praktik tak terpuji seperti copy paste karya tulis ilmiah. Sebuah pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintah dan seluruh elemen yang peduli pendidikan.

Belum tuntas masalah itu, kini profesi tenaga pendidik (guru) mulai banyak dilirik. Hal tersebut terlihat dari besarnya animo calon mahasiswa untuk masuk ke universitas negeri bekas IKIP. Tak sedikit yang beralasan bahwa menjadi guru itu sekarang jauh lebih enak ketimbang dulu. Benarkah?

Saya teringat ketika kali pertama dinasihati oleh salah seorang redaktur senior. Saat itu, saya sedang menjalani ”pendidikan kilat”. Beliau berpesan kepada saya bahwa jangan mendasarkan sesuatu hanya demi materi. ”Landaskan tugasmu sebagai panggilan jiwa.”

Kalimat itu saya camkan hingga saat ini. Yakni, bekerja –bagaimanapun besarnya risiko dan tantangannya– tetap saya nikmati seolah berekreasi. Nothing to lose. Mencintai tugas dan pekerjaan serta menjalankannya sepenuh hati.

Di sisi lain, keluhan terhadap profesi guru hingga kini belum tereduksi secara maksimal. Masih ada kasus kekerasan yang melibatkan guru. Yang paling gres, kasus pemalsuan karya tulis ilmiah (KTI) sebagai salah satu syarat dalam sertifikasi (data dari Suara Merdeka, Jawa Pos, Kompas, Riau Pos, Detiknews, dan lain-lain).

Meminjam istilah ojo nggege mongso, tentunya kita semua agaknya perlu bersabar dan bersungguh-sungguh untuk menjalankan ”cinta”. Yakni, komitmen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Pantang putus asa.

Sebagaimana ditulis Widi, kita mungkin perlu menyimak getaran cinta kisah Zulaikha-Yusuf. Widi menguraikan, ”Bersabarlah seperti Zulaikha,” yang tak bosan-bosan mencintai Yusuf. Zulaikha si perayu digambarkan bergaun merah –ditafsirkan sebagai gaun pengantin atau pertanda cinta yang menggebu-gebu– namun menemukan realitas: cintanya tak berbalas. Ia terus-menerus meratap dan merindukan Yusuf hingga matanya buta. Zulaikha memang dimabuk cinta.

Namun, ada satu aspek percintaan yang menarik, yang membuat semua makhluk harus belajar darinya. Yaitu, ia menaati sopan santun.

Zulaikha yang penuh cinta menjadi personifikasi jiwa manusia, nafsu, yang disucikan melalui perjuangan batin terus-menerus dan penderitaan yang tak habis-habisnya, sebagai ”jiwa yang damai”. Setelah periode kerinduan dan keputusasaan, kesetiaan Zulaikha yang tak tergoyahkan memperoleh imbalan. Yusuf-Zulaikha dipersatukan dalam perkawinan.

Memang, cinta tak layak dimatematiskan. Cinta bukan melulu nafsu. Lebih dari itu, saya memandangnya sebagai sebuah komitmen tinggi.

Manakala saya akan melamar pekerjaan sebagai guru, saya mesti merajuk kembali dengan nasihat ”ojo nggege mongso” atau ”landaskan sesuatu sebagai panggilan jiwa.” Dengan begitu, saat ditanya soal motivasi, saya tegas menjawab: ”Saya menjadi guru karena profesi itu adalah panggilan jiwa saya.”

Salam
Eko Prasetyo

Tidak ada komentar: