Selasa, 03 November 2009

Malpratik Pendidikan (1)

(cerita studi kasus)

Tindak kekerasan baik secara mental maupun fisik yang populer dengan istilah bullying terhadap siswa yang dilakukan oleh guru, kepala sekolah, kakak kelas atau sesama teman di lingkungan sekolah dapat dikategorikan sebagai malpraktik dalam dunia pendidikan.

Bullying adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma dan tidak berdaya.

Akibat dari adanya perilaku bullying ini, maka sekolah bukan lagi menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak dalam mencari ilmu tetapi telah menjadi sebuah tempat yang menciptakan rasa takut bahkan menimbulkan trauma psikis.

Tindakan yang dapat dikategorikan bullying di sekolah menurut salah seorang guru SD Global Jaya Internasional Bintaro, Agus Purnomo paling banyak terjadi adalah memanggil siswa dengan sebutan negatif.

"Hubungannya dengan fisik, atau merendahkan mental siswa dengan maksud memberi motivasi. Kedua paling banyak yaitu membiarkan siswa ditertawakan atau dilecehkan di depan siswa tersebut, ini terjadi saat siswa bertanya hal yang baru atau yang menurut orang lain "unik". Akibatnya siswa merasa tidak aman secara fisik, emosional dan intelektual" , ujar Agus.

Sebagai seorang guru, Agus menyadari, banyak koleganya sesama guru yang secara sadar atau tidak sadar sudah mempermalukan siswa di dalam kelas dengan cara memarahi, menghardik, mengancam, memberikan hukuman fisik sehingga memunculkan perasaan tidak aman dan nyaman dalam diri siswa pada saat mengikuti kegiatan belajar di kelas.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Pratista Indonesia Netti Lesmanawati yang melakukan penelitian dengan random sampling pada 150 anak SD, SLTP dan SLTA di dua kecamatan di Kota Bogor menunjukkan bahwa perlakuan kekerasan terhadap para siswa itu umumnya adalah dicolek pipi, digoda dengan kata-kata jorok, dipukul, ditonjok, ditampar dan ditendang serta dihina, diejek dan diberi julukan negatif.

Sayangnya, masih banyak guru di sejumlah sekolah di Indonesia yang beranggapan bahwa bullying sebagai hal biasa dalam kehidupan anak usia taman kanak-kanak hingga remaja.

Di dunia pendidikan, kasus malapraktik pun banyak ditemukan terutama pada kelas pemula di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD), yakni kelas 1, 2 dan 3.

"Kita sudah dengar banyaknya kasus bullying atau berupa tindakan yang membuat seseorang merasa teraniaya yang dapat dilakukan antara lain oleh guru kepada siswanya di lingkungan sekolah sehingga siswa merasa terancam, ketakutan dan sebagainya sehingga tindakan guru tersebut dapat dikategorikan sebagai mal praktik," ujar Kepala Sub Direktorat Program Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Abi Sujak.

Efeknya, siswa malas belajar, menjadi pasif, dan takut terhadap jenis mata pelajaran tertentu, serta prestasi siswa tidak optimal, ini bisa jadi indikasi malapraktik.

" Padahal, saat di TK siswa-siswa itu kreatif," katanya.

Menurut Abi, indikasi demikian banyak ditemukan pada anak didik. Namun tidak banyak guru yang menyadari bahwa apa yang terjadi pada siswa tersebut sebenarnya merupakan bentuk malapraktik pendidikan.

Malapraktik ini, lanjut dia, terjadi akibat beberapa hal, di antaranya guru kurang memahami latar belakang dan bakat siswa serta perbedaan budaya antara guru dengan lingkungan sekolah.

"Terindentifikasi kasus-kasus mal praktik dalam dunia pendidikan, misalnya anak yang takut pada mata pelajaran matematika, berhitunng ada pula anak merasa takut dengan pelajaran bahasa. Program ini mengajarkan guru untuk mampu menanamkan "mimpi" dan memahami keinginan peserta didik bukan kemauan guru," katanya.

Sementara Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Magdalena Sitorus mengatakan rekap data KPAI melalui hotline service dan pengaduan mengenai kekerasan terhadap anak di sekolah pada 2007 menunjukkan ada 555 kasus kekerasan terhadap anak, 11,8 persen di antaranya dilakukan oleh guru.

"Tahun 2008 ada 86 kasus kekerasan terhadap anak dan 39 persen dilakukan oleh guru. Oleh karena itu masalah bullying atau "ngerjain" yang sudah mengarah ke kriminal ini harus dicegah. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini Depdiknas dapat mengeluarkan suatu kebijakan nasional agar pihak sekolah mengatasi bullying ini untuk melindungi anak-anak dan mereka bisa belajar tanpa rasa takut," ujar Magdalena.

Anak-anak berharap tumbuhnya kesadaran akan dampak negatif dari tindak bullying dan kekerasan di sekolah. Keterlibatan guru, siswa, orang tua dan pihak-pihak terkait di masyarakat sangatlah penting dalam membuat perubahan.


Program induksi

Untuk menyelamatkan siswa dari malapraktik ini, Depdiknas bakal menerapkan program induksi bagi guru pemula. Program induksi adalah semacam orientasi bagi guru pemula untuk mengenal dan memahami tugas-tugasnya sebagai pendidik, dengan mengedepankan pengenalan lingkungan dan siswa yang akan dihadapi.

Program yang akan diterapkan selama setahun tersebut melibatkan kepala sekolah maupun guru senior untuk menjadi mentor saat guru pemula melakukan tugas pengajaran di kelas.

Jika dalam evaluasi ternyata guru yang bersangkutan tidak layak mengajar, maka ia tidak bisa dipaksakan menjadi guru. Ia bisa saja dialihkan ke tugas lain seperti administrasi atau petugas perpustakaan,? katanya.

Program induksi ini pada tahap awal hanya diberlakukan pada guru-guru pemula dengan pertimbangannya umumnya guru pemula belum banyak mengenal lapangan. Depdiknas sendiri sudah menerapkan program ini pada enam kabupaten percontohan yakni Sumedang, Bantul, Pasuruan, Padang, Banjarbaru, dan Minahasa Utara.

Dengan program tersebut, seleksi menjadi guru baru ke depan akan lebih diperketat seiring dengan banyaknya kasus-kasus malpraktik yang dilakukan oleh guru akibat rendahnya kemampuan guru melakukan penyesuaian diri pada lingkungan sekolah.

Ia mengharapkan, guru baru sebelum terjun langsung mengajar di kelas harus melewati proses penyesuaian selama satu tahun sehingga guru harus benar-benar siap dan profesional.

"Guru merupakan profesi sehingga dalam melaksanakan tugasnya harus profesional. Untuk itu, sudah disiapkan sejumlah pendekatan bagi guru pemula untuk seleksi di seluruh Indonesia yang akan melibatkan para stakeholder, yakni kepala daerah, dinas pendidikan, sekolah dan sebagainya," katanya.

Sementara itu, Konsultan Program Induksi dari LPTK UNJ, Edi Rachmat mengatakan, program induksi akan diimplementasikan utamanya kepada guru pemula yang jumlahnya mencapai sekitar satu juta guru dalam 15 tahun ke depan.

"Dalam tiga tahun yang akan datang sebanyak 222.343 guru akan pensiun, dalam 10 tahun ke depan sebanyak 470 guru dan pada tahun 2015 sebanyak 890 ribu guru, " kata Edi.

Ia mengatakan, kesempatan untuk meningkatkan kualitas guru bisa dimulai secepatnya dengan memberikan bekal yang memadai untuk mengajar di depan kelas sehingga siswa yang dihasilkan juga berkualitas.

Lebih lanjut Abi Sujak mengatakan, program induksi bagi guru pemula dimaksud pula untuk memperbaiki kondisi siswa karena dari sebuah hasil penelitian anak-anak di masa prasekolah bisa berperilaku ceria tetapi setelah masuk ke SD di awal-awal kelas menjadi pasif dan penakut.

Abi Sujak berharap program induksi tersebut sudah dapat diimplementasi mulai tahun 2010 setelah disiapkan payung hukum serta kesiapan tenaga pelaksana.

Sementara itu, dari data Depdiknas untuk tiga tahun ke depan bakal ada ribuan guru pemula. Menurut Edy Rahmat Widodo, dosen Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Universitas Negeri Jakarta (UNJ), pada 2012 nanti terdapat 222 ribu guru yang pensiun, lalu 10 tahun ke depan 470 ribu guru pensiun, dan 15 tahun ke depan 890 ribu guru pensiun.