Kamis, 19 November 2009

Bermain, Bercerita, Belajar

Tahukah anda bahwa pada jaman dahulu kala orang mengukur waktu dengan jam pasir?

Tahukah anda bahwa dulunya orang menghitung panjang suatu benda dengan menggunakan benda apa saja yang mereka temukan sehingga hasil hitungan panjang masing2 orang berbeda, bahkan menimbulkan chaos dimana-mana jauh sebelum ditemukan satuan panjang? Tahukah anda bahwa dalam mengajarkan matematika anda juga harus bercerita?

Sejak dua hari yang lalu saya kembali datang ke Banda Aceh untuk kedua kalinya memberikan pelatihan di WTC, bukan World Trade Center, tetapi Women Training Center, milik CCDE, Center for Community and Development in Education yang digawangi oleh Pak Tabrani Yunis. Kesempatan kedua ini saya membawa materi yang cukup berat, Teaching Media, dimana saya harus memberikan materi tentang alat-alat bantu dan peraga berbagai mata pelajaran SD yang ramah lingkungan, mudah didapat dan tidak berbiaya mahal – termasuk bagaimana cara membuatnya. Selain saya harus mengupas habis tentang cara penggunaan alat bantu tersebut tentunya. Karena ternyata banyak di antara sekolah dan guru yang walaupun telah mengikuti pelatihan tentang PAKEM dan alat peraga, namun tidak satu pun di antara mengerti bagaimana cara menggunakannya dan untuk topic apa sajakah alat bantu itu digunakan.

Saya memulainya dengan berbagai alat bantu matematika yang selama bertahun-tahun menemani saya melanglang di hampir seluruh pulau di Indonesia. Ada Papan Nilai Tempat, ada counters untuk menghitung yang saya buat dari stik eskrim yang dipotong-potong menjadi 3 (terus terang ini maksudnya adalah untuk penghematan), ada korek api, sedotan, yang juga dipotong-potong, kartu-kartu angka yang saya buat sendiri.

Dahulu kala ketika saya masih mengajar SD, saya selalu memulai suatu konsep dengan bercerita apa saja yang erat kaitannya dengan dunia anak2. Begitu pula ketika saya akan mulai mengajarkan tentang nilai tempat angka di matematika, maka saya akan bercerita tentang si Budi (cerita Budi dalam buku bahasa Indonesia jaman saya SD dulu memang tidak bisa hilang dari benak saya yang sudah 30 tahun meninggalkan bangku SD. ck…ck…ck…) yang mendapat 9 buah pensil ketika ia menang lomba deklamasi di sekolah. Lalu, sambil menghitung counters, saya menempatkannya di papan satuan dalam Papan Nilai Tempat tadi. Begitu seterusnya. Mengapa saya harus bercerita?

Inilah pembelajaran yang disebut dengan Contextual Teaching and Learning, pembelajaran yang harus disesuaikan dengan konteks, isi dan kehidupan sehari-hari. Apabila saya mengajarkan matematika kepada murid SD kelas satu yang belum mengerti angka, maka ketika saya menghitung saya sama sekali tidak menggunakan symbol angka dulu, namun saya menggantikannya dengan benda lain yang bisa dihitung sesuai dengan simbol matematika sambil bercerita tentang berbagai realita yang terjadi di dunia anak2 semisal anak berulang tahun, anak pergi ke kebun binatang, anak bermain bola dan lain2. Saya kemudian bercerita berulangulang dengan ceritanya yang berbeda tentunya (karena guru kan harus kreatif dan inovatif) samapai anak paham betul akan nilai tempat itu. Kemudian, saya akan minta anak maju ke depan untuk bercerita juga sambil memainkan papan Nilai Tempat. Biasanya, anak2 akan berani maju ke depan kelas, memeragakan dengan mahir dan bercerita dengan lancar apabila si guru mampu memberikan contoh dengan baik. Guru harus memberi contoh lebih dulu…

Selain membuat alat peraga tempat, guru2 di Banda Aceh juga bermain air ketika saya mengajak mereka kembali ke jaman dahulu kala ketika standar pengukuran volume belum ditetapkan. Bisa dibayangkan chaos yang terjadi karena masing-masing guru harus menghitung volume air dengan menggunakan gelas, cangkir, botol, dll. Mereka protes karena benda yang digunakan tidak sama. Tentu saja, karena kami saat itu sedang belajar tentang pengukuran non standar atau tidak baku. Guru-guru juga harus bersusah payah menghitung panjang karpet, jendela, lemari dengan menggunakan tali yang saya potong dengan panjang berbeda, atau dengan menggunakan jengkal mereka. Mereka seperti kembali ke masa kecil, bermain, namun sambil belajar.

Satu hal yang saya tekankan kepada mereka, matematika di SD adalah pemahaman konsep dasar, apabila guru salah menanamkan konsep kepada anak, maka seumur hidup anak belajar dengan salah. Dan ternyata, banyak di antara para guru yang hadir kemarin, salah memberikan konsep kepada siswa mereka yang kelas 6 SD, bahkan ada yang tidak bisa menjelaskan dari mana dan bagaimana menghitung luas permukaan balok! Padahal, UASBN sudah dekat!!! Wah, wah, wah…

Banda Aceh
Salam
Nina Feyruzi