Selasa, 17 November 2009

Film : "Emak Ingin Naik Haji...."

Tentang Mimpi Sejuta Umat

Di negeri ini, haji ternyata bisa menjadi sebuah ironi. Apalagi kalau Anda menyaksikan film yang diangkat dari cerpen Asma Nadia yang berjudul Emak Ingin Naik Haji (EINH). Tema haji, mampu menguak realitas ketimpangan sosial yang terjadi di negeri ini. Tentang lebarnya jurang antara mereka yang hanya bisa berucap “ingin” dengan segelitir masyarakat yang menjadikan haji seperti perjalanan piknik mengisi pakansi. Halah! Ini bikin resensi serius amat sih? Kayak mau bikin paper kuliah ajah!Hehehe..

Tapi, menonton EINH memang seperti mendapat sebuah paket lengkap ketika Anda duduk di depan layar menyaksikan film produksi bersama Mizan Production dan Smaradhana Pro ini. Semua memang bisa Anda temui di film karya Aditya Gumay ini: kritik sosial, redefinisi pemahaman, parodi, komedi kecil-kecilan hingga realitas masyarakat yang tergambar agak riil di film ini.

Film ini (saya kutip dari sini, makasih buat Imazahra, maap pembaca saya resensor pemalas. hehe..) bertutur tentang tokoh Emak lansia yang welas asih pada anaknya yang bernama Zein. Emak penyabar ini sedang ‘menabung’ mimpi. Ingin pergi ke Mekah menunaikan rukun Islam yang kelima. Sementara kemiskinan yang membelit mereka tak mampu jua mewujudkan cita-cita Emak. Bertahun-tahun Emak membuat kue dan menjualnya di pasar, apa daya ongkos naik haji selalu naik secara signifikan setiap tahunnya. Sehingga impian terasa semakin utopis! Ironisnya, tetangga sebelah rumah mereka yang kaya raya justru bolak balik ke tanah suci.

Saya memang agak sedikit terganggu dengan awal film yang terkesan agak lambat. Tapi secara keseluruhan, film ini, berhasil menampilkan potret yang agak realistis dan agak logis dibanding beberapa film Indonesia pada umumnya. Sebagai produk hiburan, sejauh pengamatan saya terhadap penonton, EINH berhasil membangun emosi penonton dari berbagai kalangan dengan menghadirkan gelak, air mata dalam tangis dan keharuan sepanjang pemutaran film.

Sketsa kemiskinan misalnya, secara apik tergambar dengan adegan keterpaksaan anak-anak tetangga Emak memakan bangkai burung sebagai ketiadaan pilihan yang sehari-hari terjadi di kalangan rakyat negeri ini. Pilihan lokasi di Warakas, Tanjung Priok, secara relatif juga berhasil mengangkat gambaran kehidupan riil yang terjadi di daerah kumuh sejenis. EINH juga hampir dapat menangkap beberapa gambaran komunitas akar rumput seperti kelompok majelis ta’lim bahkan dengan istilah spesifik semacam topik obrolan tentang obat “malam jahanan”. Hehe.

Film juga memberi pesan parodi yang menarik tentang masih digunakannya ibadah haji sebagai alat status sosial bahkan pencitraant politis.

Film ini, buat saya, bisa jadi pilihan bagi Anda yang ingin mencari sebuah nilai lebih saat Anda pergi menonton bersama keluarga atau dengan rombongan besar ibu-ibu pengajian. Sangat direkomendasiken lah, intinya.

Walau pesannya berat: tentang redefinisi ibadah berhadapan dengan kondisi sosial atau tentang kesalehan individu yang sering menenggelamkan kesalehan sosial. Namun film Emak Ingin Naik Haji telah mencoba sebuah usaha bahwa pesan berat itu tak harus sampai dalam bentuk terlalu verbal. Ringan dan menghibur, dan mudah-mudahan juga mencerahkan.

Selamat kepada seluruh tim Emak Ingin Naik Haji. Semoga mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat yang haus akan hiburan yang agak bermutu dan agak mendidik.

Selamat menonton!
--
regards,
Yaghi Permana
"be positive, what you think, is who you become"