Kamis, 01 Oktober 2009

REX Publishing

Konon REX Publishing adalah penerbit buku teks terbesar di Filipina. Gambaran ini terlihat dari presentasi mereka yang menasbihkan diri sebagai penerbit terbesar dan tersukses di Filipina sejak tahun 1950-an. REX Publishing sebuah perusahaan keluarga mirip dengan apa yang berlaku juga di Indonesia--pelaku bisnis penerbitan buku adalah sebuah keluarga turun-temurun, terutama dari kalangan keluarga Minang.

Sepuluh orang delegasi dari IKAPI diundang untuk mempresentasikan dan mendiskusikan dapur editorial mereka. Ada saya (Bambang Trim dari Salamadani), Nova (Gramata), JB Sudarmanto (Grasindo), Nung Atasana (Gramedia), Hikmat Kurnia (Agro Media), Djadja Subagdja (Yudhistira), Junaidi Gafar (Yudhistira), Fachri (Penebar Swadaya), Stefanus (Galaxy). Hanya bersembilan dari sepuluh orang yang diundang. Semua akomodasi hotel dan makan ditanggung REX, kecuali tiket pesawat. Sebuah penghargaan luar biasa bagi kita.

Kegiatan ini bersanding sekaligus dengan forum pertemuan ASEAN Book Publisher Association (ABPA) untuk memilih ketua baru yang sebelumnya dipegang oleh Atty. Dominador D. Buhain dari Filipina. Karena itu, datang pula delegasi dari Malaysia, Brunei, Vietnam, Singapura, dan Thailand.

Forum diskusi diawali dengan perkenalan dan presentasi dari para editor di REX Publishing. Semuanya wanita hingga seorang delegasi dari Brunei bercanda apakah pria tidak diperkenankan bekerja sebagai editor di REX. Hebatnya, para editor dan expert editor itu rata-rata PhD alias doktor dan ada juga yang bergelar profesor. Tampak sekali kesan di buku teks bahwa mereka begitu memperhatikan tingginya latar belakang pendidikan sebagai syarat menjadi editor.

Saya berusaha menyimak dengan rasa ingin tahu. Namun, entah mereka memang menganggap kita negara yang penuh masalah (mudah-mudahan tidak menganggap terbelakang) soal penerbitan atau karena memang demikianlah kebiasaan presentasi mereka. Standar presentasi menggunakan power point yang juga relatif sederhana, lalu mulai menerangkan alur editorial, plus anatomi buku standar. Setiap editor menjelaskan serba singkat apa yang mereka lakukan pada setiap alur, lalu bagaimana mereka mengembangkan sebuah naskah. Mereka menyebut-nyebut editorial sebagai bagian kunci dari semua aktivitas penerbitan. Sekali lagi, saya pribadi merasa apa yang disampaikan mereka sangat standar (ilmu dasar) yang di Indonesia pun sudah lebih jauh dikembangkan.

Ketika forum tanya jawab dibuka, delegasi Indonesia langsung mendorong pada persoalan regulasi pemerintah. Tak ada masalah dengan regulasi pemerintah di Filipina. Meskipun buku teks juga ditetapkan dengan kebijakan pemerintah, mereka tetap diberi ruang untuk bisnis dan pemerintah benar-benar mendukung dengan kebijakan yang kondusif. Jadi, persoalan kita bukan sekadar persoalan editorial, lebih jauh dari itu dampak program buku sekolah elektronik (BSE) yang diterapkan pemerintah Indonesia dapat mematikan bisnis buku teks secara keseluruhan.

Berlanjut pada forum diskusi, saya pun mengangkat topik tentang buku gaya selingkung (house style book) sebagai standar yang mestinya dimiliki oleh tim editorial. Banyak penerbit di Indonesia tidak mengembangkan buku gaya ini, bahkan negara Indonesia pun tidak memilikinya seperti halnya Malaysia yang memiliki buku Gaya Dewan. Mereka pun menjawab standar disebabkan bahasa pengantar mereka sebagian besar adalah Inggris, mereka dapat menggunakan buku Chicago Manual of Style.

Lalu, topik berganti ke topik lain sampai pada suatu persoalan menarik tentang hubungan antara penulis dan editor. Di mana-mana sama bahwa penulis kerap bentrok dengan editor penerbit disebabkan kesalahpahaman tentang tugas dan fungsi editor. Kemudian, saya melontarkan opini tentang hubungan yang harus dibangun editor dan penulis adalah hubungan yang semi-personal. Mereka semua tertawa, padahal opini ini saya kutip dari editor senior Random House. Apa pasal? Editor yang dapat membangun relasi semi-pribadi dengan penulis dapat mencairkan suasana pengembangan dan penyuntingan sebuah naskah sehingga mereka dapat berdiskusi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Begitu maksudnya meskipun saya coba melontarkan joke: mungkin editor harus berpacaran atau malah menikah dengan penulis. :)

Kesan saya dari forum editor ini biasa saja mengingat tampaknya mereka belum paham benar seberapa besar dan majunya Indonesia. Melihat buku-buku yang mereka produksi lengkap dengan pengembangan sarana belajar multimedia, mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan Indonesia. Mereka hanya punya kelebihan berbahasa Inggris, dukungan pemerintah yang kondusif dan nyata, serta kepercayaan diri yang tinggi. Buku-buku teks Indonesia jauh lebih berkembang dan beragam daripada produksi mereka. Sayang, kreativitas pengembangan buku teks ini kemudian terancam mati karena kebijakan BSE dari pemerintah.

Mereka pun tampak saling mendukung dalam pembangunan perbukuan. Orang Filipina begitu royal memberikan penghargaan. Semua orang yang terkait dengan perbukuan diberi penghormatan naik panggung dan dianugerahi penghargaan meski hanya sebuah plakat. Jadi, acara peresmian book fair dipenuhi acara penghargaan dan puja-puji.

Bagaimana book fair-nya? Jauh lebih sederhana jika dibandingkan Indonesian Boof Fair dan Pesta Buku Jakarta. Saya lihat booth-nya REX Publishing juga tidak terlalu luas. Booth-booth lain juga demikian sehingga tidak tampak ada yang dominan. Hanya terus terang bahwa Manila (Filipina) benar-benar surganya buku impor. Bayangkan, buku-buku impor berbahasa Inggris itu bisa berharga seperempat dari buku-buku yang sama di Indonesia. Buku anak? Jangan ditanya. Sebagai ilustrasi buku "Time for Kids: Almanak 2010" cuma berharga 225 peso atau setara dengan Rp45.000 (beli 2 dengan yang 2009, gratis dapat yang 2008). Buku seperti ini di Gramedia bisa berharga Rp200 ribuan. Saya dan Hikmat memborong beberapa buku referensi. Sayang, plesiran di book fair ini cuma sehari sehingga tidak ada persiapan membeli buku besar-besaran.

***

Kita masih tidak kalah sebenarnya dengan Filipina dalam soal kemampuan dan kreativitas. Kita hanya mungkin kurang begitu beruntung dengan kebijakan pemerintah yang menghambat pengembangan buku teks. Saya sendiri yang berkecimpung dalam penerbitan buku umum memang tidak menghadapi kendala berarti. Kendala kita hanya dalam pengembangan ilmu editing (editologi) dan penerapan publishing science dalam konteks yang lebih luas. Editor-editor di negeri kita belum bersertifikasi profesi sebagai editor. Kita miskin pelatihan di bidang editologi, apalagi pendidikan singkat (short course) yang memadai untuk editor. Karena itu, nasib editor pun tidak sebaik nasib editor di negera-negara sahabat lingkup ASEAN yang umumnya sudah mapan dengan profesi plus penghasilan mereka.

Saya melihat ada peluang bahwa kita pun bisa menggelar pelatihan tentang editologi kepada sesama anggota ABPA. Hanya terus terang kendala kefasihan berbahasa Inggris boleh jadi agak menghambat. Saya sendiri merasa harus mengembangkan diri lebih lanjut mengingat teman-teman dari Brunei dan Malaysia sangat memerlukan pembagian pengalaman Indonesia mengembangkan bisnis dan kreativitas penerbitan buku. Indonesia negara besar dengan jumlah konsumen buku luar biasa, sekaligus juga negara yang mampu menghasilkan belasan ribu judul dalam setahun. Karena itu, pengalaman Indonesia jauh lebih kompleks dalam dunia penerbitan buku.

Saya mendapatkan kabar bahwa berdirinya toko buku Gramedia di Malaysia mendorong penerbitan buku berbahasa Melayu besar-besaran di Malaysia. Sebelumnya, buku berbahasa Melayu mendapat perlakuan kelas dua di beberapa toko buku besar. Namun, Gramedia memberi ruang lebih sehingga membantu penerbit bumi putera mengembangkan bukunya. Alhasil, para penerbit Malaysia pun berburu buku berbahasa Indonesia untuk diterjemahkan. Antusias dan minat orang Malaysia mulai tumbuh terhadap buku, termasuk dari Indonesia. Karena itu, secara berseloroh saya mengatakan bahwa wajar jika Malaysia banyak meniru, bahkan kemudian mengakui karya cipta bangsa Indonesia. Soalnya cara berpikir dan mindset mereka terpengaruh oleh buku-buku Indonesia. :)

Demikian sekilas jejak pengalaman selama mengikuti REX-IKAPI Editor's Forum di Pasai City, Filipina. Kesimpulannya kita memerlukan juga kesadaran internasional untuk berbagi agar dunia luar, paling tidak ASEAN juga mengetahui potensi Indonesia. Saya bersama teman-teman Salamadani pernah menerima kunjungan mahasiswa S2 Program Studi Penerbitan University of Malaya. Mereka terkesima dengan kemajuan kita dan kita bisa menunjukkan bagaimana pengalaman editor Indonesia mengelola dan mengembangkan naskah dengan sangat mumpuni.

Mungkin pada acara Indonesian Book Fair nanti, IKAPI pun dapat berinisiatif menggelar editor's forum ABPA dan mengenalkan kemajuan Indonesia dalam dunia penerbitan, khususnya editorial. Andai saja buku saya "Taktis Menyunting Buku" dapat diterjemahkan dengan sponsor IKAPI ke dalam bahasa Inggris, saya yakin paling tidak membuka mata para penggiat buku di ASEAN tentang apa yang dilakukan Indonesia dalam pengembangan editorial penerbitan. Semoga kita tidak selalu dianggap 'kalah' dalam dunia elit penerbitan buku.

Catatan perjalanan Bambang Trim
semoga berguna