Minggu, 06 September 2009

Masihkah ada harapan..?!

Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat batu dan kayu jadi tanaman..... Akankah terjadi pula tikus mati di lumbung beras....... Negeri kaya tapi rakyatnya miskin, tanahnya subur tapi tergantung impor bahan pangan pokok.....

Harian Kompas Senin 24 Agustus menegaskan pada kita kondisi memprihatinkan ini dalam beritanya RI Terjebak Impor Pangan. Menurut data yang berhasil di kumpulkan Kompas, setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Komoditas tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp 900 miliar.

Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar). Sedangkan data Departemen Perindustrian, menyebutkan impor bahan baku susu bagi industri susu maupun industri makanan mencapai 655 juta dollar AS per tahun. Bila ditambah impor dalam bentuk produk olahan, angkanya naik 140 juta dollar AS lagi menjadi 795 juta dollar AS.

Kompas menyimpulkan pada bagian awal beritanya bahwa kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang bias industri mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan pangan warga. Akibatnya, Indonesia kian terjebak dalam arus impor pangan.

Bisa jadi benar, walaupun juga patut pula dipertanyakan kesahihannya. Paling tidak pertama, beberapa pakar dan aktifis gerakan sosial malah mengatakan sejak sepuluh tahun terakhir ekonomi Indonesia mengalami proses menyakitkan de-industrialisasi. Kedua, saya yakin bahwa inilah setting tatanan ekonomi yang ™dipaksakan™ di negeri ini melalui lembaga keuangan internasional hingga WTO maupun melalui saluran hubungan bilateral antar negera maju dan Indonesia. Terakhir, saya meyakini tesis Revrisond Baswir bahwa RI hingga hari ini masih terjebak dalam kubangan struktur ekonomi kolonial.

Berikut adalah petikan artikel Revrisond Baswir (bisnis Indonesia 18 Agustus 2009), Kerakyatan vs neoliberalisme :RI dibangun di atas struktur ekonomi kolonial
........bagaimanakah kondisi perekonomian Indonesia saat ini?

Pertama, sebagai bekas negara jajahan, Indonesia tidak dapat mengingkari kenyataan terbangunnya struktur ekonomi kolonial di sini. Oleh sebab itu, ekonomi kerakyatan pertama-tama harus dipahami sebagai upaya sistematis untuk mengoreksi struktur ekonomi kolonial tersebut. Kedua, liberalisasi bukan hal baru bagi Indonesia, tetapi telah berlangsung sejak era kolonial.

Menyadari kedua kenyataan itu, dapat disaksikan betapa sangat beratnya tantangan penyelenggaraan ekonomi kerakyatan yang dihadapi Indonesia. Tantangan terberat tentu datang dari pihak kolonial. Sejak 17 Agustus 1945, pihak kolonial hampir terus-menerus berusaha menjegal pengamalan cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi tersebut. Oleh sebab itu, setelah mengalami penjajahan baru (neokolonialisasi) pada 1967, tantangan penyelenggaraan ekonomi kerakyatan tentu cenderung semakin berat.

............ ...tidak berarti tidak ada harapan. Peluang kebangkitan ekonomi kerakyatan setidak-tidaknya dapat disimak dalam lima hal berikut. Pertama, mencuatnya perlawanan terhadap hegemoni AS dari beberapa negara di Amerika Latin dan Asia dalam satu dekade belakangan. Kedua, berlangsungnya pergeseran peta geopolitik dunia dari yang bercorak unipolar menjadi tripolar sejak kemunculan Uni Eropa dan kebangkitan ekonomi China.

Ketiga, berlangsungnya krisis kapitalisme AS sejak 2007.
Keempat, meningkatnya kerusakan ekologi di Indonesia pascaeksploitasi ugal-ugalan dalam rangka neokolonialisasi.
Kelima, meningkatnya kesenjangan ekonomi dan sosial di Indonesia

Hegemoni Neoliberalisme : Penjajahan Kurikulum, Cuci Otak dan Pembodohan di Perguruan Tinggi

Sementara itu, telah terjadi penjajahan kurikulum terhadap fakultas-fakultas ekonomi kita. Pengajaran ilmu ekonomi sebatas neoklasikal yang mengemban sepenuhnya paham liberalisme/ neoliberalisme dengan pasar-bebas yang menyertainya. Neoliberalisme tidak pro-job, tidak pro-poor, tidak pula pro-economic nationalism. Maka "daulat pasar" (daulat pemodal) menggusur "daulat rakyat". Pasar-pasar rakyat dan pasar-pasar tradisional digusur oleh supermarkets, malls dan hypermarkets, sehingga terjadi eksklusivisme bagi yang kuat dan marjinalisasi terhadap yang lemah. Rakyat miskin tergusur, pembangunan rakyat akibatnya tidak inherent dengan pembangunan ekonomi.

Bahkan, pengajaran ilmu ekonomi di ruang-ruang kelas bisa mengalahkan pesa konstitusi, Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 dan seterusnya diabaikan. Ini adalah hegemoni akademik, yang membelit dosen-dosen kita menjadi academic followers, yang mudah kagum pada neoklasikal Barat, yang barangkali buta ideologi dan buta perjuangan bangsanya.

Dipetik dari artikel Sri-Edi Swasono "ISEI, Neoliberalisme, dan Ekonomi Konstitusi", di harian Suara Pembaruan, 2009-08-04

.....berlangsungnya praktik pembodohan publik secara masif melalui praktik penggelapan sejarah sejak 1966/1967. Sejarah yang digelapkan tidak hanya berkaitan dengan peristiwa 30 September 1965, tetapi berkaitan pula dengan peristiwa pengakuan kedaulatan Indonesia dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949.

.....terlembaganya sistem "cuci otak" yang bercorak neoliberal dan anti ekonomi kerakyatan pada semua jenjang pendidikan di Indonesia. Sesuai dengan buku-buku yang dipakai pada berbagai fakultas ekonomi di Indonesia , tanpa disadari, sebagian besar fakultas ekonomi berubah fungsi menjadi pusat pengkaderan agen-agen kolonial.

Petikan artikel Revrisond Baswir (Bisnis Indonesia 18 Agustus 2009), Kerakyatan vs Neoliberalisme :RI dibangun di atas struktur ekonomi kolonial

Artikel 3

Neoliberalisme : Penanda Kemenangan Gagasan atau Kemenangan Kelas?

..... berbeda dengan Arianto yang melihat kemenangan neoliberalisme, sebagai refleksi dari kemenangan satu gagasan terhadap gagasan lainnya, saya justru melihat neoliberalisme merupakan penanda kemenangan kelas kapitalis atas kelas buruh.

Ketimbang menempatkan intelektual sebagai agen perubahan sosial, justru inilah saat dimana peran historis kelas pekerja, sebagai satu-satunya kelas yang potensial menjadi revolusioner sangat relevan.

dipetik dari artikel Coen Husain Pontoh di indoprogress

Dorong Koalisi
Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDI-P