Senin, 05 April 2010

Pendidikan Jaman Kolonial

(sebuah cerita)

Dalam sebuah seminar beberapa saat yang lalu, yang diselenggarakan sebuah sekolah tinggi ilmu keguruan dan ilmu pendidikan swasta di Jakarta, saya dapatkan sebuah film berdurasi sekitar 4 menit tentang pendidikan. Menurut saya, film dan pertanyaan yang diajukan oleh pemateri sangat menarik. Film ini bisa dilihat di link:http://www.youtube.com/watch?v=fweO3Sfsj1M. Atau search di youtube.com dengan key words :'education in colonial indonesia'. Saya sangat menganjurkan anda untuk menonton film itu dahulu sebelum membaca tulisan saya selanjutnya.

Film ini sebenarnya memberikan gambaran sekilas tentang pendidikan di Indonesia di jaman kolonial Belanda. Filmnya pun hitam putih dan tanpa suara (lagu latar merupakan tambahan). Di awal film terlihat deretan siswa yang saya tebak kemungkinan siswa SD, duduk manis tersenyum dan mendengarkan guru yang berbicara didepan kelas. Mereka duduk dengan aturan mebel berbaris ke belakang, sama seperti aturan duduk yang sekarang bisa anda lihat di kebanyakan sekolah. Ada yang mencatat dengan semacam papan tulis (berukuran kecil) dan kapur, ada yang sudah menggunakan kertas dengan pena yang selalu harus diisi ulang tinta. Para siswa mengikuti semua yang diajarkan murid, meniru apa yang diajarkan guru. Guru juga terlihat menggunakan papan kecil kau sebagai penunjuk. Untuk siswa yang lebih besar, ada yang sedang belajar tentang peta, menggambar dan praktek teknik (saya menebak ini adalah sekolah yang setara dengan STM sekarang ini). Sungguh menarik menontonnya, karena selama ini saya hanya tahu dari apa yang tertulis dalam buku sejarah yang tidak terlalu detil.

Saat itu kami diminta untuk menonton film ini dengan seksama dan kemudian mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan. Pertanyaannya adalah "apa perbedaan dan persamaan mengenai gambaran pendidikan Indonesia sekarang dengan yang ada di film tersebut". Waktu itu saya berkesempatan untuk mendiskusikannya dengan beberapa teman saya. Kami jadi asyik berdiskusi untuk beberapa saat. Ketika kemudian film ini dibahas, ada beberapa orang yang menyatakan pendapatnya bahwa pendidikan sekarang ini sudah jauh berbeda dengan yang terlihat di film tersebut.

Hmmm... rasanya saya dan teman diskusi saya saat itu kurang setuju dengan pendapat tersebut. Entah bagaimana, kami merasa bahwa yang ada gambaran pendidikan jaman kolonial tersebut masih lebih banyak kemiripannya dengan gambaran pendidikannya sekarang ini. Contohnya anak-anak yang meniru apa yang diajarkan guru, sama persis; siswa duduk manis di bangkunya dan guru dengan metode ceramah memberikan materi di depan kelas; sangat sedikit siswa (bahkan tidak ada) yang bertanya dalam kelas. Kalau saya meminjam istilah yang sering digunakan Indra Lesmana saat menjadi juri sebuah reality show, maka saya merasakan "feel" yang sama setelah menonton film dengan gambaran kondisi pendidikan Indonesia (kebanyakan) sekarang.

Mengenai perbedaannya, yang mungkin terlintas saat itu adalah bajunya yang berbeda. Sekarang siswa kebanyakan sudah memakai seragam sedangkan siswa jaman dulu belum. Setelah beberapa saat saya berpikir hal lain yang berbeda adalah tulisan siswanya. Jika kita amati dan ingat-ingat, tentu kita sadar bahwa tulisan kakek dan nenek kita sangat bagus dibandingkan dengan tulisan anak-anak jaman sekarang. Saya pikir hal ini berkaitan dengan bentuk pulpen jaman dulu yang memerlukan penulisan yang bersambung dan tidak putus.

Tetapi, saya tidak akan membandingkan adanya perbedaan yang disebabkan oleh kemajuan teknologi, seperti misalnya sekarang siswa sudah menggunakan pulpen dibandingkan dengan dulu yang menggunakkan pena tinta isi ulang; pembelajaran di kelas sudah banyak menggunakan ICT. Alasan saya tidak ingin membandingkan hal yang berkaitan dengan kemajuan teknologi karena nantinya saya seperti membandingkan buah duku dengan durian, yang memang sama sekali 2 hal yang berbeda.

Kemudian pemateri memberikan pendapat tambahan persamaan film tersebut dengan gambaran pendidikan sekarang ini, yaitu bentuk mebel dan pengaturan tempat duduknya! Saat pemateri mengatakan hal tersebut, darah saya seperti berhenti mengalir. Bener banget!!! Sejak jaman kolonial sampai sekarang pengaturan posisi duduk siswa (bahkan sampai mahasiswa) juga masih seperti itu. Sebaris bangku, 4 deret ke samping. Lalu terlintaslah pertanyaan dikepala saya, `kenapa ya pembelajaran sekarang masih menggunakan pengaturan mebel seperti itu? Padahal hal yang seperti itu sangat mudah bagi guru untuk merubahnya'. Ini jadi pelajaran berharga buat saya, karena setelah saya renungi, saya juga masih jarang mengubah aturan mebel kelas saya dan membiarkannya seperti itu. Dan kebetulan saya diberikan kesempatan untuk mengajar beberapa kelas, dan saya mencoba mengubah aturan mebel tersebut. Yang terkejut dengan hasilnya ternyata bukan hanya saya, siswa saya pun bertanya-tanya mengapa saya melakukan hal tersebut. Saya merasa bahwa aturan mebel kelas ternyata bisa membuat siswa saya lebih aktif (saat itu saya mencoba dengan duduk melingkar untuk diskusi kelas). Kenyataan seperti ini telah membuat saya untuk berniat terus mencoba aturan mebel lainnya. Sesuatu yang sangat sederhana, yang sepertinya tidak memerlukan banyak biaya untuk mengubahnya, tetapi ternyata berdampak cukup berarti bagi siswa saya.

Persamaan yang cukup mengganggu saya juga adalah adanya kenyataan bahwa main stream pendidikan sekarang masih menggunakan metoda didactic learning, dengan guru banyak berceramah didepan kelas. Sama persis dengan keadaan pendidikan lebih dari 100 tahun yang lalu. Padahal sudah begitu banyak metoda yang berkembang dan paradigma pun sudah berpindah. Paradigma yang saya maksud disini adalah paradigma bahwa pendidikan seharusnya berfokus pada siswa atau student center, bukan lagi berfokus pada guru atau teacher center. Saya yakin paradigma ini juga diajarkan pada universitas pendidik calon guru. Tetapi, kenapa ya, pada kenyataannya prakteknya tidak dijalankan? Apakah metoda ceramah ini sangat efektif dalam pembelajaran dan mampu membuat siswa berpikir ataupun melakukan pembelajaran aktif.

Kok, rasanya tidak ya. Jadi saya menarik kesimpulan bahwa ada sesuatu yang terjadi antara lembaga pendidik calon guru dengan praktek pembelajaran di dalam sekolah itu sendiri yang membuat guru menjadi kembali lagi ke metoda lama seperti ceramah dan didactic learning lainnya.

Jika kita menilik lebih jauh mengenai sejarah Indonesia, saya jadi bertanya-tanya, `apa sebenarnya esensi pendidikan jaman kolonial Belanda?'. Saya memang belum mendapatkan buku sejarah yang secara gamblang menyatakannya (mungkin karena buku yang saya baca tentang sejarah negeri sendiri masih kurang), tetapi sepertinya Belanda ingin `mendidik pribumi' untuk dijadikan `buruh' semata. Walaupun kita juga tidak boleh melupakan, bahwa Belanda membuka sekolah dan mengirim pribumi melalui beasiswa ke negeri mereka dalam rangka politik etika, atau politik balas budi. Tetapi sebenarnya mereka tidak benar-benar ingin penduduk jajahannya untuk berkembang dan menjadi `pintar dan bisa berpikir'. Sedangkan kita sudah bukan lagi di jaman kolonial. Tentu saja tujuan pendidikan Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi mengapa cara-cara pembelajarannya masih mirip dengan saat pembelajaran saat kolonial dulu?

Wow, ternyata dari hanya sebuah film hitam putih tanpa suara berdurasi sekitar 4 menit sudah bisa membuka diskusi yang sangat menarik. Dan saya yakin, sebenarnya jika film dan pertanyaan diatas benar-benar dijadikan topik diskusi maka obrolannya akan menjalar kemana-mana dan sangat bisa jadi tidak habis dibahas 3 hari 3 malam.

Demi kemajuan pendidikan Indonesia, kita harus mencoba berbuat sesuatu untuk merubahnya, dan perubahan tidak akan dimulai jika kita tidak memulainya dari diri kita sendiri.

Salam Pendidikan,
Dona