Rabu, 07 April 2010

I Not Stupid

(sebuah cerita resensi film)

Kok Pin, di mata kita, anak yang tak cakap pada pelajaran matematika dan Bahasa Inggris. Nilainya selalu jelek, Ia sering menghindar dari dua pelajaran yang baginya adalah beban berat, dan ini bukan lagi menjadi harapan dari dalam dirinya, melainkan tuntuan dari Ibunya dan lingkungannya.

Ibunya mendorong dia dengan keras untuk terus belajar focus pada dua mata pelajaran yang bergengsi ini. Ibunya membeli banyak buku dua pelaran supaya Kok Pin bisa belajar dengan baik. Menjajarkannya buku2 itu di depan meja belajar sambil memarahinya agar belajar sengan seirus.

Namun apa yang diharapkan Ibunya tak membuahkan hasil, dan apa yang Kok Pin lakukan hanya menggambar dan menggambar. Lalu menggambarlah dia di atas buku matematika dan Bahasa Inggris itu. Sontak, membuat Ibunya berang marah dengan perilaku Kok Pin yang suka menggambar. Sementara ujian tinggal menghitung hari di depan mata.

Kok Pin susah untuk belajar Matematika dan Bahasa Inggris, nilainya masih tetap buruk-buruk saja. Pendek kata, Kok Pin tidak becus bermatematika dan berbahasa Inggris.

Kecemasan menghantui sang Ibu, kegelisahan berkecambuk menggundah gulana. Dan tak kalah hebat, beban berat semakin menekan-nekan jiwa sang Anak, si Kok Pin.

Tak habis pikir tak kurang akal, Ibunya Kok Pin meminta pendapat pada teman2nya yang sama2 punya anak seuasia Kok Pin. Setelah memperoleh saran bahwa anak yang susah belajar seperti Kok Pin, supaya jangan segan untuk mencambuk dan mengurungnya di dalam kamar.

Saran teman terebut nampaknya jalan lain yang cukup ampuh. Kok Pin kemudian dicambuk dan dikurung dalam kamar yang terkunci rapat layakanya sel tahanan yang telah berbuat kejahatan, disodorkanlah tumpukan buku dua pelajaran itu sambil dimaki-maki bahwa Kok Pin dalam ujian nanti harus mendapatkan nilai 100. Kok Pin berjanji akan berusaha memenuhi harapan dan tuntutan Ibunya.

Lalu ibunya jatuh sakit berat, dirawat di rumah sakit gara-gara memikirkan Kok Pin.

Ujian pun dihadapinya dengan kecemasan yang mencekam. Hasilnya, tentu saja nihil, hanya 50, jauh dari angka 100. Lalu Kok Pin kebingungan harus memberikan laporan seperti apa kepada Ibunya yang itu sama saja beban dan kecemasan semakin bertambah, Kok Pin benar-benar bodoh!

Teman-teman Kok Pin berupaya membantunya dengan cara, nilai kertas ujian temannya yang mendapat nilai 100, diganti saja namanya dengan nama Kok Pin. Namun Kok Pin menolak, hal ini hanya saja akan membohongi Ibunya yang dalam keadaan sedang dirawat di rumah sakit.

Dia berangkat ke rumah sakit menyampaikan hasil nilai uajiannya dengan sakit hati, takut, cemas, dan khawatir. Ketika bertemu dengan Ibunya, ia tertunduk bicara terbata sambil meneteskan air mata: “Maafkan Ibu, saya tidak dapat memenuhi harapan Ibu”. Lalu Ibunya menangis dengan tabah dan pasrah, bahwa anaknya telah berusaha dengan payah melampui ujian tersebut.

Tak lama dari itu, datanglah Guru Kok Pin ke rumah sakit sambil membawa bunga. Ibu Kok Pin kaget atas kedatangan guru, Sang Ibu menduga Kok Pin berbuat ulah yang kurang baik di sekolah.

Ibu Guru itu memberikan bunga sambil mengucapkan selamat kepada Kok Pin, bahwa Kok Pin lolos seleksi dua terbesar, dan akan diikutkan lomba menggambar anak2 sedunia ke Amerika.

Cuplikan film “I Not Stupid” ini sangat berharga bagi kita.

Apa yang menjadi harapan bagi penggiat pendidikan baik orang tua maupun guru belum tentu menjadi potensi dan harapan bagi sang anak. Kita sebagai orang dewasa terkadang egois dengan harapan kita agar menjadi harapan anak. Yang terjadi bukan harapan lagi melainkan tuntutan yang bisa menjadi beban berat bagi anak.

Dalam diri manusia itu terdapat kecerdasan yang beragam, tak hanya eksakta dan bahasa saja. Ada potensi kecerdasan sapasial di mana anak senang mengatur dan menata ruang, musikal di mana anak gemar memainkan alat-alat musik, potensi kecerdasan menggambar di mana anak senang melukis, potensi kecerdasan yang lainnya. Kapasitas otak kecerdasan manusia itu sangat luas, maka manusia juga sering disebut makhluk yang misteirius.

Yang menjadi soal adalah kita sebagai orang dewasa kurang peduli, tidak peka dalam membaca dan mengapresiai potensi anak. Sehingga kita sangat sempit dalam mengakomodasi sebuah prestasi belajar, dalam hal ini kurang leluasa mengembangkan keterkaitan antara prestasi dan potensi dasar dalam diri anak. Lalu hakikat pembelajaran dalam kerangka pendidikan adalah mengasah dan mengembangkan potensi peserta didik. Sementara untuk mengeksplorasi potensi tersebut sepatutnya didasarkan pada apa yang digemari, apa yang disukai, apa yang disenangi.

Lebih jauh, kita harus mendefinisikan ulang secara terus menerus: APA ITU PRESTASI?

Salam
Puti