Selasa, 01 Desember 2009

“Manusia Bersumber Daya”

*Gagasan-Gagasan Segar dan Unik Frans Mardi Hartanto*

Masyarakat kini tidak sekadar menginginkan kehidupan yang nyaman dan tenteram, tetapi sudah mengharapkan kehidupan yang bermakna. Masyarakat tersebut sering kali juga ingin memahami kehidupan dengan wawasan yang lebih luas melampaui apa yang sudah diketahui dan dipahami dengan baik selama ini. FRANS MARDI HARTANTO

Buku setebal 650 halaman lebih karya Frans Mardi Hartanto (FMH), Paradigma Baru Manajemen Indonesia: Menciptakan Nilai dengan Bertumpu pada Kebajikan dan Potensi Insani, yang baru saja terbit ini mengejutkan saya. Mengejutkan? Ya. Buku ini mengejutkan saya karena saya sama sekali saya tidak menduga dapat menikmati buku-tebal yang membahas secara sangat luas konsep-konsep kepemimpinan, organisasi, manajemen, dan bisnis.

Bahasa-ungkap tulis FMH begitu jernih, sangat tertata, dan kaya. Inilah sebuah buku yang—menurut bahasa saya—“sangat bergizi”. Buku ini benar-benar dapat membawa seorang pembacanya asyik bertafakur—berpikir secara hati-hati, sistematis, dan dalam—karena, saya yakin sekali, buku ini dilahirkan oleh penulisnya, FMH, dengan cara bertafakur. Saya setuju dengan pujian Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Djamaludin Ancok, yang menyatakan bahwa “referensi yang digunakan FMH dalam penulisan buku ini adalah referensi yang ditulis oleh tokoh-tokoh ternama dalam bidangnya.”

Sejak kita memasuki halaman-halaman sangat awal—seperti “Prakata” penulis, misalnya—kita sudah dibawa ke suasana yang sangat baru dan berbeda. FMH menulis “Prakata”-nya dengan indah dan benar-benar berhasil memuaskan banyak pihak yang “ingin memahami kehidupan dengan wawasan yang lebih luas melampaui apa yang sudah diketahui dan dipahami dengan baik selama ini”. Saya juga sependapat dengan pujian Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya, Bambang Ismawan, yang mengatakan bahwa “buku FMH dengan ‘Prakata’-nya yang sangat menyentuh ini—tidak hanya harus dibaca oleh para pakar, akademisi, dan praktisi bisnis, tetapi juga para pegiat masyarakat untuk pengembangan keberdayaan masyarakat berkelanjutan”.

Lantas, apa gagasan inti buku ini? FMH ingin sekali mengganti istilah ataupun konsep “sumber daya manusia” menjadi “manusia bersumber daya”. Sebagaimana diringkaskan dengan bagus oleh Giri Suseno Hadihardjono—Menteri Perhubungan RI periode 1998-1999, yang juga memberikan pujian atas buku FMH—istilah “sumber daya manusia” yang bersumber pada teori Barat menganggap manusia sebagai unsur produksi semata-mata dalam rangkaian man, money, machine, material, dan method.

Penggantian itu tidak semata-mata perubahan istilah, tetapi mengedepankan kedudukan dan peran manusia yang sama sekali berbeda dalam rangkaian produksi. Konsepsi “manusia bersumber daya” bertumpu pada falsafah manusia seutuhnya yang mengakui bahwa manusia tidak boleh hanya dianggap sebagai mesin. Manusia harus diperlakukan sesuai dengan hakikat kemanusiaannya. Di dalamnya terdapat potensi insani yang tidak terbatas kemampuannya untuk meningkat apabila kita perlakukan dengan benar.

Dan, menurut saya, FMH tidak sekadar berteori ketika membicarakan soal SDM itu. FMH benar-benar melakukan penjelajahan secara luar biasa dalam menemukan dan kemudian merumuskan secara sangat apik gagasan-gagasannya. Dalam menemukan dan merumuskan gagasan-gagasannya tersebut FMH menggabungkan dua sumber: kebijakan lokal (local wisdom) yang digelutinya selama 40 tahun di Indonesia dan konsep-konsep ilmuwan Barat. Sinergi atas dua sumber yang sangat kaya dan luas itu kemudian melahirkan gagasan orisinal khas FMH.

Saya tak sabar untuk bersegera mengutip gagasan FMH yang saya temukan di bukunya ini. Saya merasakan sekali bahwa apa yang disampaikan oleh FMH ini merupakan bagian pengalaman saya yang sangat bermakna ketika saya bekerja selama setengah abad lebih di Penerbit Mizan. Apa yang diungkapkan oleh FMH ini cukup panjang. Namun, saya akan mencuplikkannya sedikit saja. Bagi Anda yang ingin menikmatinya secara lebih luas, kaya, dan dalam, saya persilakan membaca buku-hebat karya FMH, Paradigma Baru Manajemen Indonesia:

“Hidup, bekerja, dan berusaha dengan berhasil dan bermakna pada era pengetahuan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dewasa yang menyadari jati diri, potensi, dan kapabilitasnya sendiri dengan baik dan mau memanfaatkan itu secara sukarela untuk menciptakan nilai yang tinggi bagi masyarakat dan orang lain di sekitarnya, dalam rangka memenuhi kebutuhannya dari orde yang lebih tinggi.

“Orang yang hidup pada era pengetahuan bukan hanya menyadari sentralitas peran mereka dalam proses penciptaan nilai, melainkan juga menyadari bahwa mereka perlu menjadi anggota yang terhormat di dalam masyarakat yang bhineka. Mereka tahan menghadapi tantangan, termasuk tantangan persaingan dalam hidup, kerja, maupun usaha, tetapi tidak segan untuk mengulurkan tangan persahabatan membangun masa depan bersama yang lebih baik dan sejahtera dengan siapa saja.

“Kita semua bisa dan mampu menghadapi tantangan era pengetahuan, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah kita mau berubah dan meyesuaikan diri untuk menghadapi tantangan baru ini?”

Luar biasa! Pak Frans, kata-kata Anda, yang saya kutip itu, sepertinya Anda rumuskan dan Anda tujukan hanya kepada diri saya. Sungguh, saya sangat senang dan bangga pernah menjadi murid Anda. Dalam kesempatan yang sangat baik ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada Anda, Pak Frans, atas terbitnya buku Anda yang dahsyat ini. Salam dan terima kasih: upaya keras Anda dalam membagikan gagasan-gagasan brilian Anda tentu sangat berguna bagi kemajuan Indonesia.

Jaya Negeriku Sejahtera Bangsaku!

Salam
Hernowo