Selasa, 01 Desember 2009

Jiwa yang Hampa

(renungan keluarga)

Secara materi mereka berkecukupan. Suami dan istri sibuk bekerja sementara anak-anak setiap hari ditinggal bersama orang lain yang mereka bayar jasanya. Walau mereka tinggal satu rumah, namun tidak setiap hari bertemu. Saat mereka sampai di rumah, anak-anak sudah tidur, ketika akan berangkat bekerja anak-anak belum bangun. Hampir setiap hari kondisi ini terjadi berulang.

Memang ada hari libur yang dapat mereka isi bersama, itupun kadang tidak dimanfaatkan. Suami dan istri sangat sibuk urusan masing-masing tanpa mengerti bahwa ada jiwa anak yang perlu diisi oleh mereka, yang tidak akan tergantikan oleh apapun dan oleh siapapun.

Andaikan jiwa itu bisa berteriak, dia akan berkata... ” Ibu! Aku ingin merasakan kembali kehangatan seperti ketika aku berada di rahim Ibu. Aku rindu bersamamu Ibu. Aku rindu gelak tawamu, usapan lembutmu, seperti dulu kau belai perutmu ketika aku masih ada di rahimmu. Dulu kau harap kehadiranku, setelah aku lahir dan hadir di hadapanmu, kau tinggalkan aku, kau biarkan aku bersama orang yang jasanya kau bayar, kau biarkan aku setiap hari tidur dalam keadaan rindu ingin bersamamu”...

Wahai para orang tua, bagaimana perasaanmu, bila melihat anak yang kau harap kehadirannya saat berlari ke sana ke mari, mengisi hari tanpamu dengan jiwa yang hampa? Mungkin mereka bisa tertawa, karena ada si mbak menemaninya untuk tertawa. Mungkin mereka bisa bicara karena ada si mbak jadi teman bicaranya. Namun kehadiran si Mbak tidak akan dapat mengisi jiwanya. Anakmu hidup dalam jiwa yang hampa.

Akankah keadaan ini kau biarkan? Kau biarkan mereka sekedar menyapamu dengan panggilan mesranya... tapi mereka tidak lagi merasa jadi anakmu. Dirimu telah kehilangan anak yang ada di hadapanmu. Mereka hanya sekedar bisa kau sapa, kau besarkan, kau biaya, tapi jiwa mereka tidak lagi tersambung dengan jiwamu.

Astagfirullahal’aziim
Salam
Ermalen Dewita