Senin, 21 Desember 2009

Dunia Aneh dalam Menulis

Siapa bilang menulis bukan merupakan kebutuhan? Nyatanya sebagian besar penduduk negri ini, notabene menyukai yang namanya tulis-menulis. Mulai ibu-ibu yang mencatat belanjaan, bapak-bapak yang mendata gaji, anak-anak sekolah, mahasiswa bahkan santri. Maka, menulis bukan menjadi hal yang asing lagi untuk manusia yang sudah mengenal perabadaban ini.

Namun, dari sekian orang yang memiliki hobby tak sadar soal tulis menulis ini, siapakah yang memiliki tekad untuk menjadi ‘PENULIS PRODUKTIF dan tak sekedar KONSUMTIF”. Artinya tak sekedar menulis asal, tapi menulis secara sistematis supaya lebih mudah dipahami diri sendiri maupun orang lain. Proses memahami dan dipahami ini akan menjadi proses yang sangat menarik dalam dunia tulis menulis. Do you want to know? Simak kajian berikut ini,

***

Sebuah sekolah terfavorti di Salatiga pernah geger. Lantaran seorang siswa pintar sekaligus cerdas bernama Izza Ahsin Sidqi, dengan penuh keyakinan rela memutuskan diri untuk tidak meneruskan sekolah. Bukan karena tak bisa bayar uang SPP, atau karena minder, justru ia sedang menegaskan pada diri sendiri bahwa ia mau menjalani hidup dengan imaginasi dan ekspresi bebas beserta inovasi yang tak terbatas ruang dan waktu.

Pemberontakan yang terang-terangan itu tak hanya membuat guru atau orang tuanya bingung. Namun Salatiga bahkan Indonesia turut geleng-geleng atas fenomena yang tak lazim ini. Bagaimana mungkin, di saat ribuan siswa sedang tegang-tegangnya menghadapi Ujian Nasional, sosok yang kerap dipanggil Izza ini malah rela keluar sekolah secara cuma-cuma. Tak tanggung tanggung lagi! Bayangkan, tiga bulan sebelum ujian terselenggara dirinya hengkang dari dunia sekolah.

Izza mengaku sudah tak bisa menikmati suasana belajar yang selama ini sesungguhnya sudah amat sangat menekan jiwanya. Maka di saat kepenatannya memuncak, pernyataan tegaspun akhirnya dikumandangkan dihadapan kedua orang tuanya. Bahwa ia sudah tak lagi mau bersekolah. Dan bagai diguyur badai ombak, kedua orang tuanya seperti tak siap menerima pernyataan yang demikian menohok itu. Bagaimana tidak, orang tuanya saja guru, masa anaknya tak mau sekolah? Bagaimana kiranya tanggapan masyarakat melihat keadaan yang ganjil ini?

Namun, apapun yang terjadi, Izza tetap besikeras untuk tak mau menjamah lantai sekolah lagi. Dengan segala apa yang bisa ia lakukan, segenap hati, segenap jiwa, ia berusaha meyakinkan kedua orang tuanya. Bahwa ia punya cita-cita besar untuk kehidupan yang ia rasa akan lebih baik.

Semenjak itu (juga semenjak orang tua bersedia memahaminya) kehidupannya mulai berubah. Hari-harinya diisi dengan baca tulis, baca tulis, dan baca dan menulis.
Kamarnya saja sudah layaknya perpustakaan pribadi. Orang pasti melongo melihat suasana ruangan yang heboh seperti itu. Buku-buku bertebaran kemana-mana. Bahkan sempat hampir memenuhi setiap inci lantai. Tapi begitulah Izza, begitulah penulis yang sudah mulai menemukan nyawanya dan merentaskan dahaganya. Buku dan tulisan-tulisan menjadi sahabat setia yang bersedia memahaminya.

Lalu, seberapa asyikkah menulis sehingga membuat pemuda yang masih berumur belasan tahun ini rela mengeksplore berbagai pengetahuan setiap harinya? Mengapa pula di saat orang-orang berkelakar bahwa anak Indonesia memiliki minat baca yang rendah, ia justru memiliki semangat tak terbantahkan untuk berdiskusi dengan beragam ilmuwan lewat buku-buku tebal yang berjejal di rak-raknya. Dan mengapa pulakah anak seusia itu sudah bersedia untuk mencoba bersahabat dengan pikirannya sendiri di setiap waktu? Lalu, seberapa menariknyakah menulis itu sehingga dalam keadaan frustasi, limbung dan tertekan (karena cibiran akibat keluar sekolah), ia telah mampu menghasilkan karya yang dipublikasikan dan diterima oleh publik? Adakah sesuatu yang menjadikannya mampu begitu?

”Bukan kemampuan, melainkan pilihan kitalah yang menunjukkan siapa diri kita, dan membedakan kita dengan orang lain,” tutur Izza dalam bukunya Write, Read and Imagine 2. Sebuah buku yang akhirnya diterbitkan secara mandiri karena tak mau dimanipulasi penerbit.

Rupanya selain radikal, Izza juga selektif dan amat idealis juga kritis. Mungkinkah ini lahir karena kesungguhannya menyelami dunia baca yang membuatnya sering berdialog dengan orang-orang penting yang pernah dimiliki dunia?

***

Cerita singkat soal Izza tadi hanya salah satu dari sekian banyak contoh manusia-manusia yang mendedikasikan dirinya di dunia perenungan atau dalam hal ini ”tulis menulis”. Seberapa menariknyakah dunia kata itu sehingga ada yang rela menghabiskan sepuluh jam untuk membaca juga menulis?

Bayangkan saja, Izza punya jadwal menulis dari jam 13.00 sampai subuh. Kemudian, Rendy Jean Satria, seorang penyair muda asal Jakarta, memiliki jadwal baca mulai jam dua malam hingga jam duabelas siang. Dan yang tak kalah menarik, teman kami, Maia Rasyida, seorang yang mengaku sufi perempuan (alias suka film) asal Salatiga ini, saking gandrungnya di dunia kata, sampai-sampai seperti tak ada hari tanpa merajut kata. Sehingga dalam folder-folder di folder pribadinya, tak heran kalau akhirnya juga penuh deretan kata-kata.

Syair-syairnya, sajak, novel, cerpen, opini, ungkapan jiwa, gemeratak hati, pemikirannya, karya-karya besarnya, dan lain-lain nampak mewarnai komputer-komputer yang berjejal di sekolah. Karya-karyanya pun baik dalam bentuk buku maupun yang telah beredar di media cetak sudah melanglang buana di tingkat lokal dan Nasional.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa dunia kata adalah dunia yang menarik bagai mereka yang ingin mengenali diri sendiri (meski tak sepenuhnya). Karena lewat kata yang kita rangkai-rangkat, kita akan lebih paham tentang pemikiran kita, juga apa yang ada dalam diri kita.

Berpikir dan menulis akan menghasilkan sebuah kontemplasi yang menarik. Berpikir saja tanpa mau menulis hanya akan membuat otak sengsara, karena pikiran kita cepat sekali bergerak dari pikiran satu ke pikiran yang lain. Jika kita berlatih untuk menuliskan apa yang kita pikirkan, maka Insya Allah banyak permasalahan yang sebelumnya berbelit-belit dalam otak menjadi lebih eksplisit alias GUAMBLANG.

MULAI DARI MANA

Mulailah dari niat. Karena akan sangat berbeda rasanya, antara menulis dengan disertai niat menjadi penulis dengan menulis tanpa disertai niat apapun. Ketika niat sudah ditetapkan, maka tekad bisa pelan-pelan kita bulatkan sejalan dengan keyakinan kita yang terus kita pupuk bahwa KITA BISA. Lalu klaim diri kita sendiiri, bahwa AKU INI PENULIS.

Kalau sudah begitu, maka motivasi akan terbangun. Dan diri kita akan berusaha mencari hal-hal yang membuat kita semangat menulis. Untuk menunjukkan pada diri kita sendiri bahwa ”AKU BENAR-BENAR PENULIS,” (meskipun belum ada orang lain yang menganggapnya begitu, Hihi)

Proses awal pembangkitan percaya diri adalah pengklaiman diri sendiri. Karena mengklain diri sendiri sebagai penulis, ternyata bisa membuat diri kita tergerak untuk harus suka membaca meskipun awalnya dipaksa-paksa. Setelah itu kita tergerak pula untuk rajin mencatat kejadian-kejadian berharga setiap hari, bersambung dengan menuangkan pemikiran-pemikiran yang kita pikirkan. Lalu, karena merasa jadi penulis, kita jadi terdongkrak untuk menuangkan ide-ide dan gagasan-gagasan ringan atau yang berat (meski pada awalnya hanyalah menurut pendapat sendiri).

Setelah itu, karena (lagi-lagi) kita adalah penulis, maka jangan salahkan kalau kemudian kita tergerak untuk menulis lepas guna merangkai kata-kata untuk dipahami orang lain. Lalu dalam diri kita muncul keinginan untuk lebih memahami kaidah-kaidah menulis agar tulisan lebih mudah dicerna orang di luar kita.

Disamping mempelajari teori dan teori, (karena kita sudah percaya bahwa kita ini penulis) kitapun tak boleh sudi untuk lepas dari praktek menulis itu sendiri. Jadi kita tak hanya belajar tentang menulis tapi sudah harus belajar MENULIS (dalam hal ini sudah ke tingkat penulisan untuk orang lain). Selanjutnya, biarkan cinta mulai tumbuh karena kadung kulino.

Bukankah wiwiting tresno iku, jalaran songko kulino. Maka, ketika cinta pada menulis telah bersemi. Menulis akan menjadi teraphy yang efektif untuk melepaskan rindu pada kata. Dan tentu, hal itu akan membuat kita terus menulis, menulis dan menulis. Kita akan memasuki dunia yang menarik. Yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang mau mencoba dan berani mengenali pemikiran serta perenungannya sendiri.

Tapi tak cukup sampai pada jatuh hati pada kata saja. Karena sampai di sini, baru kita saja yang mengklaim diri kita PENULIS. Bukankah kita juga berharap supaya orang diluar kita pun menikmati rangkaian kata yang kita urai? Ya, setidaknya kita bisa berbagi dengan orang lain. Syukur-syukur bisa mengambil manfaat dari tulisan kita dan mewujudkannya menjadi tindakan nyata.

Maka pada suatu kesempatan, tergeraklah diri kita untuk memunculkan tulisan ke hadapan publik. Atau kalau perlu kita (Yang telah percaya diri mengklaim diri sebagai penulis ini) mencoba lobi ke penerbit-penerbit, menawarkan tulisan-tulisan yang telah kita hasilkan. Namun, ketika ditolak, kita pun harus terus meneruskan langkah kita. Bisa saja kita cari penerbit lain atau menulis lagi untuk memperbaiki karya kita. Jadi di samping kita menulis lagi, kita tetap bergerak untuk menawarkan karya kita ke penerbit-penerbit yang sesuai.

Syukur-syukur, di suatu kesempatan tak terduga, tiba-tiba ada penerbit memberikan surat pernyataan bahwa karya kita yang ke sekian itu telah diterima dengan senang hati olehnya. Bisa dibayangkan bagaimana rasanya jika satu saja karya kita telah berbentuk buku yang bisa dinikmati orang di luar kita? Lalu melihatnya terpampang di toko buku, dengan nama kita yang gagah mentereng di sana. TARAAAAAAA!

Sejak saat itulah, (sejak orang lain turut menikmati karya kita lewat buku yang telah diterbitkan) , sejarah akan mencatat kita sebagai seorang penulis. Setelah sudah tercatat begitu, apakah perjalanan kita sudah terbilang usai? Owh! Tentu tidak, Sob. Kita masih harus berproses. Dan banyak hal yang harus kita tahu, kita mengerti dan kita baca. Kita tak cukup hanya membaca buku rupanya, tapi kita juga harus belajar membaca realita, lingkungan, masyarakat, bahkan keluarga, orang-orang terdekat, dan diri kita sendiri. Kita juga masih punya tugas untuk terus mengasah kepekaan, kekritisan, daya imaginasi, dan ide-ide yang juga harus terus menerus dikelola. Belum lagi ketika dalam batin kita ada tuntutan untuk memperkaya tulisan dengan bumbu-bumbu yang bervariasi. Atau bahkan mungkin ada tuntutan dalam diri untuk menuliskan hal-hal yang belum terpikirkan orang lain? Maka, banyak sekali ya tuntutan peran dalam dunia menulis itu.

***

Dunia aneh dalam menulis

Sssst...ini agak rahasia. Tapi perlu dibocorkan sedikit saja. Bahwa dalam dunia menulis, fiksi khususnya, kita akan menemukan banyak kejadian yang mengherankan yang terjadi dalam hidup kita. Pengalaman ini pernah saya diskusikan dengan salah seorang teman yang juga penulis.

Lebih lagi, dalam cerita fiksi. Karena, kita seperti sedang membawa diri kita dalam sebuah cerita imaginasi yang tentu tak lepas dari kehidupan nyata. Kalau ditarik lebih dalam, bukankah inspirasi yang kita terimapun sebuah anugerah dari Allah? Lalu kehidupan realita yang kita jalani juga anugerah dari Allah. Secara rasional, bukankah sangat mungkin keduanya itu akan saling berkaitan? Entah dalam kehidupan kita di masa lalu, atau bahkan di masa yang akan datang. Karena dalam menulis selalu ada kenangan, ada memory, dan bahkan harapan.

Untuk seterusnya, rasakan sendiri akibatnya! Rasakan sensasimu! Bacalah apapun yang bisa kita baca, biarkan kata yang mencari kita, datangkan ia ketika kita perlu, sambutlah ide yang mengunjungi kita, dan realisasikan ia lewat deretan kata yang mengucur dari pikiran dan keluar dari dalam hati yang telah menyaringnya dengan hati-hati. Insya Allah, menulis akan menjadi salah satu cara untuk mencari kebenaran bukan sekedar mencari pembenaran. Mari berkarya nyata. Karena kita adalah penulis!

Jika ada kenangan yang hanya kau simpan
Tapi tak pernah kau tuliskan
Itulah kesedihan yang paling menyedihkan
Ia bakal hilang bersama deru

Rendy Jean Satria, (Penyair dan Penulis Novel Jejak Sunyi Penyair)

Wallahu a’lam bisshawab...

Salam Creative,
Fina Az-zahra
Seorang pencari dari Universitas Kehidupan,
Salatiga dan Keguruan Hasyim Asy’ari,
Jombang