Minggu, 06 Desember 2009

Budaya Belajar Lokal

(sebuah cerita & sharing pengetahuan)

Mita baru saja menyelesaikan tugas akhirnya dari Jurusan Komunikasi Universitas Padjajaran. Untuk menyelesaikan tugas akhirnya ia sempat stay in di Bali. Menurutnya setiap tarian memiliki sebuah cerita. Cerita ini dikomunikasikan kepada penonton melalui mimik, gerak, dan musik dan lain-lain. Ia menceritakan kepada saya berbagai makna gerakan dalam tarian, perbandingan antara cerita yang ingin disampaikan melalui tarian dan kisah aslinya (berdasarkan sejarah). Mita menunjukan keada saya foto-foto perjalanannya, kejadian-kejadian seru yang ia alami sewaktu proses penelitian. Terakhir, mita juga menunjukan kepada saya beberapa video rekamannya diantaranya beberapa tarian bali yang ia tontong, dan yang paling mengesankan bagi saya adalah rekaman tarian anak-anak yang sedang belajar menari di sanggar. Karena rekaman ini membuat saya begitu tertarik untuk mempelajari budaya belajar lokal yang Indonesia.

Saya percaya bahwa, selain melalui pendidikan formal, masyarakat Indonesia telah lama memiliki budaya belajar. Di Bali misalnya, hampir setiap anak sewaktu mudanya harus pergi ke pure untuk belajar menari. Seriap hari! Saat seorang belajar menari, ia sebenarnya juga sedang membentuk karakternya. Ia belajar tentang ketekunan, kedisiplinan, kerja sama, konsentrasi, memperhatikan detail, dan begitu banyak hal lainnya.

Saya kemudian ingat perjalanan saya untuk melihat upacara khatam Qur'an di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Di kampung tempat saya mengamati prosesi ini, anak-anak yang yang kira-kira berumur setingkat kelas 3 SD belajar mengaji di surau, setiap hari. Tidak jarang, keluarga yang telah lama merantau dan tinggal di kota lain, seperti Jakarta, membiarkan anaknya pulang kampung selama tahun itu untuk merasakan tinggal di Kampung, dan kemudian mengikuti tradisi belajar mengaji di Surau. Setelah setahun, anak-anak ini akan khatam membaca Al Qur'an. Bulan Juli 2009 lalu, saya ikut melihat prosesi upacara khatam qur'an ini. Bersama dengan masyarakat anak-anak yang khatam Qur'an ini mengadakan pawai keliling kampung. Kampung didandani dengan bendera warna-warni. Di bagian depan pawai ada sebuah truk yang mengeluarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an, diikuti remaja yang membawa bendera merah putih dan bendera tempat pengajian mereka. Juga ada marching band, masyarakat yang mengenakan pakaian adat. Masyarakat lain, yang tidak ikut langsung dalam pawai menonton dari pinggir jalan.

Menonton upacara ini berkesan bagi saya. Saya, sekali lagi menemukan sebuah budaya belajar lokal di daerah lain di Indonesia. Di sana anak-anak harus belajar mengaji ke surau. Setiap hari setelah pulang sekolah. Mereka memiliki target (tujuan instruksional) yang ingin dicapai. Setelah tujaun tersebut tercapai, anak-anak diberi apresiasi atas usahanya, berupa perayaan upacara khatam Qur'an. Setiap anak yang ikut belajar mengaji di tahun itu juga dihadiahi seperangkat alat tulis dan anak-anak yang mengaji dengan sangat baik (semacam juaranya) mendapatkan hadiah yang lebih istimewa. Teman saya misalnya, mengatakan bahwa sewaktu ia muda, ia mendapatkan hadiah kambing, setelah upacara khatam Qur'an.

Budaya belajar lokal yang saya tahu, berasal dari Aceh. Meski saya belum pernah ke Aceh. Saya pernah membaca dari sebuah media bahwa di Aceh ada tradisi untuk ngopi di semacam warung-warung kopi setiap hari (atau setiap pagi?). Di sini proses pendidikan informal terjadi. Di warung-warung kopi proses pertukaran informasi, pengetahuan terjadi dengan sangat cepat. Saya dengar, berbagai isu dibahas di warung-warung kopi ini, mulai dari isu-isu ringan dampai isu politik. Di warung-warung kopi ini, terjadi sebuah proses intelektual, proses diskusi, dan pencerdasan. Suatu hari saya mungkin harus pergi ke Aceh untuk mencicipi kopi Aceh yang nikmat sekaligus membuktikan sendiri ada tidaknya proses belajar di warung-warung kopi di Aceh.

Secara umum, saya baru mengetahui mengenai ketiga budaya belajar lokal di atas. Belajar menari di pure (Bali), belajar mengaji di Surau (Sumatra Barat), dan belajar melalui diskusi (di warung-warung kopi di Aceh). Saya sangat yakin bahwa ada lebih banyak lagi budaya belajar lokal di Indonesia (mungkin teman-teman pembaca ada yang tahu?). Saya percaya bangsa Indonesia merupakan manusia pembelajar, meskipun tak semua masyarakatnya menempuh pendidikan formal. Adanya budaya-budaya belajar lokal diatas membuktikannya.

Mari kita lestarikan budaya lokal, jangan sampai kecolongan lagi oleh negeri lain.
Budaya Indonesia Budaya Istimewa 'tak tertandingi di dunia.