Rabu, 04 Maret 2009

Sekolah Tua di Jalan Pos


Usianya kini genap 150 tahun. Disiplin tetap merupakan bagian terbesar dari tradisi sekolah Santa Ursula. Rut Setio Nastiti berlari kecil menembus lorong panjang bangunan tua berarsitektur Belanda. Dalam sekejap ia sudah menapaki anak tangga menuju kelasnya. Siswi kelas XI IPS 1 Sekolah Menengah Umum Santa Ursula, Jakarta, ini terlambat 16 menit akibat terjebak kemacetan di jalan. Dengan napas yang masih tersengal-sengal, ia melapor kepada petugas jaga, ”Pak, saya terlambat.” Tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Petugas itu menyodorkan selembar kertas, formulir pernyataan keterlambatan, yang harus ditandatangani suster jaga dan orang tuanya. Rut tahu peraturannya. Ia pun tak diizinkan meng­ikuti pelajaran pada jam pertama dan harus menunggu di luar kelas hingga pelajaran berganti.

Sekolah Santa Ursula memang terkenal menerapkan disiplin tinggi. Di­siplin ditegakkan dalam hampir segala hal: soal waktu, pakaian, penampilan, cara bertutur kata, dan banyak lagi. Tradisi ini terus dipertahankan sekolah yang didirikan pada 1859 itu—genap 150 tahun pada tahun ini—hingga sekarang. Menurut Kepala SMU Santa Ursula Suster Moekti Gondo Sasmita, OSU, semua itu untuk kebaikan para siswa sendiri. ”Kedisiplinan mengajak anak bertanggung jawab terhadap apa yang mereka punyai,” kata Suster Moekti.

Tidak cuma itu. Setiap Sabtu, sejumlah siswa SMU Santa Ursula mengunjungi beberapa lokasi di Cilincing, Jakarta Utara. Di sana mereka mengajari anak-anak setempat yang tidak terjangkau pendidikan. Di tempat-tempat itu mereka menajamkan kepekaan sosial, juga melakukan pengabdian. ”Pada inti­nya, kami selalu bilang, buat apa pintar kalau tidak berguna bagi masyarakat,” kata Maria Martha, yang sudah delapan tahun mengajar di sekolah itu.

Saat ini sekolah Santa Ursula mendidik sekitar 5.000 siswa dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Dari jumlah tersebut, 70 persen di antaranya beragama Katolik. Sisanya Islam, Kristen, dan Buddha.

Semua ini dimulai ketika enam suster Ursulin dari Belanda diundang Keuskupan ke Indonesia pada 1856 dengan maksud membuka rumah pendidikan. ”Waktu itu, anak-anak kolonial butuh pendidikan yang baik,” ucap Suster Edith Watu, OSU, Ketua Yayasan Satya Bakti, yang menaungi sekolah Santa Ursula di Jalan Pos, Jakarta.

Sekolah pertama yang mereka dirikan adalah Santa Maria di Jalan Juanda. Tiga tahun kemudian, berkat kegigihan Suster Andrea, dibangunlah sekolah Santa Ursula, yang awalnya terletak di Pasar Baru. ”Iya, semacam perluasan,” kata Suster Edith. Lantaran jumlah murid terus berkembang, sekolah Santa Ursula akhirnya dipindahkan ke belakang Katedral untuk menempati gedung yang lebih luas, tempat sekarang berada.

Pada awalnya, sekolah Santa Ursula disebut sebagai klein klooster atau biara kecil. Adapun yang di Juanda disebut klooster atau biara besar. ”Mengapa disebut kecil? Karena itu pelebaran dari Juanda tadi. Tapi dalam kenyataannya tidak klein. Justru sekarang jauh lebih besar dari yang di Juanda,” tutur Suster Edith.

Saat sekolah Santa Ursula didirikan, hanya murid usia taman kanak-kanak yang mereka didik. Lalu, sesuai dengan kebutuhan, perlahan-lahan mereka mengembangkan pendidikan berkualitas di tingkat yang lebih tinggi: sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan terakhir sekolah menengah atas. ”Tapi kita mulainya kan pada 1859. Jadi itu awal berdirinya,” ujarnya.

Kini, satu setengah abad berselang, sekolah Santa Ursula di Jalan Pos Nomor 2, Jakarta Pusat, itu tetap bertahan. Beberapa bangunan kolonial masih dalam wajah aslinya. Termasuk koridor panjang yang bersih. Taman sekolah yang cukup sempit ditata sedemikian rupa hingga tak terkesan sumpek. Fasilitas ekstrakurikuler juga lengkap: lapangan olahraga, ruang aula, tempat peribadatan.

Perpustakaannya ditata secara unik. Perpustakaan untuk murid SD didesain bernuansa hutan. Beberapa pilarnya didesain menyerupai pohon. Di lantai dua ada ruang multimedia yang mirip bioskop mini. Ruang perpustakaan bagi murid SMP dan SMU menjadi satu kesatuan yang terdiri atas empat lantai. Ruang rekreasi menempati lantai pertama, ruang buku dan baca di lantai kedua dan ketiga, sedangkan lantai keempat digunakan untuk ruang multimedia dan Internet.

Tapi itu semua hanya pelengkap. Yang paling utama adalah proses belajar yang sifatnya kooperatif. ”Guru bekerja sama dengan murid untuk membahas soal bersama,” kata Danan Sundari, guru matematika SMU. Menurut dia, cara ini sangat efektif sehingga anak tidak lagi dijadikan obyek pembelajaran, tapi terlibat langsung dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Guru harus tetap dihormati. Tapi guru juga merupakan teman belajar atau fasilitator. Hubungan antara murid dan guru pun menjadi lebih akrab. ”Memberikan perhatian kepada setiap anak menjadi roh pendidikan untuk Santa Ursula,” katanya.

Selain belajar secara teori, para siswa diberi kesempatan bertukar pendapat dengan para praktisi. Untuk kehidupan sosial politik, misalnya, tak jarang mereka menggelar seminar dengan mendatangkan pembicara sekelas Akbar Tandjung, Yenny Wahid, atau Nurul Arifin. ”Kebetulan Akbar Tandjung anaknya di sini,” ujar Suster Moekti.

Meski penerapan disiplin sangat ketat di lingkungan sekolah, murid-murid tetap merasa bangga menjadi bagian dari keluarga besar Santa Ursula, yang memiliki seragam khas rok bermotif kotak-kotak hijau. Sheiren Felicia Jaya, murid kelas XI IPA 2, contohnya, merasakan manfaat yang sangat besar dengan kedisiplinan. Ia banyak memetik manfaat dengan terbiasa tepat waktu dan bisa mengatur waktu.

Finka Hendratantular, kelas XII IPS, punya cerita lain. Ia sudah bersekolah di Santa Ursula sejak SMP dan merasakan kekompakan dan kerja sama di antara siswa, yang semuanya perempuan. Meski begitu, pada awalnya ia merasa sangat berat karena adanya berbagai aturan itu. Pernah ia dihukum gara-gara disangka mengecat rambutnya. ”Saya enggak suka dihukum. Enggak nyaman masuk sekolah kalau ada masalah sama suster dan guru,” katanya..

Toh, meski suasana belajar terkesan konservatif, banyak hal positif yang dapat dipetik dari bersekolah di Santa Ursula. Ezther, lulusan 2003 yang kini bekerja di sebuah perusahaan swasta, mengaku disiplin membuat dirinya lebih mandiri. Dan itu terus terbawa dalam suasana kerja. ”Sebab, di sana kita diajari untuk melakukan segala hal sendiri. Pekerjaan anak lelaki pun kita kerjakan sendiri,” katanya.

Dalam kurun 150 tahun, telah banyak perubahan yang terjadi di sekolah Santa Ursula. Namun kedisiplinan dan sistem pendekatan kepada para murid tak pernah berubah. ”Pelajarannya sesuai dengan kurikulum nasional. Tapi bagaimana kita melayani anak-anak dengan rohnya itu yang membuat berbeda,” ucap Suster Moekti.

Firman Atmakusuma, Ismi Wahid