Rabu, 25 Maret 2009

Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia

Apa jadinya, jika anak-anak muda anonim pencetus sumpah pemuda bangkit dari kubur dan mendapati anak-anak muda sekarang saat bicara dan menulis lebih suka nginggris, ketimbang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Siswa sekolah pun, kini menempatkan bahasa Indonesia pada nomor urut sepatu, tidak lagi menjadi pelajaran favorit. Tidak favorit berarti tidak penting untuk dipelajari. Terbukti hasil ujian nasioanal (UN) tiga tahun terakhir terus mengalami penurunan.
Untuk tingkat SMP, nilai rata-rata UN bahasa Indonesia tahun 2006 adalah 7,46, tahun 2007 turun menjadi 7,39, dan tahun 2008 turun menjadi 7,00. Untuk tingkat SMA jurusan bahasa nilai rata-rata bahasa Indonesia tahun 2007 adalah 7,40, kemudian tahun 2007 turun menjadi 7,08, dan tahun 2008 turun menjadi 6,56. Hal yang sama terjadi untuk SMA jurusan IPA dan IPS.
Tak hanya itu, kurang favoritnya bahasa Indonesia juga menyebabkan rendahnya minat siswa memilih jurusan bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Akibatnya jurusan Bahasa Indonesia di sejumlah perguruan tinggi kekurangan mahasiswa, bahkan ada yang terancam ditutup. Menekuni beberan perangkaan di atas, barangkali benar, kalau ada yang mengatakan pesona bahasa Indonesia telah memudar, dan tak lagi sakti. Kalah dengan bahasa asing, terutama inggris dan mandarin.
Guru bahasa dadakan Beberapa asnad di atas juga memunculkan pertanyaan penting: faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pudarnya pesona bahasa Indonesia. Dan upaya seperti apa yang harus dilakukan agar pesona itu hadir kembali. Paling kurang, ada tiga sebab yang mengakibatkan pudarnya pesona bahasa Indonesia.
Pertama, tidak seluruh siswa mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia dari guru (sarjana) bahasa Indonesia. Dengan asumsi seorang sarjana bahasa tentu mumpuni di bidang bahasa. Karena alasan kurangnya jumlah pengajar, guru berkompetensi di luar rumpun bahasa, misalnya guru olahraga, fisika, atau matematika terpaksa (dipaksa?) mengajar bahasa Indonesia.
Tak masalah jika guru bahasa Indonesia dadakan itu tergolong seorang munsyi-komprehensi ganda antara seorang dengan inklanasi kesukacitaan berbahasa Indonesia, dan karena itu terpanggil untuk menguasainya, dan seorang yang tertantang untuk menghasilkan bentuk bahasa tulis yang kreatif dalam identitas kepujanggaan di atas sifat-sifat kedibyaan budaya (Alif Danya Munsyi, 2005). Jika ternyata betul-betul mendadak guru bahasa Indonesia, silakan Anda hitung sendiri, resiko ”kekacauan” (kognisi, afeksi, psikomotorik) keberbahasaan yang bakal ditimbulkan.
Oleh sebab itu, kalau memang secara kuantitas dan kualitas guru bahasa Indonesia sudah mentok, tidak bisa ditingkatkan lagi, menurut hemat saya, salah satu cara untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan meminta para munsyi untuk turun gelanggang, mengajar siswa dan guru di sekolah-sekolah.
Kedua, tujuan penilaian kurang dipahami banyak pihak. Yang dikejar sekadar nilai akhir saja. Sudah begitu, semata-mata bersifat kuantitatif. Padahal berbicara tentang bahasa tentu akan berkaitan dengan ekspresi bahasa/praktik bahasa (aspek kualitatif). Dari segi praktiknya, bahasa memunyai empat ranah penguasaan. Sesuai dengan urutan tumbuh kembang manusia, yaitu aspek mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Ketika mengikuti pembelajaran, mestinya siswa juga didorong untuk mengaitkan apa yang telah mereka dapat dengan pengalaman mereka sendiri saat menghabiskan jejulur waktu kehidupan. Baik di sekolah, rumah, maupun lingkungan pergaulan. “Ketika para siswa dapat mengaitkan isi dari matapelajarannya dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar,” tulis Elaine B. Johnson dalam Contextual Teaching and Learning. Pandangan Elaine ini menegaskan bahwa siswa akan memiliki motivasi belajar jika mereka diminta “mengaitkan” bukan sekadar menghafal.
Ketiga, bahasa Indonesia, ibarat produk, lebih sering ditawarkan secara inferior. Tidak dikemas bagus, tapi ala kadarnya, monoton, sehingga siswa sebagai konsumen tidak tertarik membeli. Guru sebagai pemasar tidak mampu menyakinkan kepada calon pembeli, bahwa produk yang dibawanya itu penting dan penuh manfaat. Cara-cara pemasaran yang digunakan juga masih tradisional.
Maka dari itu, perlu satu terobosan baru tentang bagaimana mengemas pembelajaran bahasa Indonesia agar menarik sehingga menerbitkan rasa cinta, dan semangat belajar. Kalau para siswa cinta, mereka akan memberikan perhatian tinggi terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia, melebihi yang kita harapkan. Terobosan baru itu misalnya, dari aspek writing dapat memanfaatkan blog sebagai ruang kreatif siswa. Tabiat asli blog yang bersifat personal, akan memampukan mereka menulis tentang apapun yang mereka suka, sepanjang apapun yang mereka mampu. Dalam ranah listening, reading, dan speaking, siswa juga secaralangsung dapat dikenal dan sentuhkan pada dunia yang sangat erat kaitannya dengan bahasa Indonesia, yaitu dunia literasi (keberaksaraan) . Lebih spesifik lagi adalah dunia perbukuan, jurnalistik, perfilman, dan periklanan.
Secara periodik, pembelajaran dapat dilakukan di luar kelas melalui kunjungan ke pameran buku, bertamu ke rumah para pengarang dan penulis, melibatkan diri dalam diskusi perbukuan, menghadiri undangan peluncuran buku, kunjungan ke media massa dan penerbit buku (wisata baca), dan lain sebagainya. Dengan begitu, pembelajaran bahasa Indonesia menjadi demikian hidup, dinamis, dan penuh kejutan-kejutan baru.
-artikel ini dimuat di Kompas, Senin 12 Januari 2009-