Rabu, 04 Maret 2009

Pengembangan Diri Berbasis Fitrah


Tulisan ini nyaris sepenuhnya pendapat pribadi saya. Pun demikian, saya sangat terinspirasi oleh dua hal. Yang pertama adalah sebuah buku yang sempat saya baca belakangan, judulnya "40 Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak" karangan Drs. Muhammad Thalib. Kedua, konsep "Generation C" yang bergulir belakangan ini. ("C" adalah "content". Generation C adalah generasi yang didominasi oleh individu dan pribadi yang punya "content". Jargonnya "It's About You", atau "It's Me".)

Lebih dari itu, saya tetap yakin bahwa keterbukaan pikiran dan perenungan Anda, sangat mungkin akan mengantarkan Anda menemukan benang-benang merah yang bisa jadi selama ini justru Anda cari.
Semoga.

Mari kita mulai dengan yang paling mendasar.

Sesuai fitrah, Tuhan yang Maha Menciptakan telah menciptakan manusia dengan karakteristik yang khas dan berlaku universal. Dan jika sesuatu berlaku universal, kita bisa mengatakannya sebagai "hukum alam". Dan sebagai hukum alam, maka sifatnya adalah "hampir pasti".

Manusia dilahirkan sebagai bayi, yang kemudian tumbuh besar menjadi dewasa,lalu mati. Ada manusia laki-laki dan ada manusia perempuan. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak manusia, ada usia-usia khusus yang punya keistimewaan. Itulah hukum alam, hukum yang dianggap "pasti" sesuai Sunatullah.

Kita mengenal adanya "the golden age", usia sekitar batita atau balita. Menurut penelitian, usia itu dianggap sangat penting karena merupakan waktu bagi terbentuknya berbagai konsepsi, sistem keyakinan, proses pembelajaran dan berkembangnya berbagai bentuk kreatifitas.

Kemudian, secara fitrah ada juga masa yang disebut dengan "akil baligh".

Pada usia itu, Tuhan menentukan bahwa individu yang bersangkutan, mulai dianggap mandiri dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Ia dianggap mulai mampu bertanggungjawab, mandiri, dan berdikari dalam hidup di dunia nyata. Pada masa itu ia diharuskan mulai memahami baik atau buruk, benar atau salah, menguntungkan atau merugikan, keputusan tepat dan tidak tepat, tindakan benar dan tindakan salah, sikap baik dan tidak baik, cara berpikir empower atau disempower, kreatifitas positif dan kreatifitas negatif, dan seterusnya.

Apa yang menjadi ciri utama dari usia akil baligh itu, adalah bahwa individu yang bersangkutan mulai mengalami perubahan dan perkembangan pada dirinya, baik secara fisik maupun mental.

Jika ia wanita maka ia akan mulai haid, jika ia pria maka ia akan mulai bermimpi basah. Keduanya, akan mulai menyukai lawan jenis. Suara mereka mulai berubah. Si wanita akan mulai membesar buah dadanya, dan si pria mulai berubah suaranya dan mulai menonjol jakunnya.

Pola pikir, sistem keyakinan, berbagai konsep jati diri, juga mulai berkembang pada diri mereka di masa-masa itu. Mentalitas mereka mulai bergolak mencari dan menemukan berbagai hal, yang akan menjadi template dasar kedewasaan mereka.

Berbagai hal dari dunia luar yang terekspos kepada diri mereka pada masa dan usia itu, akan membentuk siapa diri mereka nantinya. Berbagai hal itu, cenderung akan melekat kuat sampai akhir hayat. Bayangkan ini, sesuatu yang memotivasi pada usia itu, bisa jadi akan memotivasi mereka seumur hidup. Sesuatu yang men-demotivasi pada masa dan usia itu, sangat mungkin akan melumpuhkan mereka seumur hidup. Bagaimanakah itu semua jika dikaitkan dengan produktifitas? Dengan keberhasilan menciptakan kreatifitas? Dengan keberhasilan bisnis? Dengan aspek kepemimpinan dan organisasi? Dengan berbagai karya dan buah tangannya? Dengan relationship dan kehidupan sosialnya?

Kita yakin bahwa Tuhan Maha Menciptakan dan Maha Tahu.

Maka, sebuah kombinasi antara usia tertentu dengan perubahan dan perkembangan fisik serta mental pada diri mereka yang akil baligh, tentunya adalah ramuan terbaik dengan timing yang terbaik, untuk membentuk pribadi-pribadi manusia dewasa yang berhasil di dunia dan di akhirat kelak. Itu sebabnya, moment akil baligh itu dianggap sebagai saat yang paling tepat untuk mengekspos dan meng-unleashed berbagai hukum, hak dan kewajiban, dan berbagai pilihan yang menjadi tanggung jawab pribadi secara mandiri.

Kita, akhirnya bisa mengatakan bahwa usia akil baligh itu, adalah "the second golden age".

Usia batita dan balita adalah saat terbaik untuk meng-imprint berbagai proses awal pembelajaran secara internal. Kemudian, usia akil baligh adalah moment yang tepat untuk memperkenalkan mereka dengan dunia nyata dan dunia luar. Untuk hidup di dalam kenyataan.

Sekali lagi, semua itu adalah ketentuan Tuhan yang universal sifatnya, atau dengan dengan kata lain semua itu menjadi hukum alam, yang "hampir pasti" akan membentuk hasil akhir dari pribadi-pribadi manusia.

Pertanyaannya, jika secara spiritual fenomena kombinasi antara usia dan perubahan serta perkembangan fisik dan mental itu dianggap sebagai kondisi dan saat yang paling tepat untuk mengaktivasi berbagai konsep positif dan sistem keyakinan, tidakkah kondisi dan moment itu juga merupakan saat yang paling tepat baginya untuk memulai pengembangan diri untuk kepentingan duniawi?

Tidakkah itu juga merupakan saat yang paling tepat, bagi si anak untuk mulai memahami mana kreatifitas yang bagus dan yang tidak? Mana yang pilihan profesi masa depan yang cocok dan yang tidak? Mana profesi yang baik atau tidak baginya? Mana peluang bisnis dan usaha yang menguntungkan sesuai karakter pribadi atau tidak? Bagaimana memahami sebuah pilihan keputusan di dunia nyata berdampak baik atau buruk? Bagaimana sebuah pilihan kepemimpinan yang dilakoninya berpengaruh positif atau negatif? Apakah sebuah pilihan sikap akan menjadikannya sebagai pribadi yang tahan banting atau yang loyo? Manakah yang cocok baginya sebagai karyawan atau entrepreneur? Apakah ia lebih baik jadi seniman atau orang kantoran? Apakah di masa depan ia akan menjadi pedagang atau menjalankan restoran?

Ingatlah sekali lagi, hukum alamnya adalah; apapun yang terjadi pada masa-masa itu, cenderung akan melekat sangat kuat sampai akhir hayat. Bagaimana dewasanya, sangat terpengaruh oleh moment dan masa itu.

Sekarang, mari kita refleksikan cara berpikir di atas ke berbagai hal yang berlangsung di sekitar kita, atau bahkan pada berbagai hal yang ada di tangan kitalah kekuasaannya.

Bagaimana Anda melihat dan menyikapi semua fenomena ini?

Seorang anak kelas empat SD, sambil sekolah berjualan jus buatan ibunya kepada teman-temannya. Seorang anak lain yang kelas lima SD, tidak hanya bertukar-menukar kertas "fel" dengan teman-temannya, melainkan membisniskannya dengan keuntungan seratus dua ratus rupiah. Apakah Anda menyikapinya sebagai sesuatu yang keterlaluan dan mengada-ada? Atau Anda menyikapinya sebagai sebuah proses pembelajaran di moment yang tepat?

Seorang anak kelas dua SMP, sarapan paginya masih disuapi oleh pembantu. Apakah menurut Anda, itu adalah sebuah kewajaran tentang memanjakan anak, karena orangtuanya sudah bersusah payah bekerja untuk menyenangkannya? Apakah menurut Anda anak itu memang semestinya begitu dan tidak perlu bersusah payah seperti orang tuanya? Atau Anda melihat bahwa fenomena itu justru akan mengkibatkan kelumpuhannya di masa depan karena menyia-nyiakan moment paling tepat untuk mencetak keberhasilan?

Anak-anak SMU dihindarkan dari menyibukkan diri dalam berorganisasi atau berwirausaha, kecuali apa yang menjadi ekstrakurikulernya. Mereka belum banyak dianjurkan (mungkin malah tidak dianjurkan) menyambi berbisnis atau menjalankan pola-pola entrepreneuship. Mahasiswa dan mahasiswi diminta untuk masuk mengurung diri di dalam kamar saja. Belajarlah, carilah nilai yang tinggi. Apakah menurut Anda itu adalah sebuah keharusan demi tercapainya gelar dan perbaikan hidup di masa depan? Atau Anda bisa melihat bahwa semua itu adalah penundaan atau bahkan sebentuk kehilangan moment yang berharga? Atau, Anda bisa melihat bagaimana mereka yang lulus dengan nilai sangat baik bisa jadi justru tergagap-gagap saat menghadapi dunia kerja dan dunia bisnis?

Para nabi, sebagai contoh manusia-manusia sukses dan berhasil, telah mulai mandiri dan berdikari dengan pengembangan diri dan dengan upaya bisnis sejak usia belasan. Menggembala kambing, atau berdagang ke penjuru negeri.

Bagaimana dengan pemandangan ini?

Seorang ayah, menimbuni anaknya dengan berbagai buku dan permainan edukasi. Semata-mata hanya untuk anaknya. Seorang ayah yang lain, melengkapi sebuah ruangan di rumahnya dengan seribu buku, berbagai permainan edukasi, dan kemudian mendorong anaknya untuk mau menekuni dan mengelola sebuah perpustakaan mini, learning club, pusat pertukaran buku, dan penyewaan komik serta majalah.

Di sebuah SMP, selain belajar anak-anak juga menjalankan sebuah media majalah sekolah yang bukan cuma mading. Ada dewan redaksinya, ada reporter, fotografer dan wartawannya, ada yang mengurus ke percetakan dan ada bagian administrasinya. Mereka tidak hanya menjalankannya sebagai hobi atau ekstra kurikuler, melainkan sebuah bisnis yang nyata. Sebab mereka juga digaji walau ala kadarnya. Sebab mereka juga melakukan aktivitas pemasaran untuk iklan. Mereka juga berusaha keras untuk selalu menaikkan tiras.

Di sebuah SMU, ada radio sekolah. Ada penyiar, ada announcer dan ada redaksinya. Mereka meeting dengan serius karena sebuah bisnis tentulah bicara uang. Mereka juga digaji dan dibayar sesuai kinerja. Mereka didorong untuk mandiri dan berdikari, mereka bahkan diupayakan untuk mulai mampu membiayai hidupnya sendiri sedini mungkin.

Tiga contoh terakhir baru terlintas di angan-angan saya saja. Akan tetapi, bagaimanakah Anda menyikapinya. Apakah itu mengada-ada? Apakah itu penyelewengan dunia pendidikan? Atau bahkan sebentuk eksploitasi anak?

Atau, Anda mulai melihatnya sebagai sebuah upaya memanfaatkan moment yang paling tepat bagi mereka, karena Anda tahu bahwa moment itu jelas tak akan terulang kembali.

Bagaimana Anda melihat Mark Zuckerberg, si pemilik Facebook yang masih teramat muda dengan sebuah perusahaan bernilai 500 triliun rupiah? Bagaimana Anda melihat Bill Gates atau Adam Khoo yang mendapatkan satu juta dollar mereka di usia dua puluh? Saya kok yakin, bahwa mereka tidak ujug-ujug menjadi manusia yang sukses secara dunia. Pastilah ada apa-apanya di usia akil baligh mereka.

Masihkah kita harus memenjarakan anak-anak dalam sangkar emas, dengan dasar keinginan kita di masa depan? Masihkah kita memegang keyakinan bahwa fokus mereka semata-mata hanyalah belajar? Bukankah "the second golden moment" itulah yang akan membekas kuat sampai akhir hayat? Tidakkah itu saat yang paling tepat bagi mereka untuk belajar dan memahami dunia nyata?

Masihkah kita berkeyakinan bahwa semua itu adalah untuk kebaikan mereka? Tidakkah kita mestinya mulai berpikir bahwa apa yang kita lakukan selama ini bisa jadi justru menunda, mengamputasi, atau bahkan melumpuhkan mereka di masa depan?

Bukankah Yang Maha Tahu telah mengindikasikan pentingnya "the second golden moment" itu? Bahwa aspek spiritualitas memang tak terpisahkan dari kehidupan duniawi. Bahwa keseimbangan dunia dan akhirat adalah jalan terbaik. Bahwa moment itu tak boleh tersia-sia karena khawatirnya orang tua tentang "harapan dan cita-cita orang tua"?

Saya mulai bertanya-tanya, bagaimana caranya mulai mengajari anak-anak saya yang masih SD, untuk mengembangkan diri dalam kepemimpinan, organisasi, manajemen, berkehidupan sosial yang lebih dari sekedar bermain, dunia bisnis, atau keterampilan untuk mandiri dan berdikari lainnya. Apakah saya kejam? Atau justru saya membantu mereka mengembangkan diri pada moment yang tepat sesuai fitrah? Atau, cukuplah saya memfokuskan mereka di meja belajar dan membiarkan moment fitrah untuk mandiri dan berdikari itu berlalu begitu saja?

Semoga membenangmerahi.

*Ikhwan Sopa*
Master Trainer E.D.A.N.
http://milis-bicara.blogspot.com