Kamis, 12 Maret 2009

Internet Bikin Kita Dangkal?

Oleh Putut Widjanarko
Nicholas Carr masygul. Penulis buku Does It Matter? dan The Big Switch: Rewiring the World itu merasa ada yang berubah dalam dirinya dalam beberapa tahun terakhir. Utamanya menyangkut kebiasaan membacanya. Kini tak mudah lagi baginya menenggelamkan dirinya membaca buku tebal atau naskah-naskah yang panjang, begitu keluhnya yang dia tulis di The Atlantic Monthly (Agustus 2008). Dulu asyik baginya terbuai oleh prosa, menggumuli narasi teks dan mencermati setiap argumen yang disajikan. Belakangan, konsentrasinya buyar setelah membaca tiga halaman, dan tergoda untuk melakukan hal lain. Perlu usaha lagi untuk menyeretkan perhatian kepada teks yang sedang dibaca. Pembacaan-mendalam (deep reading) yang baginya dulu mudah dan alami, kini perlu perjuangan. Carr mengaku tak sendiri mengalami hal ini. Beberapa koleganya yang dia tanyai bersaksi akan hal yang sama. Malah ada yang sudah berhenti membaca buku sama sekali.
Kesimpulan Carr:
Merasuknya Internet dalam kehidupan adalah penyebab dari perubahan ini. Betapapun, dia tak menolak kegunaan luar biasa Internet. Sebagai peneliti, kehadiran Internet membuat proyek-proyek penelitiannya mudah dilakukan. Masukkan kata yang ingin diketahui dalam mesin pencari Google, klik sana klik sini, beberapa menit (kalau tidak detik) kemudian muncullah informasi yang diinginkan. Padahal pada zaman pra-Internet, informasi yang sama mungkin baru bisa ditemukan setelah berhari-hari mencari di perpustakaan. Bahkan jika tidak sedang bekerja, dia biasa berselancar membaca e-mail, lalu membaca sepintas headline surat kabar, mungkin lalu membaca blog sepintas, dan seterusnya. Lompat sana lompat sini di dunia maya dalam waktu singkat. Belum lagi kalau juga membuka beberapa window lain, sehingga semua pembacaan selintas dilakukan secara paralel dan singkat-singkat.
Internet, keluhnya, telah mencacah kemampuan untuk berkonsetrasi dan berkontemplasi. Kata Carr, “Dulu saya adalah seorang penyelam di samudera kata. Kini saya seperti sedang naik jet ski meluncuri permukaan laut saja.” Kegalauan Carr tampaknya mendapat dukungan ilmiah. Sebuah penelitian dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan dari University College London tentang pola riset online. Selama lima tahun, mereka meneliti dua situs populer untuk riset (satu dimiliki oleh British Library dan yang lain oleh sebuah konsorsium pendidikan) yang menyediakan akses ke jurnal elektronik, buku-elektronik, dan informasi penting lainnya. Mereka mencatat bagaimana orang yang melakukan riset menggunakan dua situs itu. Mereka menemukan bahwa orang lebih sering lompat-lompat, dari satu artikel ke artikel lain, dan amat jarang kembali ke artikel-artikel yang sebelumnya sudah mereka kunjungi. Umumnya pengguna situs itu hanya membaca dua sampai tiga halaman pertama, sebelum meluncur ke situs lain.
Kesimpulannya:
Tampaknya ada kebiasaan baru dalam membaca karena dimungkinkannya peselancaran (browsing) secara horizontal dari satu sumber ke sumber lain. Sebenarnya Sven Birkerts, juga seorang penulis, telah mengungkap kecemasan yang sama dengan Carr ketika menerbitkan bukunya, The Gutenberg Elegies: The Fate of Reading in an Electronic Age (1994), pada zaman-zaman awal Internet. Menurutnya, membaca adalah sebuah suaka yang paling pribadi dan subjektif. Sebuah ruang-hening yang personal. Melewati bahasa, pembaca secara aktif menerjemahkan teks untuk dirinya—sebuah penggalian makna dan penjelajahan ke kedalaman.
Dalam deep reading, waktu seolah berhenti—waktu dialami tanpa sadar bahwa waktu itu berjalan. Itulah sebuah waktu yang meditatif. Pola membaca via Internet jauh dari sifat waktu meditatif itu. Kemudahan tanpa hambatan (kecuali hambatan bandwidth) untuk lompat dari satu halaman ke halaman lain (teks, audio, dan video) mendorong ketergesaan dan kesegeraan. Tanpa perenungan, tanpa pendalaman—tidak kontemplatif. Akibatnya, kata Birkerts, adalah erosi bahasa. Tersingkirnya deep reading menggerus kompleksitas bahasa seperti paradoks, ironi, kesubtilan, dan metafor. Gantinya adalah bahasa yang sederhana, robotik, teknis, efisien, tergesa-gesa. A more telegraphic sort of “plainspeak,” katanya. Tak heran makin sedikit orang yang bisa menikmati dan tahan membaca karya-karya tebal sastrawan-sastrawan besar.
Akibat lain adalah mendangkalnya perspektif historis. Bagi Birkerts, ikatan masa lalu bisa terlihat secara fisik dari akumulasi deretan buku-buku di perpustakaan—baik perpustakaan pribadi maupun umum. Dari deretan buku itu kita membentuk gambaran berlalunya waktu seiring dengan penambahan jumlah buku. Semakin banyak bukunya, semakin jauh kita bisa tarik sejarah ke belakang. Dengan masuknya data dan informasi di Internet, hilanglah kepekaan terhadap kronologi, kepekaan terhadap garis waktu.
Skeptis vs Optimis