Jumat, 13 Maret 2009

Cerita Resi Durna


Ditulis Oleh Budi Praptono
Palgunadi nekad berguru kepada Durna, dengan cara membuat patung Durna, supaya seolah-olah berlatih panah di depan gurunya, sehingga sangat sungguh-sungguh. Ini adalah cerita seorang sahabat yang mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah dipertemukan dengan Pak Kyai Hammam Ja’far, Pemimpin Pondok Pesantren Pabelan Magelang, pada tahun 1991.
Saya sebut disini namanya Sahabat. Sahabat tersebut merasa terkesan dan merasakan hikmah yang mendalam dari pertemuan dengan Kyai Hammam. Menurutnya, dari pertemuan yang sebenarnya singkat, ternyata telah menorehkan sesuatu yang sangat luar biasa dan dirasa sangat menentukan perjalanan hidup Sang Sahabat. Sang Sahabat, waktu itu memenuhi tugas dinas dari kantor untuk studi banding Asrama ke Pondok Pesantren Pabelan, selain itu studi banding juga dilaksanakan ke Asrama Akabri Magelang. Ibarat tugas militer, dia hanyalah seorang “prajurit lapangan”, untuk mengamankan persiapan sebelum para “jendral” dan “perwira-perwira” datang ke lokasi.
Cerita studi bandingnya tidak perlu, dibahas, karena merupakan hal biasa dari sebuah tugas, seperti tugas-tugas lainnya, tetapi yang akan diceritakan disini adalah peristiwa khusus antara Sahabat tersebut dengan Pak Kyai, ibarat anak yang hilang bertemu kembali dengan bapaknya.
Secara jujur, Sahabat tersebut tidak mengenal sedikitpun sebelumnya latar belakang pak Kyai, kehebatannya, termasuk pondok pesantrennya, sehingga perasaan dia ya, biasa-biasa saja waktu ada tugas ke Pondok Pesantren Pabelan. Sang Sahabat mulai penasaran tentang kehebatan Pak Kyai adalah pada saat Pak Soesilo Sudarman (Menteri Parpostel waktu itu) dan Pak Cacuk S. (Dirut Telkom saat itu) bertemu Pak Kyai. Timbul pertanyaan, kenapa dua Pejabat ini sangat menghormati beliau? Wah pasti ada apa-apanya pak Kyai ini, tapi saat itu sebatas penasaran saja!
Ternyata lambat laun, Sahabat tersebut tahu bahwa Pak Kyai memang hebat, visioner, merakyat, mudah bergaul, nasionalis, dll, termasuk membawa keberhasilan pesantrennya sampai mendapatkan penghargaan Internasional Aga Khan Award, dan tidak sedikit tokoh-tokoh nasional yang “lahir” sekarang atas jasa beliau juga. Masih menurut Sahabat, masih banyak lagi kehebatan beliau, yang terlalu banyak untuk disampaikan. Banyak kejadian, yang membuat dia terkesan terhadap Kyai Hammam, yang utama adalah dengan tanpa basa basi beliau mengaku atau mengatakan bahwa Sahabat tersebut adalah muridnya, waktu itu pakai bahasa jawa kurang lebih begini “eh, muridku teko”.
Kembali ke pokok cerita, pada pengakuan murid oleh pak Kyai, kenapa aneh?
Pertama, Sahabat tersebut mengaku, bahwa dipandang dari sisi syariat, ya, pengetahuan agamanya, ibadahnya, pakaiannya, dalam segala hal sangat jauh dari kepantasan menjadi murid seorang kyai sekaliber Kyai Hammam. Disamping itu, orang tersebut tidak niat untuk menjadi murid, lha wong kedatangannya hanya untuk studi banding asrama.
Kedua, setalah dianggap jadi muridnya, selama bertemu beberapa hari tidak pernah diwejang, disuruh ini itu, baca kitab ini itu, cuma selama ketemu dalam pertemuan resmi, beliau ngobrol ke Pak Menteri atau Pak Dirut, setelah itu diselingi ngelirik Sahabat tersebut sambil senyum, tidak lebih dari itu. Namun, hari terakhir waktu Sahabat tersebut, mau pamitan, Kyai Hammam ngobrol kesana kemari dengan guyonan khasnya, dan tidak pernah lupa dengan rokoknya yang gak pernah berhenti, memberi kenang-kenangan ke orang tersebut sebuah fotokopi dokumen. Dokumen ini, membuat penasaran salah satu pimpinan rombongan Sahabat tersebut, malah sempat diminta, tetapi akhirnya dikembalikan ke Sahabat tersebut, mungkin tidak terlalu menarik baginya. Setelah dibaca, dokumen tersebut menceritakan perjalanan sarjana teknik, dari sejak kuliah, lulus dan berkarir sukses secara materi, foya-foya, hidupnya berantakan, akhirnya sakit parah, sadar, dan akhirnya happy ending.
Dari kejadian-kejadian yang menurutnya aneh dan mempunyai makna dalam tersebut, terjadi pergulatan batin Sang Sahabat yang luar biasa. Dia bertanya-tanya kepada diri sendiri, kenapa, mengapa, dan seterusnya, yang pada akhirnya Sahabat tersebut merasa punya guru Kyai Hammam. Ya punya guru, walaupun setelah itu tidak pernah bertemu lagi secara fisik sampai pak Kyai meninggal dunia. Saking kagumnya terhadap kyai Hammam, salah satu anak Sahabat tersebut diberi nama Hammam Arif Prayoga. Sahabat tersebut, sering mampir ke pesantrennya, hanya sekedar nostalgia, sekalian ziarah ke makam Kyai Hammam.
Singkat ceritanya, di mata Sahabat tersebut, Kyai Hammam sangat berjasa membuka kunci hidayah yang luar biasa, dengan hanya sekedar diaku murid. Bahkan menurutnya sampai sekarang pun Kyai Hammam dirasa masih membimbing secara batiniah perjalanan Sahabat tersebut. Cerita di atas, menurut saya, sebenarnya mirip cerita wayang antara Palgunadi dengan gurunya Resi Durna, yang tidak mau menerima sebagai muridnya. Yang membedakan adalah semangat Kyai Hammam berbeda dengan Durna, dan Kyai Hammam bukan Resi Durna, Kyai Hammam adalah Kyai Hammam.
Kembali ke cerita Palgunadi; Palgunadi nekad berguru kepada Durna, dengan cara membuat patung Durna, supaya seolah-olah berlatih panah di depan gurunya, sehingga sangat sungguh-sungguh. Dan dalam kisah tersebut hasilnya Palgunadi sangat hebat, bahkan lebih hebat dari pada Arjuna yang diasuh beneran oleh Durna.
Budi Praptono, cucu dalang,
Ketua Forum Komunikasi Sosial Masyarakat Merah Putih Bersatu
dan Staf Pengajar Institut Teknologi Telkom (IT Telkom) Bandung