Minggu, 02 Mei 2010

Siapa yang kaya sebenarnya?

Seorang bijak memasang sebuah pengumuman di atas tanah kosong dekat rumahnya: “Tanah ini akan diberikan kepada siapa saja yang telah menjadi orang kaya dalam arti yang sesungguhnya.”

Suatu hari seorang petani kaya lewat di tempat itu, membaca pengumuman dan berkata pada dirinya sendiri, “Karena kawan saya si orang bijak itu telah siap melepaskan sebidang tanah, mungkin baik kalau saya memintanya sebelum didahului orang lain. Saya orang kaya yang mempunyai segala sesuatu. Jadi saya pasti memenuhi syarat.”

Segera saja petani kaya itu mengetuk pintu dan mengemukakan maksudnya. Orang bijak kemudian bertanya, “Apakah Tuan sungguh-sungguh telah kaya?” “Sungguh, karena saya mempunyai segala sesuatu yang saya butuhkan,” jawab petani.

Kawan, lanjut si orang bijak, “Anda sesungguhnya adalah orang miskin karena senantiasa merasa kekurangan. Coba pikir-kan baik-baik. Kalau Anda benar-benar sudah kaya, mengapa Anda masih meng-inginkan tanah itu?”

Pembaca yang budiman, siapakah sebenarnya orang kaya menurut Anda?

Banyak orang mendefinisikan kaya dan miskin semata-mata dari dimensi fisik. Dari sudut pandang ini maka kekayaan diukur dari banyaknya harta fisik yang dimiliki seseorang. Padahal sesungguhnya harta yang kita miliki itu berada di luar diri kita, dan karena itu suatu ketika mereka pun akan berpisah dari kita. Ketika meninggal dunia kita meninggalkan semua harta kita, bahkan yang belum sempat kita nikmati. Pada saat itu kita akan sampai pada kesadaran bahwa di dunia ini tidak pernah ada yang disebut hak milik, semuanya hanyalah hak pakai.

Ketika meninggal dunia kita hanya membawa selembar kain yang melekat di tubuh kita untuk menuju perjalanan beri-kutnya. Karena itu dari sudut pandang fisik, ketika meninggal dunia kita telah menjadi orang yang semiskin-miskinnya. Ini akan sungguh-sungguh membuka mata kita bahwa segala upaya yang kita lakukan untuk mengumpulkan harta sesungguhnya pekerjaan yang sia-sia. Inilah keterbatasan dunia fisik. Dan karena manusia sejatinya adalah makhluk spiritual, maka orang kaya dalam arti sebenarnya adalah orang yang kaya secara spiritual. Orang yang seperti ini akan membawa kekayaannya ke mana pun ia pergi dan menuju.

Ada empat ciri orang kaya dalam penger-tian ini. Pertama, orang kaya adalah orang yang selalu merasa cukup. Ia tidak memiliki banyak kebutuhan. Berapa pun banyaknya harta yang ia miliki, orang yang tercerah-kan ini senantiasa hidup sederhana. Ia menggunakan barang-barang kebutuhannya dengan seperlunya saja. Ia tidak terobsesi untuk memiliki lebih banyak barang lagi. Ia hanya memiliki barang yang benar-benar ia butuhkan.

Orang kaya adalah orang yang sederhana dan tak pernah menumpuk-numpuk barang. Hanya orang miskinlah yang senantiasa menumpuk-numpuk barang dan bangga dengan penumpukan barang itu.

Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah cerita menarik mengenai Socrates, filsuf Yunani terkemuka. Ia adalah orang yang sangat sederhana bahkan sepatu pun ia tak punya. Namun anehnya, ia sering tertarik oleh keramaian pasar dan sering pergi ke sana buat melihat segala macam barang yang dipertonton.

Ketika salah seorang kawannya bertanya mengapa demikian, Socrates berkata, “Saya senang pergi ke sana untuk mengetahui berapa banyak barang yang meskipun tidak memilikinya, saya tetap gembira.”

Ciri kedua orang kaya adalah orang yang memiliki tetapi tidak dimiliki. Ketika kita memiliki sesuatu maka kitalah yang menjadi tuan, sedangkan barang yang kita miliki menjadi budak kita. Dengan demiki¬an, kita dapat menggunakan barang itu sesuai dengan kebutuhan kita. Namun yang berbahaya ketika kita dimiliki oleh sesuatu. Di sini sesuatu itu telah menjadi tuan, sedangkan kita berada di posisi budak. Di sini kita sudah benar-benar terobsesi oleh sesuatu, dan telah tercipta kelekatan antara kita dengan sesuatu itu. Seolah-olah bila tidak mendapatkannya kita tidak akan bahagia. Dengan begitu, sesuatu itu pada hakikatnya telah mengendalikan kita, telah menentukan jalan hidup dan kebahagiaan kita.

Ketika kita dimiliki oleh sesuatu, kita sesungguhnya telah meletakkan harga diri kita pada sesuatu itu. Namun bukankah sesuatu itu suatu ketika pasti akan hilang dari tangan kita karena inilah sesungguhnya hukum alam yang sejati? Lantas kalau hal itu hilang, bagaimana pula dengan harga diri kita?

Ciri ketiga orang kaya adalah selalu memberi. Ini yang membedakannya dari orang miskin yang selalu meminta. Orang kaya sejati adalah mereka yang selalu siap memberikan apa pun yang dimiliki: uang, perhatian, pikiran, tenaga, waktu, dan se-bagainya. Mereka mampu memberi karena sumber daya spiritual yang mereka miliki begitu melimpah. Mereka percaya pada filosofi “tangan di atas” terlepas dari kondisi apa pun yang tengah mereka hadapi.

Keempat, orang kaya adalah orang yang memiliki banyak cinta. Mereka memiliki cinta karena senantiasa dekat dengan Sang Maha Pencinta. Para pemilik cinta ini memiliki energi yang begitu besar karena kemampuannya untuk mengakses cinta Ilahi. Karena itu mereka senantiasa berbagi cinta dan energi kepada siapa saja.

Sebaliknya orang miskin adalah orang yang senantiasa ketakutan. Mereka selalu diliputi rasa waswas dan khawatir. Takut miskin, takut lapar, takut diabaikan orang, takut kalah, takut ketahuan, takut tertangkap. Karena itu mereka menghabiskan begitu banyak energi buat melindungi diri sendiri. Kalau begitu, mana ada lagi energi yang tersisa dan bisa dibagikan kepada orang lain?

Salam
Arvan Pradiansyah
Penulis: "The 7 Laws of Happiness"
Motivator acara Smart Happiness
di Smart FM Jakarta