Kamis, 06 Mei 2010

Mengenaskan !!!

(sebuah cerita)

Masih ingat tentang IPTN? Kependekan nama dari Industri Pesawat Terbang Nurtanio yang sekarang berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Ya…pada masa jayanya yaitu pada masa Pemerintahan Suharto sekitar tahun ’80-an perusahaan ini mampu mencengangkan publik dunia dengan berhasilnya membuat pesawat terbang modern pada saat itu. Pada saat dipimpin oleh B.J. Habibie yang sekaligus sebagai Menteri Riset dan Teknologi, alih teknologi pesawat terbang dilakukan dengan cara mengirim ribuan putra-putri terbaik dari karyawan IPTN untuk belajar tentang berbagai ilmu pesawat terbang ke luar negeri seperti Amerika Serikat, Jerman, Spanyol. Begitu banyak dana negara digelontorkan untuk membiayai studi ini.

Sejalan dengan bergulirnya waktu, pada saat Indonesia terkena resesi ekonomi pada tahun 1995 ternyata sangat berimbas kepada eksistensi IPTN. Pelan namun pasti IPTN mengalami keterpurukan. Perusahaan berbeaya tinggi ini semakin tidak mampu untuk menggaji karyawannya. Jumlah karyawan yang dirumahkan (penghalusan kata untuk dipecat) semakin banyak sehingga hanya tersisa 4000-an orang pada tahun 2005. Gelombang demontrasi dari bekas karyawannya berlangsung selama bertahun-tahun menuntut untuk dipekerjakan kembali atau meminta pesangon yang lebih layak.

Terus bagaimana dengan tenaga-tenaga ahli yang notabene karyawan yang dahulu pernah disekolahkan oleh IPTN ke banyak negara? Sebagian dari tenaga ahli itu memang dipekerjakan kembali dengan mensyaratkan lulus tes masuk kembali sedangkan yang lain lebih memilih untuk bekerja di perusahan-perusahaan pesawat terbang di negara tetangga seperti Malaysia , Singapura , Thailand , dan Arab Saudi.

Salah satu alasan mengapa mereka lebih memilih bekerja di luar negeri adalah perusahaan di luar negeri lebih menghargai keahlian mereka dibandingkan dengan IPTN sendiri. Bayangkan, setiap bulan di perusahaan luar negeri mendapatkan antara 50 – 70juta rupiah. Bandingkan dengan di Indonesia sendiri yang menghargai keahlian mereka dengan 3 – 5 juta rupiah per bulannya.

Perusahaan-perusahaan di luar negeri tidak usah repot-repot menyekolahkan sudah mendapatkan tenaga ahli. Hal ini praktis PTDI mendapatkan saingan dari bekas karyawannya sendiri yang bekerja di perusahaan sejenis di luar negeri.

Terlepas dari carut-marutnya menejemen PTDI terhadap karyawannya, betapa sangat disayangkan banyak tenaga ahli Indonesia yang telah disekolahkan dengan biaya negara, namun pada akhirnya keahliannya dimanfaatkan oleh negara lain dengan iming-iming gaji yang berlipat ganda. Indonesia telah bersusah-payah membiayai namun yang memakai tenaga ahli itu malah negara lain. Ironis… namun begitulah negara kita ini.

Salam
Zaenal Arief