Minggu, 02 Mei 2010

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” sudah menjadi sebutan umum di masyarakat Indonesia untuk sosok seorang guru. Maklum, tidak ada bentuk penghargaan resmi di negara ini yang secara khusus didedikasikan untuk guru. Tidak ada bintang jasa, tidak ada gelaran tertentu yang berlaku resmi secara nasional untuk mengapresiasi peran guru dalam membangun bangsa, terutama dalam membangun karakter bangsa.

Para guru pun sepertinya sudah pasrah dengan sebutan tersebut, dan tidak mengeluh. Mengajar anak-anak bangsa merupakan satu tugas yang mulia, menurut mereka (para guru) mulia dan menurut kita tidak barangkali. Masih untung disebut “pahlawan”, daripada tidak diberi sebutan apa-apa. Masih untung tidak disamakan dengan “buruh”, meskipun dalam kenyataannya mereka menjadi buruh kasar untuk sistem yang mengusung jargon “nama baik sekolah”, atau “pendidikan berbasis kompetensi”, atau apapun namanya: tidak ada daya untuk melawan kesewenang-wenangan ketika gaji disunat untuk keperluan yang tidak jelas, kurikulum diutak atik seiring pergantian menteri, atau jadwal Ujian Nasional dimajukan sehingga mereka harus menyelesaikan kurikulum sesegera mungkin (tapi gaji tidak dinaikkan).

Pahlawan tanpa tanda jasa, dapat diinterpretasikan sebagai pahlawan yang “tidak akan pernah diberi tanda jasa”, atau sebagai pahlawan yang “tidak perlu diberi tanda jasa”.

Keniscayaan seorang guru adalah “tidak pernah atau tidak perlu diberi tanda jasa” ?

Begitu sulitkah membuat suatu kategori bintang jasa khusus untuk guru ?

Apakah perlu pembahasan di parlemen sampai berhari-hari, sekedar untuk mengakui jasa guru sampai ke level negara ?

Mungkin pemerintah merasa sudah cukuplah guru diberi ucapan “terima kasih” oleh murid-muridnya dalam bentuk puisi ?

Atau sebutan “pahlawan” cukup sebagai alat cuci tangan pemerintah untuk tidak memperhatikan kesejahteraan guru ?

Apa yang saya suarakan di sini mungkin terkesan sepele.
Mengapa hanya sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” saja diributkan ?

Menurut saya, apa yang kita tanamkan di otak kita tentang suatu obyek, itu akan mempengaruhi tindakan kita ke depan yang berkaitan dengan obyek tersebut. Saya ambilkan contoh: ketika kita sudah menanamkan dalam diri kita bahwa “Semua polisi itu adalah tukang palak”, maka dalam setiap tindakan kita, kita akan selalu mewaspadai kemungkinan seorang polisi akan menodong, minta uang secara paksa, dan sebagainya. Padahal tidak demikian. Dalam kasus guru, saya khawatir bahwa sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” akan membuat citra guru di mata pemerintah dan masyarakat sebagai sosok yang tidak perlu secara khusus diberi perhatian. Sudah terbukti bukan, kesejahteraan kebanyakan guru masih di bawah standar, meskipun gaji mereka dinaikkan.

Padahal, baik buruknya bangsa ini sangat ditentukan oleh para guru. Prof. Dr. B. J. Habibie tidak akan seperti sekarang ini tanpa jasa Oemar Bakri, eh…, guru. Para pembaca tidak akan dapat membaca tulisan saya, kalau tidak pernah diajar oleh guru. Mungkin di Indonesia ini hanya AD (pentolan sebuah grup musik Indonesia) saja yang tidak mengakui besarnya jasa guru.

Saya masih percaya para guru di Indonesia bukan orang-orang pengejar harta yang membabi buta. Akan tetapi, ada sisi kemanusiaan para guru di Indonesia yang tidak dapat kita pungkiri, yaitu bahwa mereka juga membutuhkan penghasilan yang memadai untuk menghidupi keluarganya. Dan tidak dapat dibantah pula bahwa tingkat kesejahteraan mereka juga mempengaruhi kinerja mereka dalam mencerdaskan kehidupan para muridnya. Kinerja guru akan mempengaruhi pula kualitas para muridnya. Tentu saja, para guru mempunyai sisi idealisme: meskipun gaji kecil, tetapi mencerdaskan kehidupan bangsa itu lebih penting.

Untuk dapat memberi perhatian pada guru, langkah pertama menurut saya adalah, perbaiki dahulu pencitraan untuk para guru. Saya mengusulkan sebutan untuk mereka diganti. Bukan “pahlawan tanpa tanda jasa”, tetapi “pahlawan dengan jasa paling besar (untuk pembentukan karakter bangsa)”. Logikanya, dengan pencitraan yang saya usulkan, ketika kita memberi tanda jasa untuk seorang pahlawan non-guru, kita seharusnya memberi tanda jasa yang lebih istimewa lagi kepada guru. Ketika kita menyadari begitu besarnya jasa para guru, saya yakin tindakan-tindakan kita ke depan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan guru dapat lebih tepat sasaran.

Pemerintah juga harus menyadari, bagaimana karakter bangsa kita ke depan, akan sangat dipengaruhi oleh optimal atau tidaknya peran guru. Bagaimana mungkin peran guru menjadi optimal ketika setelah jam pelajaran sekolah selesai, dia harus menjadi pemulung sampah ?

Bagaimana mungkin guru akan berimprovisasi jika pikirannya melayang ke anaknya yang sakit dan tak terobati karena biaya pengobatan mahal ?

Bagaimana mungkin guru dapat menjelaskan pertanyaan yang memusingkan dari murid-muridnya kalau perutnya keroncongan karena hanya makan sekali dalam sehari ?

Guru bukan robot, dan guru masihlah manusia. Jadi, prioritaskanlah kesejahteraan guru dalam RAPBN/APBN kalau ingin membangun bangsa ini menjadi lebih baik !!

Sebagai penutup, saya tuliskan lirik sebuah lagu yang menurut saya lebih cocok sebagai lagu untuk menghormati para guru, tanpa menghilangkan respek saya pada lagu “Hymne Guru” yang sering dinyanyikan pada setiap Hari Pendidikan Nasional dan Hari Guru. Lagu ini populer sekali di TVRI belasan tahun yang lalu:

Kita jadi pandai menulis dan membaca
dari siapa…

Kita jadi pintar beraneka bidang ilmu
dari siapa…

Kita jadi pintar dibimbing pak guru
Kita jadi pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita
Penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara…

Salam Pendidikan
Terimakasih Guru