Kamis, 13 Mei 2010

Mahalnya Biaya Pendidikan

Keluhan tingginya biaya pendidikan tinggi bukan hal baru. Yang baru adalah pengakuan publiknya, sementara selama ini dianggap taken for granted.

Terasa mencekik ketika lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), didorong jadi komersial. Ketika Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

(UU BHP) dibatalkan, napas komersialisasi mulai hinggap di beberapa PTN. Ada kepanikan karena harus mempertanggungjawab kan apa yang sudah dilakukan.

Kalau sarjana yang dihasilkan harus bermutu, butuh biaya besar. Untuk fakultas eksakta, satuan biayanya lebih besar daripada noneksakta. Ada masa di mana kita kebanjiran lulusan jurusan ilmu sosial politik dan hukum. Mengapa? Sebab, biaya untuk menyelenggarakan pendidikan ilmu sosial lebih murah daripada ilmu eksakta.

Jumlah sarjana jadi salah satu kriteria kemajuan. Ada periode keharusan setiap provinsi setidaknya punya satu PTN. Karena potensi dan kesiapan daerah berbeda-beda, mutu sarjana yang dihasilkan pun berbeda-beda. Banyak PTN lebih jelek mutu lulusannya dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta di wilayah yang sama.

Napas komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan digenjot antara lain di bidang otonomi pembiayaan. Mereka dipaksa bisa menghidupi diri. Tridarma Perguruan Tinggi —pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat— dititikberatkan untuk menghasilkan uang.

Penelitian pesanan diburu, tidak untuk pengembangan ilmu, tetapi demi uang yang dibungkus sebagai tanggung jawab sosial akademik. Pragmatisme Anglo Saxon yang menjadi napas penyelenggaraan pendidikan di Indonesia berbeda dengan mazhab kontinental.

Tampaknya Indonesia cenderung ke mazhab pragmatisme AS. Lembaga pendidikan analog sebagai kegiatan komersial. Mutu dinomorduakan demi mengejar pemasukan lewat penelitian pesanan dan pencarian dana dengan nama pengabdian kepada masyarakat.

Batalnya UU BHP jadi kesempatan memurnikan kembali konsep pendidikan dari yang komersial ke yang pemanusiaan. Tuntutan anggaran 20 persen perlu dibarengi pembenahan birokrasi departemen pendidikan nasional agar dana bisa diserap dan digunakan sebaik-baiknya.

Kegiatan pendidikan adalah investasi manusia. Karena itu, perlu biaya dan jadi hak semua warga negara. Yang kaya lewat pemajakan dibebani tanggung jawab dana lebih besar daripada yang miskin. Pemerintah pun wajib memenuhi hak asasi warga negaranya. Dengan tidak direcoki pragmatisme, yang ingin dihasilkan masa depan penerus yang pintar, terampil, dan berkarakter. Keluhan publik beberapa PTN perlu ditanggapi serius dalam hal menyelenggarakan pendidikan sebagai hak asasi sekaligus menempatkannya sebagai proses humanisasi dan bukan komersialisasi.

Titik krusial perubahan paradigma adalah mendidik itu berinvestasi. Artinya, membangun infrastruktur. Wajar perlu dana besar. Sekali kita pelit, apalagi dibungkus akal berkelit, artinya kita menggali kubur generasi penerus.

Salam
Wahyu Suluh