Minggu, 02 Mei 2010

Pendidikan Indonesia

(dalam sebuah renungan)
Oleh: I Gusti Ngurah Parthama

Sejarah bangsa mencatat pendidikan menjadi bagian penting dalam perkembangan sebuah bangsa. Indonesia pun mengalaminya. Sayangnya, justru saat dunia sedang berkompetisi dengan pengembangan pendidikan, pengetahuan, dan ilmu teknologi, bangsa ini justru masih tetap berkutat mencari karakter pendidikan yang sesuai. Sesuatu yang justru melemahkan karakter bangsa secara keseluruhan. Harusnya, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap 2 Mei menjadi momentum penting untuk perenungan perjalanan pendidikan bangsa.

Pendidikan memang penting. Bahkan, pepatah kuno mengatakan kejarlah ilmu hingga ke negeri Cina. Orangtua berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke jenjang tertinggi. Berharap bahwa investasi jangka panjang tersebut akan membuahkan hasil beberapa tahun kelak. Kemampuan penguasaan informasi, pengetahuan, dan teknologi setidaknya membuka kesempatan bagi mereka untuk bersaing di kancah globalisasi sekarang ini. Sebuah tipikal pengharapan ideal masyarakat umum terhadap pendidikan di Indonesia.

Harapan yang tentunya tidak muluk-muluk. Para orangtua belajar dari pengalaman masa lalu. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa hanya mereka yang terpelajar mampu mencerdaskan bangsa ini dan pada akhirnya mampu membawa bangsa ini ke gerbang kemerdekaan. Pencapaian yang memungkinkan bangsa ini berdiri pada kaki sendiri dan tidak lagi dalam kungkungan kolonialisasi penjajah. Sebuah cerminan yang sudah menjadi nyata bahwa orang-orang terpelajar memiliki peran penting. Mereka dengan bekal pendidikan dari sekolah-sekolah Belanda atau berlatar pendidikan Jepang justru dapat menjadikan Indonesia lebih baik.

Cerminan inilah yang justru memudar saat ini. Keteladanan tokoh-tokoh pendidikan pada masa lalu malah kian menghilang. Pendidikan Indonesia seperti kehilangan arah. Cengkeraman kapitalisme dan globalisasi yang begitu kencang menyebabkan pendidikan menjadi bagian yang juga terkena imbas. Pendidikan mahal dan pendidikan berkurikulum Barat menjadi hal yang mudah untuk ditemui saat ini. Sementara, sekolah-sekolah mulai berlomba-lomba memajang predikat menuju sekolah berstandar internasional.

Masih banyak persoalan yang membelit pendidikan Indonesia. Mulai dari kualitas sumber daya manusia terutama pengajar. Kemampuan mengajar, kesejahteraan, latar belakang pendidikan, serta penyebarannya yang tidak merata masih menjadi persoalan klasik. Juga ditambah dengan fasilitas yang timpang antara sekolah di perkotaan dan pedesaan maupun pedalaman. Persoalan juga tidak usai sampai di sana. Problematika pembelajaran mulai dari pengadaan buku-buku yang silih berganti hingga pada evaluasi melalui Ujian Nasional (UN) masih terus membayangi dunia pendidikan Indonesia setiap tahunnya. Kini bahkan pendidikan tinggi dituding menjadi penyumbang pengangguran terdidik. Perguruan tinggi, diploma, hingga akademi dianggap tidak mampu menyesuaikan kurikulum mereka dengan perkembangan dunia kerja.

Pemetaan Pendidikan

Saat ini yang paling penting untuk dilakukan adalah pemetaan pendidikan Indonesia. Segala ketimpangan sudah sepantasnya tidak dibiarkan. Ketimpangan pada akhirnya menyebabkan kecemburuan pada masyarakat yang pada akhirnya mereka justru menyerbu sekolah atau universitas dengan predikat mapan. Meskipun hal itu harus dibayar mahal dengan berbagai macam pengeluaran. Pemetaaan paling tidak mampu memaparkan kekurangan-kekurangan dunia pendidikan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Wilayah yang tergolong luas mulai dari Sabang hingga Merauke membutuhkan penanganan yang berbeda-beda. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dan hal itu tentunya patut disyukuri. Perbedaan karakteristik erat kaitannya dengan keberagaman masyarakat sudah seharusnya menjadi keunggulan yang selanjutnya menjadi penyumbang kebhinneka-tunggalikaan di Indonesia.

Pendidikan memang tidak dapat dipisahkan dari karakter masyarakatnya. Hal tersebut seharusnya sudah dilakukan sejak dulu oleh pemerintah. Sehingga tidak semata-mata hanya "menasionalisasi" kurikulum-kurikulum yang ada. Masyarakat perkotaan dengan perkembangan industri. Untuk itu pengetahuan dan teknologi tentu akan mudah beradaptasi jika mendapat fasilitas yang mendukung. Teknologi komputer, internet, dan lainnya menjadi hal mutlak untuk mendukung proses pembelajaran. Sedangkan mereka yang di pedesaan masih lekat dengan pertanian, perikanan, dan perkebunan. Sudah tentu kombinasi teknologi dan informasi akan memudahkan mereka mengembangkan sektor tersebut. Tentu yang tidak kalah penting adalah menangani pendidikan di pedalaman. Prosesnya tidak akan jauh berbeda seperti misalnya mereka yang terbiasa hidup dengan alam baik di hutan ataupun di laut.

Selama ini ikon pendidikan memang cenderung terpusat pada satu sisi saja. Misalnya lebih tersentralistik pada daerah perkotaan atau di Jawa saja. Berbagai universitas, diploma, hingga akademi dianggap lebih baik dari daerah lain. Kecenderungan orang tuamenganggap anak-anaknya akan mendapatkan pendidikan lebih baik dan lebih mapan. Padahal anggapan itu justru salah. Dalam kaitan itulah proses pemetaan menjadi penting. Selama ini barangkali baru pada tingkatan pendidikan tinggi yang begitu intens melakukan kegiatan semacam akreditasi. Masyarakat luas dapat mengetahui kekuatan sebuah universitas dengan universitas lainnya. Sedangkan jenjang pendidikan di bawah justru masih belum terlihat jelas. Predikat-predikat sekolah seperti sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah berstandar internasional malah lebih mudah terekat pada jenjang pendidikan pertama dan atas.

Begitu banyaknya persoalan yang dialami pendidikan Indonesia sudah tentu memerlukan pemikiran-pemikiran dengan visi jauh ke depan. Target-target selama ini memang sudah dipancangkan, namun realisasi menuju ke arah tersebut malah tidak terlihat. Universitas berlomba-lomba menggaungkan posisi sebagai world class university. Sekolah bekerja sendiri untuk meningkatkan status agar dicari peserta didik. Kondisi yang serba tidak jelas itu tentunya tidak menguntungkan para peserta didik. Setiap tahun ajaran baru kebingungan serupa pasti terulang. Calon siswa atau mahasiswa kelelahan mencari sekolah atau universitas yang sesuai. Padahal mereka juga telah lelah menempuh ujian akhir di jenjang pendidikan sebelumnya. Belum lagi jika proses pencarian itu melewati berbagai tes masuk yang tentunya tidak mudah. Sedangkan saat menamatkan pendidikan tinggi, mereka kembali didera kelelahan-kelelahan baru untuk mencari kerja yang juga tidak mudah.

Saatnya memang untuk merenungi pendidikan Indonesia. Peristiwa-peristiwa yang berulang setiap tahun ajaran baru seharusnya menjadi titik tolak untuk perubahan. Tanpa ada perubahan maka pendidikan Indonesia masih jalan di tempat. Tertinggal jauh dari negara-negara lain yang lebih memperhatikan pendidikan bagi generasi-generasi penerus bangsa. Tanpa perubahan, generasi kita hanya akan menjadi "penonton" kompetisi global di masa mendatang.

Penulis, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana

* Saat ini yang paling penting untuk dilakukan adalah pemetaan pendidikan Indonesia.

* Pemetaaan paling tidak mampu memaparkan kekurangan-kekurang an dunia pendidikan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

* Perbedaan karakteristik erat kaitannya dengan keberagaman masyarakat sudah seharusnya menjadi keunggulan yang selanjutnya menjadi penyumbang kebhinneka-tunggal- ikaan di Indonesia.