Selasa, 05 Januari 2010

Wirausaha Hua..Ha..Ha..

Saya sedang mencari ide yang cukup penting, yaitu bagaimana membuat sebuah buku pengayaan untuk peserta didik di sekolah agar mereka memiliki kemampuan kewirausahaan. Bukan hanya sekedar teori, tetap dapat langsung diparaktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Banyaknya pengangguran terpelajar di negeri ini tentu membuat hati saya gelisah sebagai guru. Ternyata pendidikan yang ditempuh sampai bergelar sarjana tidak membuat orang tersebut mampu mandiri atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri, tetapi justru cuma mencari pekerjaan. Berharap untuk digaji dan bukan menggaji. Memang tidak mudah merubah awalan di menjadi me. DIGAJI dan MENGGAJI. Perlu keyakinan tinggi bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah.

Pendidikan Kewirausahaan yang saya maksudkan di sini bukan semacam lembaga pendidikan formal atau pendidikan non formal berupa sekolah singkat ataupun juga kursus, melainkan semacam praktek pendidikan membentuk jiwa wirausaha di lingkungan keluarga.

Suami isteri dalam kisah yang akan saya kemukakan berikut ini memang memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, hanya sayangnya keduanya sudah meninggal, sehingga tidak bisa dikonfirmasi lagi. Dari pergaulan cukup lama dengan keluarga ini, saya mendapatkan kesan yang amat mendalam, bagaimana mereka memberikan pendidikan terhadap keempat anaknya. Dengan pendekatan pendidikan seperti yang akan saya ceritakan berikut, ketika anaknya setelah dewasa, tidak ada yang kebingungan mendapatkan mata pencaharian, karena sudah dibekali dengan jiwa kewirausahaan. Bila hal itu juga sudah ditanamkan di sekolah-sekolah kita, tentu akan sangat baik bagi peserta didik. Mereka juga diajarkan bagaimana memiliki keahlian khusus. Keahlian yang membuat dirinya menjadi mandiri dan tenaganya sangat dibutuhkan.

Coba anda perhatikan. Setiap kali diumumkan adanya tes Calon Pengawai Negeri Sipil (CPNS) di setiap departemen atau pemerintah daerah, maka akan ada ribuan orang yang melamar. Padahal kebutuhan pegawai yang dibutuhkan hanya sedikit alias terbatas. Tentu akan banyak orang yang gagal untuk menjadi PNS. Belum lagi mereka-mereka yang gagal menjadi polisi dan tentara di republik ini.

Dari situlah saya berpikir agar anak-anak kita telah dipersiapkan sedini mungkin memiliki kemampuan kewirausahaan yang tinggi. Mereka harus memiliki jiwa enterprenership. Menjadi pengusaha sukses tanpa modal, tetapi dengan akal. Mencoba mencari terobosan baru yang sesuai dengan bakat dan minatnya sehingga dapat dikembangkan menjadi sesuatu yang bernilai. Nilai inilah yang pada akhirnya membuat orang tersebut memiliki keahlian khusus yang membuat dia menjadi mandiri. Tidak bergantung kepada orang tuanya atau hidup dari belas kasih orang lain.

Dari situlah sebenarnya dibutuhkan peran guru, dan orang tua siswa menanamkan pentingnya pendidikan kewirausahaan.

Dengan pendidikan yang berbasis kewirausahaan maka para lulusannya tidak perlu terpaku hanya bekerja di sektor formal, seperti menjadi pegawai negeri sipil, bekerja di BUMN, maupun lainnya yang kelihatan mentereng. Bahkan dengan bekerja di sektor swasta yang berbasis kewirausahaan dapat menciptakan tenaga kerja alias dapat menjadi manajer, bukan semata sebagai pekerja.

Banyak orang sukses tanpa kuliah tinggi dan menjadi sarjana, contohnya Bill gates, sang milyader yang mendirikan microsoft itu. Atau Thomas Alfa Edison sang penemu lampu pijar. Tentu anda pernah membaca sejarahnya bukan?

Pendidikan kewirausahaan belum dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita sehingga wajarlah bila para peserta didik sekarang ini tidak berani untuk memulai berbisnis kecil-kecilan yang tentu tak mengganggu jadwal belajar sekolahnya. Kalau pun ada anak yang berani berbisnis, terkadang orang tua suka melarang karena takut anaknya menjadi tidak fokus belajar. Padahal berbisnis itu juga belajar.

Belajar itu tidak melulu di dalam kelas, tetapi juga bisa di luar kelas. Terkadang anak perlu juga loh belajar dari pasar, supermarket, pabrik/industri, terminal, museum, dan lain-lain pusat sumber belajar lainnya. Masalahnya, sebagian orang tua masih menganggap guru adalah satu-satunya pusat sumber belajar anak. Padahal guru sekarang ini adalah motivator dan fasilitator peserta didik.

Mata pelajaran kewirausahaan di sekolah atau mata kuliah kewirausahaan di perguruan tinggi sekarang ini perlu diberikan kepada semua peserta didik. Demikian juga kalau memungkinkan setiap pelajaran, di masukkan atau disisipkan unsur kewirausahaan yang di dalamnya terkandung kreativitas, inovasi dan tidak takut kepada resiko, sehingga aspek praktik di lapangan menjadi prioritas utama. Anak sudah harus dididik bagaimana dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menghasilkan uang.

Kita tentu masih ingat pendidikan pada masa lalu penuh dengan prakarya maupun muatan lokal. Para siswa pada SD (bisa juga TK) maupun tingkat pendidikan lainnya diminta membuat prakarya dengan membuat berbagai barang yang bisa dijual dan uang yang terkumpul lalu dapat ditabung. Pada muatan lokal, peserta didik bisa berlatih mengerjakan sawah milik perangkat desa dan hasilnya bisa sebagai kas sekolahan untuk mengadakan berbagai kegiatan seperti kemah maupun peringatan hari-hari bersejarah.

Pengalaman saya sebagai pembina remaja masjid ketika melaksanakan sebuah kegiatan, anak-anak itu tidak saya suruh meminta sumbangan kepada warga, tetapi saya suruh anak-anak itu mengumpulkan koran bekas, majalah bekas, botol atau barang yang tidak terpakai di rumah warga yang dapat dijual. lalu saya kerahkan anak-anak untuk bekerja bakti merapihkan got-got warga yang mampet. Dari sinilah warga akhirnya mau memberikan sumbangan karena kreativitas abak-anak remaja itu. Jadi benar kata pepatah, ada ubi ada talas, ada budi ada balas.

Jiwa kewirausahakan jelas sangat penting dikuasai anak-anak kita agar memiliki daya juang tinggi dalam mencari peluang. Ketika mereka terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikan atau putus sekolah misalnya, mereka sudah dibekali keterampilan cukup untuk bertahan hidup. Misalnya mereka diajar cara membuat sabun, merakit komputer, menservice peralatan elektronik, memasak, dan lain-lain sesuai dengan potensi unggul yang ada di sekolah itu yang dapat dikembangkan.

Kenangan akan pendidikan pada masa lalu, sekarang ini menjadi penting dalam upaya menciptakan jiwa kewirausahaan pada para peserta didik. Lihatlah kesuksesan ekonomi etnis keturunan Cina sekarang ini di Indonesia, karena semenjak kecil sudah diajari bagaimana bisa mandiri dalam menekuni suatu usaha bisnis. Bahkan, berbagai negara lain yang sekarang maju pendidikannya tidak terlepas memfokuskan pada pendidikan kewirausahaan beserta praktiknya, yang sebenarnya dulu pernah dimiliki dalam ranah pendidikan kita.

Bangsa ini masih kekurangan pengusaha, jadi wajar saja masih banyak yang bermental pegawai. Celakanya sekolah-sekolah kita belum siap menciptakan penguasaha-pengusaha muda yang mampu mengembangkan peluang untuk menciptakan lapangan pekerjaan bukan mencari lapangan pekerjaan.

Akhirnya, saya berharap ada yang memberikan masukan kepada saya sebagai bahan membuat buku pengayaan yang berisi materi kewirausahaan untuk siswa di pendidikan dasar seperti di sd atau smp. Mohon saran dan masukannya dalam kolom tanggapan.

Dengan pendidikan yang berbasis kewirausahaan maka para lulusannya tidak perlu terpaku hanya bekerja di sektor formal, seperti menjadi pegawai negeri sipil, bekerja di BUMN, maupun lainnya yang kelihatan mentereng. Bahkan dengan bekerja di sektor swasta yang berbasis kewirausahaan dapat menciptakan tenaga kerja alias dapat menjadi manajer, bukan semata sebagai pekerja.

Banyak orang sukses tanpa kuliah tinggi dan menjadi sarjana, contohnya Bill gates, sang milyader yang mendirikan microsoft itu. Atau Thomas Alfa Edison sang penemu lampu pijar. Tentu anda pernah membaca sejarahnya bukan?

Pendidikan kewirausahaan belum dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita sehingga wajarlah bila para peserta didik sekarang ini tidak berani untuk memulai berbisnis kecil-kecilan yang tentu tak mengganggu jadwal belajar sekolahnya. Kalau pun ada anak yang berani berbisnis, terkadang orang tua suka melarang karena takut anaknya menjadi tidak fokus belajar. Padahal berbisnis itu juga belajar.

Belajar itu tidak melulu di dalam kelas, tetapi juga bisa di luar kelas. Terkadang anak perlu juga loh belajar dari pasar, supermarket, pabrik/industri, terminal, museum, dan lain-lain pusat sumber belajar lainnya. Masalahnya, sebagian orang tua masih menganggap guru adalah satu-satunya pusat sumber belajar anak. Padahal guru sekarang ini adalah motivator dan fasilitator peserta didik.

Mata pelajaran kewirausahaan di sekolah atau mata kuliah kewirausahaan di perguruan tinggi sekarang ini perlu diberikan kepada semua peserta didik. Demikian juga kalau memungkinkan setiap pelajaran, di masukkan atau disisipkan unsur kewirausahaan yang di dalamnya terkandung kreativitas, inovasi dan tidak takut kepada resiko, sehingga aspek praktik di lapangan menjadi prioritas utama. Anak sudah harus dididik bagaimana dapat mengembangkan kreativitasnya untuk menghasilkan uang.

Kita tentu masih ingat pendidikan pada masa lalu penuh dengan prakarya maupun muatan lokal. Para siswa pada SD (bisa juga TK) maupun tingkat pendidikan lainnya diminta membuat prakarya dengan membuat berbagai barang yang bisa dijual dan uang yang terkumpul lalu dapat ditabung. Pada muatan lokal, peserta didik bisa berlatih mengerjakan sawah milik perangkat desa dan hasilnya bisa sebagai kas sekolahan untuk mengadakan berbagai kegiatan seperti kemah maupun peringatan hari-hari bersejarah.

Pengalaman saya sebagai pembina remaja masjid ketika melaksanakan sebuah kegiatan, anak-anak itu tidak saya suruh meminta sumbangan kepada warga, tetapi saya suruh anak-anak itu mengumpulkan koran bekas, majalah bekas, botol atau barang yang tidak terpakai di rumah warga yang dapat dijual. lalu saya kerahkan anak-anak untuk bekerja bakti merapihkan got-got warga yang mampet. Dari sinilah warga akhirnya mau memberikan sumbangan karena kreativitas abak-anak remaja itu. Jadi benar kata pepatah, ada ubi ada talas, ada budi ada balas.

Jiwa kewirausahakan jelas sangat penting dikuasai anak-anak kita agar memiliki daya juang tinggi dalam mencari peluang. Ketika mereka terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikan atau putus sekolah misalnya, mereka sudah dibekali keterampilan cukup untuk bertahan hidup. Misalnya mereka diajar cara membuat sabun, merakit komputer, menservice peralatan elektronik, memasak, dan lain-lain sesuai dengan potensi unggul yang ada di sekolah itu yang dapat dikembangkan.

Kenangan akan pendidikan pada masa lalu, sekarang ini menjadi penting dalam upaya menciptakan jiwa kewirausahaan pada para peserta didik. Lihatlah kesuksesan ekonomi etnis keturunan Cina sekarang ini di Indonesia, karena semenjak kecil sudah diajari bagaimana bisa mandiri dalam menekuni suatu usaha bisnis. Bahkan, berbagai negara lain yang sekarang maju pendidikannya tidak terlepas memfokuskan pada pendidikan kewirausahaan beserta praktiknya, yang sebenarnya dulu pernah dimiliki dalam ranah pendidikan kita.

Bangsa ini masih kekurangan pengusaha, jadi wajar saja masih banyak yang bermental pegawai. Celakanya sekolah-sekolah kita belum siap menciptakan penguasaha-pengusah a muda yang mampu mengembangkan peluang untuk menciptakan lapangan pekerjaan bukan mencari lapangan pekerjaan.

Akhirnya, saya berharap ada yang memberikan masukan kepada saya sebagai bahan membuat buku pengayaan yang berisi materi kewirausahaan untuk siswa di pendidikan dasar seperti di sd atau smp. Mohon saran dan masukannya dalam kolom tanggapan.

Salam Blogger Persahabatan
Omjay