Selasa, 19 Januari 2010

Belajar Menulis kepada Malcolm Gladwell

Saya ”dibesarkan” oleh Mizan—dalam konteks dunia menulis—lewat sebuah kegiatan berpikir tingkat tinggi yang serius dan berat. Di awal-awal pembentukannya, Mizan sangat getol dalam memproduksi buku ”kumpulan tulisan” karya cendekiawan Muslim Indonesia. Selama hampir lima belas tahunan saya digodok oleh Mizan di kawah candradimuka bernama ”Seri Kumpulan Tulisan Cendekiawan Muslim Indonesia”. Dari serial ini lahir buku-buku hebat yang secara sangat fasih berhasil merumuskan pikiran-pikiran khas para cendekiawan Muslim Indonesia lewat judul-judul buku kumpulan tulisan mereka. Ada Nurcholish Madjid dengan Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan; ada Jalaluddin Rakhmat dengan Islam Alternatif; ada Alwi Shihab dengan Islam Inklusif; ada K.H. Ali Yafie dengan Fiqih Sosial; dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sungguh sangat mengasyikkan dapat menemukan ”benang merah” sebuah pemikiran seorang tokoh dan kemudian dapat menyematkannya di dalam judul sebuah buku karya mereka. Dalam bentuk sebuah buku, ”kumpulan tulisan” (baca: pikiran yang tersebar) itu kemudian punya ”konteks”. Dan konteks yang sangat bermakna adalah ketika kemudian sang penulis sendiri memberikan semacam argumentasi yang diwadahi dalam ”Kata Pengantar” dan diletakkan di halaman paling awal sebelum para pembacanya menikmati mozaik pemikirannya. ”Kata Pengantar” yang dibuat oleh Cak Nur, Kang Jalal, dan tokoh-tokoh lain dalam buku kumpulan tulisannya itulah yang memberi ”warna” baru atau yang ”menghidupkan” buku kumpulan tulisan tersebut.

Ketika saya membaca ”Kata Pengantar” Malcolm Gladwell dalam buku terbarunya, What the Dog Saw—yang juga merupakan buku kumpulan tulisan—saya pun dapat merasakan kembali apa yang pernah saya rasakan ketika membaca ”Kata Pengantar” Cak Nur, Kang Jalal, dan tokoh-tokoh lain. Gladwell ingin saya sebut sebagai seorang ”master” yang memang piawai menyajikan sesuatu yang merangsang pikiran saya dalam bentuk tertulis. Saya sangat setuju dengan pujian yang diberikan oleh New York Times Book Review ketika menyatakan Gladwell sebagai ”penulis nonfiksi yang nyaris tak tertandingi”. Dan kemampuan Gladwell berkisah menemukan bentuk terbaiknya dalam What the Dog Saw—kumpulan tulisan yang lahir sebelum dia menciptakan karya-karya unik yang mencetak best-seller internasional: Tipping Point, Blink, dan Outliers.

Ketika saya membaca What the Dog Saw, saya langsung membaca ”Kata Pengantar” yang dibuat Gladwell. Saya mengalami ekstase. Saya terlibat. Dan saya pun berpikir keras. Apa saja yang ada di kepala Gladwell? Kenapa dia menulis ini dan bukan itu? Bagaimana Gladwell mendapatkan ide dan mengeksplorasinya?

“Ketika sedang tumbuh, saya tak pernah ingin jadi penulis,” kata Gladwell. “Saya ingin jadi pengacara, lalu pada tahun terakhir kuliah, saya memutuskan ingin masuk dunia periklanan.” Gladwell pada awalnya, ternyata, tak tahu jika dia menyimpan potensi-hebat—saya tak ingin menyebutnya sebagai “bakat”—menulis. (Siapa yang tahu bahwa dirinya menyimpan sesuatu yang dahsyat?) Lantas, mengapa dia akhirnya menerjuni dunia menulis? Sebelumnya, dia melamar lebih dahulu ke delapan belas biro iklan dan ditolak. Dia pun pernah melamar untuk dapat memperoleh beasiswa agar bia pergi ke tempat eksotis selama setahun dan ditolak lagi. “Akhirnya, saya menulis; setelah cukup lama, baru saya sadar bahwa menulis bisa dijadikan pekerjaan. Pekerjaan itu serius dan berat. Menulis itu asyik,” tulis Gladwell.

Apa yang dapat kita petik dari pengalaman Gladwell sebagai seoranmg penulis? “Bagus tidaknya tulisan bukan dinilai dari kekuatan kemampuannya meyakinkan… Sukses tidaknya sebuah tulisan dinilai dari kekuatan kemampuannya untuk membuat Anda terlibat, berpikir, memberi kilasan mengenai isi kepala orang lain….” Dan saya—usai mebaca beberapa tulisan Gladwell dalam What the Dog Saw—sepakat dengannya bahwa menulis itu asyik.

Salam
Hernowo