Minggu, 10 Januari 2010

Bambu dan Guru

(sebuah cerita)

SEORANG petani menanam serumpun bambu di kebun belakang rumahnya. Tahun demi tahun bambu itu terus beranak-pinak, bertambah tinggi, besar, dan kuat.

Suatu hari petani itu berdiri di depan bambu yang tertinggi dan berkata, “Wahai Sobat, aku membutuhkan engkau sekarang.”

Kata bambu itu, “Tuan, pakailah aku seperti yang Tuan inginkan. Aku siap.”

“Bagus, tetapi agar aku bisa memakaimu, engkau harus dibelah menjadi dua.”

Bambu itu kaget. “Membelah aku, membelah dua? Mengapa? Aku adalah bambu yang paling baik di sini, paling tinggi dan paling besar. Jangan lakukan itu Tuan, kumohon. Pakailah aku seperti yang Tuan kehendaki, tapi jangan membelah diriku.”

“Begini, jika kau tidak dibelah, aku tidak bisa memakaimu.”

Seantero kebun terdiam. Angin pun menahan nafasnya. Bambu yang anggun itu perlahan-lahan menundukan kepalanya dan berkata lirih, “Tuan, jika itu adalah satu-satunya jalan untuk menggunakan aku, maka lakukanlah.”

“Tapi itu baru sebagian,” kata petani itu. “Aku juga akan memotong semua cabangmu dan memangkas semua daunmu.”

“Ya Tuhan, semoga itu tidak terjadi,” kata bambu itu. “Hal itu akan merusak keindahanku. Tuan, kalau bisa janganlah pangkas cabang-cabangku dan daun-daunku.”

“Begini, jika cabang dan daunmu tidak dipangkas, aku tidak bisa memakaimu.”

Matahari pun menyembunyikan wajahnya. Seekor kupu-kupu terbang dengan gelisah di sekitar bambu itu. Bambu yang merasa sangat terpukul itu kemudian menyerah dan pasrah, “Tuan, potonglah cabang-cabangku.”

“Bambuku tersayang, aku masih harus mengambil hati, jantung, dan bagian dalammu. Jika tidak, maka aku tidak bisa memakaimu.” Kepala bambu itu semakin dalam tertunduk, lalu berkata, “Tuan, ambil dan bersihkanlah aku sesuka Tuan.”

Maka petani itu pun memotong sang bambu, memangkas cabang-cabang dan seluruh daunnya, membelahnya menjadi dua, dan mengosongkan semua bagian dalamnya. Lalu ia menggotong bambu itu melalui sebidang tanah kering menuju ke sebuah sumber air. Petani itu menghubungkan tanah itu dengan sumber air tersebut dengan menggunakan bambu tadi dan air pun segera mengalir membasahi tanah kering itu, menggemburkannya, dan membuatnya menjadi subur.

Demikianlah bambu itu menjadi saluran berkah yang melimpah tiada putus bagi banyak orang, termasuk bagi rumpun bambu lainnya.

****

Bambu dan Guru

Etos 1: Keguruan adalah Rahmat

Aku Mengajar dengan Ikhlas Penuh Kebersyukuran, dapat disarikan dengan kisah alegoris di atas. Sang bambu berhasil menghayati hidupnya dengan paradigma rahmat. Sesudah bambu itu mengerti kehendak Sang Pemilik Kebun, ia tidak lagi mengeluh dan tidak lagi menolak apa pun yang harus ia jalani. Ia pasrah, berserah, dan menerima semuanya dengan ikhlas. Ia percaya, dirinya pasti berguna di tangan Sang Pemilik. Ia akan menjadi bambu berkah, pembuluh anugerah, saluran karunia yang tiada putus. Keyakinan inilah yang membuat ia berdaya: ia bersedia ditempa serta dibentuk menjadi perkakas kebaikan, menjadi saluran berkah dengan ikhlas dan tulus.

Demikian pula seorang guru yang percaya bahwa hidup keguruannya adalah rahmat akan berperilaku seperti bambu di atas: mengabdikan dirinya—penuh ketulusan dan keikhlasan—menjadi saluran pengetahuan, pembuluh ilmu, teladan moral, dan pembina ketrampilan. Dengan demikian guru sungguh-sungguh menjadi insan rahmatan bagi masyarakat, menjadi figur berkah bagi sekolah, khususnya bagi semua siswanya.

Guru sendiri bukanlah sumber berkah itu, tetapi ia adalah pembuluh yang menyalurkan anugerah ilmu dan pengetahuan. Sama seperti bambu, guru yang rahmatan harus dipotong dulu egonya, dibuang keakuannya, dipangkas kecongkakannya, dan dibersihkan hatinya agar bisa efektif menyalurkan ilmu pengetahuan, ajaran kebajikan, serta hikmat ilahi.

Salam
Jansen H. Sinamo