Selasa, 05 Januari 2010

Bullying and Me

(sebuah cerita)

Saya yakin di antara teman-teman guru pasti sudah mengenal kata sakti ini, "bullying". Jadi saya tidak perlu menjelaskan lagi apa artinya, apalagi, apa-apa saja tindakan2 yang bisa dikategorikan sebagai "bullying". Bukan apa-apa, kalau teman-teman mendengar tentang apa-apa saja yang bisa dikategorikan sebagai "bullying" versi KPAI, mungkin anda pasti merasa bahwa anda adalah pendosa besar. Guru, adalah yang profesi yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap segala jenis tindakan yang berpotensi "bullying". Wah...wah... wah...mengerikan ya?

Namun saya tidak akan menakut-nakuti teman2 dengan berbagai beban tentang "bullying", saya justru ingin berbagi pengalaman saya selama beberapa bulan ini saya menghadapi dan mengatasi "bullying" di kelas saya. Semoga bermanfaat.. .

Ceritanya begini, tahun ini, pertama kalinya bagi sekolah saya menyelenggarakan kelas internasional. Agak ketinggalan dibanding sekolah-sekolah elit (bukan ekonomi sulit,ya) di Jakarta yang mungkin sudah menjalankan program ini lebih lama dari kami. Namanya saja kelas internasional, tentulah murid2 yang datang dan mendaftar hanyalah mereka yang orang tuanya tidak punya masalah dengan finansial. Namun, seperti biasa, uang tidak menyelesaikan masalah.

Kelas saya yang isinya Cuma 16 orang itu sering menimbulkan kehebohan, dimulai dengan anak2 yang tidak bisa belajar kalau tidak mendengarkan musik, friksi antara mereka dengan guru2 senior, belum lagi kasus bullying seorang anak konglomerat pemilik beberapa hotel di Indonesia hingga menyebabkan salah seorang guru ahli yang kami datangkan dari sebuah universitas negeri jempolan asal Bandung pun menyerah dan memilih resign dari kelas kami.

Lalu, apa yang saya lakukan? Berikut beberapa hal yang saya lakukan. Tidak sepenuhnya semua ide murni dari saya, kebanyakan adalah berdasarkan pengalaman, instinc, ide dadakan secara situasional, dan copy paste dari film2 yang saya tonton.

1. Forum Diskusi dan Belief

Sejak pertama kelas diadakan, kelas saya sudah terkenal. Terkenal karena mereka adalah murid2 spesial dari segi finansial, spesial karena lumayan cerdas (walaupun mereka tidak lolos tes masuk online). Namun yang paling terkenal adalah karena kespesialan mereka dalam hal tukang ribut, bullying sesama teman, bahkan mampu membullying guru. Puncaknya, adalah ketika pertengahan September lalu, seorang guru ahli dari universitas negeri terkenal di Bandung, mengundurkan diri. Pasalnya adalah salah satu murid yang memang sejak awal menjadi pemicu segala kerusuhan, mem-bully-nya dengan sebutan "Well, you're just a teacher, and you can buy this world. You're nothing."

Hari itu juga, saya mengadakan forum darurat, memanggil semua pihak yang terkait, guru2, murid2 saya, bahkan pekarya yang tugasnya membersihkan ruangan kelas kami pun saya minta untuk ikut dalam forum itu.

Di forum itu, bukan guru2 yang bisa menumpahkan kekesalannya, manun saya memberi kesempatan menyampaikan harapan terhadap perbaikan kelas. Intinya, baik saya, guru2 dan murid2 sama2 setuju mengadakan perbaikan. Kami sama2 membuat komitmen yang kami sebut sebagai "Belief". Isinya antara lain; baik guru maupun siswa tidak akan menyalakan hp selama pelajaran berlangsung, baik guru maupun siswa saling berjanji untuk tidak terlambat, barangsiapa yang terlambat, maka hukumannya adalah diberi tepuk tangan oleh seluruh kelas dan disambut dengan meriah, dll. Ada beberapa hal yang masuk ke dalam "belief" kami, di antara berjanji untuk saling mengingatkan.

2. "I" game

Ide ini saya dapat dari seorang fasilitator anti bullying di sebuah workshop. Ketika di kelas, tujuan mula2 saya sebetulnya untuk pelajaran bahasa Inggris dengan topik "Like / Dislike". Anak2 harus menyebutkan hal2 yang disukai dan tidak disukai dari pasangannya seperti ini "I like the way you speak English." Dst...
Namun, siapa menyangka kalau permainan ini jadi ajang curhat bagi anak2 yang merasa di-bully oleh murid saya yang spesial itu.

Begini permainannya. Saya bagi kelas menjadi dua kelompok. Kemudian masing2 kelompok berdiri salaing berhadapan dan berseberangan. Saya mainkan musik, mereka harus mencari pasangannya. Kemudian saya matikan dan masing2 pasangan bergantian menyebutkan "I Like dan I dislike". Saat itulah kehebohan terjadi, karena setiap kali murid spesial saya itu kedapatan pasangan, pasangannya itu lebih sering marah dan mengatakan "dislike" ketimbang "like". Alhasil, kami mengakhirinya dengan ajang curhat.

3. "Line" game

Saya menjadi semangat lantaran "I" game tadi. Sehingga saya mencoba mencari cara agar murid saya tukang bolos itu bisa menjadi murid yang lebih baik. Saya kemudian teringat dengan "Line game" yang ada di film "Freedom Writers". Erin Gruwell, sang guru inspirasional itu memainkan Line Game ini untuk menggali informasi tentang diri masing2 siswanya secara mendalam. Begitu juga dengan saya.

Apa yang saya lakukan ternyata membuahkan hasil, sang murid spesial perlahan2 mulai mengurangi aktivitas "bully", terutama kepada guru, walaupun intensitas bully kepada sesama teman sekelasnya masih dilakukannya.

4. Refleksi

Ketika saya mengajar di SD dulu, saya memiliki seorang partner hebat, Pak Kholid, namanya. Beliau ini selalu punya ide2 canggih yang kadang membuat murid2 tertawa, sedih, bahkan jera, namun semua tetap menyenangkan. Dulu, setiap kali anak2 pulang dari melakukan kegiatan outdoor, maka Pak Kholid selalu meminta murid2 yang kelelahan itu untuk tidur di lantai sambil ia minta memejamkan mata dan mendengar ceritanya. Kemudian ia akan bercerita tentang apa2 saja yang ia lihat, ia lakukan di luar tadi. Setelah itu, sambil meminta anak2 untuk terus memejamkan mata, anak2 diminta untuk bermimpi tentang tempat2 apa saja yang mereka ingin datangi lagi dan memberikan alasan mengapa mereka begitu suka tempat itu.

Jadi, suatu ketika di bulan Oktober, saya terinspirasi dengan ide itu. Maka saya minta anak2 melakukan hal persis seperti yang dilakukan Kholid. Bedanya, ketika itu saya meminta anak2 untuk merefleksi, apa2 saja yang ingin sudah mereka lakukan dan mereka capai. Yang lucunya, hampir semua murid saya mengatakan ingin terus berteman dengan si bullyer itu, memberi maaf. Sehingga, sang bullyer ketika itu keok...

5. Peer Coaching, Peer Learning, Peer Assistance

Sebelum saya mengadakan pendekatan secara pribadi kepada sang bullyer, saya terlebih dahulu meminta teman2nya untuk kompak membantu saya memperbaiki situasi yang dihadapinya. Misalnya saja, saya minta beberapa teman kelasnya untuk ngobrol dengannya, menjadi `mata' saya. Kemudian ada situasi dimana saya harus mendatangi rumahnya, saya pun mengajak teman2nya.

6. Parents Support

Ketika penerimaan rapor Desember lalu, saya mengundang para orang tua murid membahas program dan juga permasalahan yang ada, termasuk masalah ini. Ternyata setelah saya membicarakan dan saling mengkomunikasikan permasalahan yang ada, response orang tua positif dan meminta saya untuk membantu murid spesial saya apapun cara dan langkahnya. Bahkan, para orang tua berjanji untuk ikut membantu saya. Wah...wah... ternyata segala sesuatu apabila dikomunikasikan dengan baik, maka hasilnya akan baik pula...

Semoga bermanfaat.. .
Salam Anti Bullying
Nina