Selasa, 14 Juli 2009

Menanti Evaluasi Sertifikasi

(Kenangan Tempo Doelu)
Oleh Tabrani Yunis

Di ruang BK (bimbingan dan konseling) sebuah SMA di Banda Aceh, suatu hari di bulan Desember 2008, penulis mendengar perbicangan dua orang guru BK tentang program sertifikasi. Dalam perbicangan itu, banyak hal yang menggelitik. Salah satunya adalah tentang aturan-aturan serta persyaratan pengajuan sertifikasi tersebut diantaranya syarat portofolio yang membuat para guru sangat memerlukan sertifikat dan karya tulis. Tanpa disadari, dalam pembicaraan tersebut kedua guru tersebut berkata, hmm, seperti kita yang tidak pernah ikut pelatihan atau seminar, bagaimana bisa mendapatkan sertifikat ya? Lalu, salah satu diantara mereka berkata, besok ada seminar di salah satu gedung. Kita daftarkan saja ke sana, siapa tahu kita bisa dapat sertifikat. Mendengar percakapan itu dalam hati penulis bertanya, untuk apa ikut seminar? Apa yang mau dicari?

Saat itu, penulis langsung teringat dengan tujuan pemerintah menyelenggarakan program sertifikasi yang mulai dilaksanakan oleh pemerintah sejak tahun 2007. Program ini merupakan wujud niat baik pemerintah terhadap guru. Ketika guru terus dituntut menjadi sosok yang professional, para guru banyak yang tidak berdaya. Para guru pun, merasa semakin sulit meningkatkan kualitas diri, karena persoalan kesejahteraan yang kurang dan berbagai alasan lainnya.

Buah dari ketidakberdayaan itu, masyarakat terus mengkritik guru lewat berbagai media. Bukan hanya guru yang dikriti, tetapi juga pemerintah karena tidak mampu memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada masyarakat. Pemerintah dituding tidak mampu mengemban amanat Undang-undang Dasar 1945. Apalagi, kualitas pendidikan di Indonesia hingga kini masih kalah bersaing dengan berbagai bangsa. Berdasarkan HDI, Indonesia menempatkan posisi yang memilukan dan memalukan, pada posisi 109 atau 110.

Konon, pemerintah sudah banyak berupaya untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia. Misalnya, meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru. Salah satu yang kini dilakukan adalah program sertifikasi bagi guru sebagai perwujudan dari undang_undang nomor 14 tahun 2005 dan PP 19/2005. Program yang dilaksanakan secara bertahap ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas guru dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan guru. Karena, seorang guru yang sudah lulus sertifikasi, mendapatkan legalitas standard kualitas, akan diberikan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

Nah, idealnya, program sertifikasi dilaksanakan, dapat mendorong para guru meningkatkan kualitas diri, giat melakukan pengembangan diri (self-development) secara professional. Semakin gemar berkreasi dan berinnovasi dalam pembelajaran dan lain sebagainya. Sehingga, misi peningakatan kualitas berjalan ideal serta mampu merubah wajah pendidikan formal di negeri ini. Idealnya pula, para guru bisa menjadikan program ini untuk merubah thinking paradigm menjadi lebih baik dalam menjalankan proses pembelajaran di sekolah.

Sayangnya, tidak berbeda dengan program sebelumnya seperti system credit point dan program penyetaraan. Semua program ini sarat dengan persoalan, baik persoalan moralitas/mentalitas maupun persoalan teknis. Persoalan terjadi di tataran guru sendiri dan di tingkat pembuat kebijakan. Banyak guru yang tidak mampu memenuhi persyaratan seperti karya pengembangan profesi, partisipasi forum ilmiah dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan (Unifah Rosyidi, ketua monev independen, Kompas 9 April 2009). Ketidakmampuan ini kemudian membuat banyak guru yang mencari jalan pintas dengan menerabas dan memanipulasi persyaratan yang telah dibuat. Misalnya, memberikan sertifikat fiktif, tulisan karya tulis yang dibeli dari orang lain dan sebagainya. Ini adalah tindakan yang mencoreng wajah guru dan dunia pendidikan. Sebab guru sebagai orang yang menjadi panutan, memang harus selalu berlatih lebih jujur.

Idealnya, guru sebagai pengajar kejujuran di sekolah juga menginternalisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai kejujuran tersebut. Wujudnya, guru tidak melakukan kecurangan, termasuk mencari jalan pintas untuk kenaikan pangkat secara instant. Sudah banyak kasus ketidakjujuran yang dilakukan oleh sebagian guru yang kini mengejar kenaikan pangkat. Sayang bila program sertifikasi bukan mendorong guru untuk meningkatkan kualitas. Ini adalah sebuah distorsi apabila hanya untuk mendapatkan tambahan tunjangan. Akibatnya, martabat guru dipertaruhkan dan upaya peningkatan kualitas guru menjadi terkendala oleh kebutuhan praktis dan rendahnya minat sebagian para guru untuk mengembangkan diri. Andai kesadaran untuk mengembangkan diri dimiliki oleh kebanyakan guru, maka kualitas guru tidak sulit untuk ditingkatkan.

Hiruk pikuknya kritik terhadap kelemahan pelaksanaan sertifikasi, juga tidak terlepas dari kesalahan pemerintah. Selayaknya program ini untuk membangun guru menjadi panutan. Wajar saja kalau sekarang banyak guru hanya bisa mengajar di sekolah, tetapi tidak dipanuti di dalam masyarakat. Bila yang didorong adalah menjadi professional saja, guru akan menjadi pekerja professional yang dibayar berdasarkan tingkat profesionalnya. Yang penting guru bisa mengajar mentransfer ilmu secara professional. Padahal, kalau kita mau belajar dari kehidupan guru masa lalu, posisi guru adalah posisi yang menjadi panutan. Guru bukan saja menjadi tempat bertanya para peserta didik di sekolah, tetapi juga menjadi tempat bertanya bagi masyarakat. Nilai kesejahteraan yang mereka dapatkan bukan berdasarkan gaji yang mereka peroleh dari pemerintah, tetapi ditentukan oleh penghargaan masyarakat. Guru dahulu, bergaji kecil, tetapi masyarakat yang menjadikan mereka sebagai panutan, banyak memberikan kesejahteraan pada guru. Jadi perubahan paradigma politik pendidikan yang dijalanan oleh pemerintah terhadap profesi guru juga telah membuat predikat guru menjadi semakin memudar.

Kesalahan program ini juga pada alat penilaian yang hanya mengukur kapasitas dari data porto polio. Padahal, penilaian apakah seorang guru benar-benar bisa mengajar dan mendidik tidak bisa hanya mengandalkan pada persoalan administrative. Tetapi, harus menilai kompentensi paedagogis, kepribadian, kompetensi professional dan kompetensi social. Namun demikian, persyaratan yang kini dibuat dalam program ini dirasakan sangat berat oleh kebanyakan guru. Misalnya saja, tentang batas pendidikan yang harus dipenuhi oleh guru setingkat sarjana. Buah dari kebijakan ini telah membuat para guru berburu pendidikan strata satu yang sangat formalitas. Kesulitan lain ketika ada persyaratan yang berkaitan dengan karya tulis. Hal ini sangat dirasakan sebagai sebuah kesulitan besar. Belum lagi dengan keharusan mengajar 24 jam seminggu. Kesulitan-kesulita semacam ini telah mendorong banyak guru berperilaku curang dan bahlan pesimis.

Kesalahan lain adalah ketika ditemukan ada keraguan dan bahkan pemalsuan sayangnya tidak diselidiki dan diberikan sangsi yang membuat jera. Akibatnya banyak guru yang mencoba-coba hal itu walau tidak jujur. Maka wajar saja, kalau selama ini tidak sedikit guru yang terperangkap dalam orientasi sertifikat dan mencari kenaikan gaji.

Kiranya, kini setelah tiga tahun program sertifikasi dijalankan, pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) memang selayaknya melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program tersebut. Nah, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah meninjau kembali tujuan dari program tersebut. Pemerintah harus mampu mendorong pelaksanaan program sertifikasi kepada penumbuhan kesadaran akan pentingnya guru meningkatkan kualitas diri, sehingga tidak mengalami distorsi orientasi. Lalu, ketika guru telah mencapai hasil yang optimal dari proses sertifikasi, pemerintah tidak lagi mempermainkan guru dengan memperlambat pembayaran tunjangan yang dijanjikan, apalagi mengancam akan dihentikan tunjangan tersebut. Ini bisa membuat guru yang jujur pesimis dengan apa yang telah mereka upayakan.

Kemudian, agar para guru bisa berkreasi dan berinovasi, maka jam mengajar guru sebaikya dikurangi. Paling banyak 18 jam seminggu. Dengan memberikan keluangan waktu mengajar, guru kemudian harus didorong untuk terus belajar dan bekreasi serta melakukan inovasi pembelajaran. Ini akan bisa membantu guru kreatif dan innovatif.

Hal lain, yang perlu dirubah adalah strategi penilaian yang tidak lagi mengambil nilai dari porto folio saja, seperti mengumpulkan sertifikat atau penghargaan di tengah tidak adanya penghargaan pemerintah kepada guru. Tetapi harus menguji kompetensi-kompeten si sebagai seorang guru. Dengan cara ini, penilaian kompetensi guru dinilai dari penilaian kepala sekolah secara objektif dengan menggunakan format DP3 dan kemampuan paedagogis dan kompetensi social.

Sementara guru yang terus ditunutut meningkatkan kualitas diri, harus mau merubah pardigma berfikir, merubah sikap malas belajar menjadi guru yang pembelajar. Sehingga, kekecewaan masyarakat terhadap guru akan pupus dan martabat guru juga akan semakin tinggi dan diperlukan. Jadi, semua harus berbenah kembali, pemereintah, guru (sekolah) dan juga masyarakat. Mari kita bangun pendidikan kita dengan kejujuran. Semoga

Tabrani Yunis
Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh