Rabu, 01 Juli 2009

Cinta tanpa Syarat

(sebuah cerita)

Malam tahun baru 1999 adalah awal malapetaka bagi saya. Saya mengalami kecelakaan hebat setelah motor yang saya kendarai bertabrakan dengan sebuah mobil taft. Sempat sadar setelah terjatuh, saya melihat darah berceceran di sekitar lokasi. Gagal mencoba berdiri, saya baru menyadari bahwa kaki kanan saya terluka cukup parah. Urat besar di bawah lutut saya putus.

Setelah dioperasi di Rumah Sakit Mekar Sari, Bekasi Timur, saya diharuskan istirahat total. Sejak saat itu saya harus menghadapi kenyataan pahit, kaki kanan saya pincang. Ya, saya cacat

Hari-hari pada proses pemulihan kondisi terasa amat berat. Betapa tersiksanya ketika saya harus merangkak menuju kamar mandi untuk sekadar buang hajat. Dan sejak saat itu saya sadar bahwa karunia Allah atas kesehatan dan kesempurnaan pada tubuh kita begitu besar.

Dan orang yang rela menemani hari-hari berat itu dan merawat saya adalah ibu. Beliau membasuh darah yang kadang masih keluar dari kaki saya dan membasuh seluruh tubuh saya sebagai ganti mandi. Berbulan-bulan sakit itu hingga saya diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Kasih sayang beliau tak berkurang sedikit pun meski saya cacat.

***

Alkisah, ada seorang pemuda yang dikirim ke medan perang. Dia prajurit muda. Setelah sekian lama bertempur, dia akhirnya diperbolehkan pulang. Sebelum kembali ke rumahnya, pemuda itu menelepon kedua orang tuanya terlebih dahulu.

”Ibu, Ayah, aku sedang menuju pulang. Tapi, sebelum sampai, aku ingin menanyakan satu hal. Aku punya seorang teman yang ingin kubawa pulang bersamaku. Bolehkah?”

”Tentu. Kami sangat senang bertemu dengan temanmu itu,” jawab kedua orang tuanya.

“Tapi, ada satu hal yang harus Ibu dan Ayah ketahui. Temanku ini sedang terluka akibat perang. Dia kehilangan satu kaki dan satu tangannya. Dia tak tahu ke mana harus pulang. Aku ingin dia tinggal bersama kita,” ujar sang pemuda.

“Kasihan sekali. Mungkin kita bisa mencarikan tempat untuk temanmu tersebut,” tutur kedua orang tua pemuda itu.

“Tidak. Aku ingin dia tinggal bersama kita,” tegas si pemuda.

“Anakku, kamu tak tahu apa yang sedang kamu minta. Seorang yang cacat akan menjadi beban bagi kita. Kita punya kehidupan sendiri. Dan sesuatu seperti ini tidak bisa mencampuri kehidupan kita,” jawab ayah pemuda itu.

“Menurut Ayah, sebaiknya kamu pulang dan lupakan saja temanmu itu. Dia pasti menemukan cara sendiri untuk hidup,” lanjut sang ayah.

Prajurit muda itu terdiam sejenak. Lalu, dia menutup telepon.

Beberapa hari kemudian, ayah dan ibu prajurit muda tersebut mendapatkan kabar dari polisi bahwa ada seorang pemuda yang bunuh diri dengan cara melompat dari puncak gedung. Berdasar identitasnya, diketahui bahwa pemuda itu adalah anak lelaki mereka.

Dengan perasaan duka dan sedih, kedua orang tua itu datang ke tempat kejadian perkara untuk memastikan kabar itu. Ketika berada di dekat jenazah, kedua orang tua tersebut yakin bahwa jasad lelaki itu adalah putra mereka.

Namun, yang membuat mereka sangat terkejut adalah jenazah itu hanya memiliki satu tangan dan satu kaki.

***

Sering kali, tanpa kita sadari, kita kerap terpesona oleh penampilan luar seseorang. Ada seorang guru yang hanya suka terhadap murid yang pintar. Bahkan, ada seseorang yang hanya menghormati orang yang cantik, tampan, kaya, dan segala sesuatu yang bagus-bagus saja.

Berapa banyak kata cinta yang terlontar dan kita dengar dalam sehari? Kata cinta dapat dengan mudah kita jumpai di majalah, surat kabar, televisi, radio, atau ponsel. Kata cinta juga gampang dijumpai di rumah, tempat umum, rumah sakit, atau diari sekalipun.

Mudah saja seorang pria mengucapkan kata cinta kepada gadis yang cantik rupawan. Mudah saja seorang ibu mengucapkan cinta kepada anak yang lucu menggemaskan. Mudah saja seorang guru bilang cinta kepada murid yang rajin dan pintar.

Mudah saja seorang bos menuturkan cinta kepada anak buah yang produktif dan kinerjanya baik.

Namun, mudahkah kita mengucapkan cinta kepada seseorang yang tak secantik, serupawan, selucu, sepintar, dan serajin yang kita bayangkan? Apakah seorang pria akan tetap mengutarakan cinta apabila si gadis tak lagi cantik dan memesona? Apakah seorang guru tetap mengasihi jika muridnya malas dan membangkang?

Tanpa disadari, kita acapkali hanya mau mencintai dan hidup bersama orang yang sempurna di mata kita. Namun, kita tak senang hidup dengan orang yang membuat kita tidak nyaman.

Seperti kisah prajurit muda tadi, kedua orang tua itu mencintai dengan tidak tulus, harus dengan syarat. Mereka gagal dalam ujian keikhlasan.

Dan untuk seorang ibu yang rela merawat dan membesarkan hati saya ketika saya merasa down, hanyalah doa agar Allah senantiasa menjaga dan memudahkan segala urusannya ketika kami tidak lagi bersama saat ini.

Eko Prasetyo
www.samuderaislam.blogspot.com