Minggu, 15 Mei 2011

Pemimpin Berkualitas

Kepada Para Agen Perubahan,

Saya percaya bahwa sebagai warga dunia dan bangsa yang majemuk, kita memiliki tujuan sama, yaitu menjembatani perbedaan budaya. Kita berkewajiban membangun dan mengembangkan hubungan yang berkesinambungan dan saling menguntungkan di bidang-bidang strategis seperti perekonomian, perdagangan, dan keamanan.

Pemimpin berkualitas merupakan syarat utama bagi aspirasi ini. Pertanyaannya adalah, siapakah para pemimpin berkualitas ini? Mereka adalah orang-orang yang memiliki empati terhadap rekan sejawatnya di seluruh nusantara. Mereka juga orang-orang yang secara pragmatis mampu mencapai konsensus melalui musyawarah mufakat.

Dewasa ini kita dihadapkan pada tantangan sosial dan politik. Bagi negara-negara berkembang, baik yang berada di bawah kekuasaan individu atau kelompok elit, peluang korupsi yang kerap hadir bersama kekuasaan menjadi sumber kegagalan. Hal ini berimbas pada terbatasnya akses terhadap kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat akibat tangan-tangan koruptor yang berkuasa. Upaya-upaya penanggulangan akan eksploitasi kemiskinan yang sudah tersistem di masyarakat, kebijakan-kebijakan eksklusif yang hanya menguntungkan sebagian kelompok, dan pelanggaran hak asasi manusia akan sia-sia kekurangan pemimpin yang mampu bertindak tegas. Pemimpin tersebut adalah mereka yang bertanggung jawab, cerdas, berpengetahuan luas, dan berasal dari masyarakat di negara itu sendiri.

Upaya mengatasi korupsi, sifat elitis, dan keterbatasan masyarakat hanya bisa dicapai melalui kepemimpinan yang diwarnai kekuatan intelektual serta moral yang kental. Karakter ini dibutuhkan untuk memerangi kondisi buruk dan keluar sebagai pemenang.

Perhatikan peristiwa-peristiwa di sekitar Anda. Kisah-kisah yang disiarkan di televisi menceritakan bencana dan kelaparan. Kisah-kisah tersebut mendorong para donor membuat program wajib penanggulangan bencana secara kolektif. Kisah lainnya, perhatian terhadap upaya pengentasan buta huruf, angka kematian bayi, dan masalah kesehatan gagal mengatasi akar permasalahan, walaupun dimulai dengan sebuah niat mulia.

Apakah yang sebenarnya telah kita raih melalui upaya pemberantasan buta huruf dan peningkatan usia harapan hidup apabila tidak mampu memberikan pertolongan nyata yang berkesinambungan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan?

Kita semua menyadari bahwa pendidikan adalah kunci utama dalam membangun dinamika perekonomian yang berdemokrasi serta kokoh. Namun sayangnya, kata “pendidikan” yang diterapkan di negara-negara berkembang umumnya hanya diterjemahkan tidak lebih dari sekadar upaya penanggulangan buta huruf dan mendukung sistem hafalan yang berlaku. Ketimbang “pendidikan” semata, dewasa ini Indonesia masih membutuhkan “kepemimpinan yang analitis, berpengetahuan luas, dan bertanggung jawab”.

Karena berbagai alasan, lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita belum mampu menciptakan pemimpin-pemimpin yang tercerahkan secara intelektual, moral, dan beretika untuk membaktikan diri mereka kepada kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi ini umumnya masih bersifat tradisional dan dikelola oleh pemerintah.

Beruntung, beberapa negara maju menyediakan kesempatan bagi sekumpulan kecil pemimpin berkualitas dan pegawai pemerintahan sebagai sandaran masyarakat. Seiring berjalannya waktu, Indonesia dapat belajar dari pengalaman Amerika Serikat. Pendidikan merupakan kunci utama yang berhasil meluncurkan negara AS menjadi sebuah bangsa yang lebih demokratis dan makmur. Undang-undang yang menjamin pendidikan tinggi atau ketrampilan bagi veteran Perang Dunia ke-II (G.I. Bill) berperan besar dalam membuka kesempatan bagi jutaan orang Amerika. Generasi muda di sana berhasil meraih posisi tertinggi dalam hal kepemimpinan dan produktivitas. Bantuan berupa hibah, pinjaman, dan beasiswa dari Badan Federal, Negara Bagian, dan swasta berperan besar dalam membuka akses ke pendidikan berdasarkan prestasi. Hal ini merangsang kecakapan intelektual dan kreativitas di masyarakat yang membantu AS mengatasi tantangan-tantangan di era modern.

Presiden Barack Obama merupakan cermin keberhasilan dari metode tersebut. Jaringan klub-klub eksklusif Amerika yang hanya membukakan akses pada segelintir kelompok elit bukanlah jalur yang ditempuhnya untuk meraih kepemimpinan. Melainkan, Ia melangkah dengan hasrat pribadi untuk maju dan membuka kesempatan meraih pendidikan yang berlandaskan meritokrasi. Perjalanannya menuju Gedung Putih tidak melalui lembaga hukum elit atau korporasi, tetapi melalui kerja keras tanpa pamrih untuk meningkatkan taraf hidup lapisan prasejahtera di lingkungannya.

Beberapa teori ekonomi politik menganggap bahwa kelompok kelas menengah yang besar memiliki pengaruh baik dan menciptakan stabilitas masyarakat. Ini dikarenakan kelompok kelas menengah tidak memiliki kecenderungan kelas bawah yang revolusioner dan eksplosif maupun kecenderungan absolutis yang tertanam kuat di kalangan atas.
Klasifikasi golongan masyarakat sebagai kelas menengah atau bukan dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, kondisi fisik tempat mereka bekerja, dan gaya hidup mereka daripada hubungan mereka dengan alat-alat produksi.

Jika kita menyepakati bahwa makna “kelas” memasukkan unsur-unsur intelektual dan material, lalu pendidikan merupakan syarat utama seseorang dapat mempertahankan statusnya, dapat dipahami mengapa dewasa ini kita menyaksikan tingkat pertumbuhan di negara-negara bekas komunis yang telah menerapkan kapitalisme lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan di negara-negara terbelakang yang semula memiliki pendapatan per kapita sama dengan mereka.

Sebagai perbandingan, negara-negara bekas komunis secara umum beruntung karena mewarisi penduduk yang berpendidikan sangat tinggi sehingga negara-negara bekas komunis itu telah lepas landas meninggalkan kita. Sementara mereka melesat membangun kapasitas material, kita di Indonesia masih berjuang untuk membangun kapasitas intelektual sebelum dapat berlanjut membangun kapasitas material.
Penanggulangan masalah pendidikan untuk kesejahteraan masyarakat luas adalah tangung jawab orang-orang yang memiliki kepekaan moral. Oleh karena itu, saya yakin sepenuhnya bahwa negara ini, dengan jumlah penduduknya yang besar dan sumber dayanya yang luar biasa, perlu menciptakan sebanyak mungkin—dan secepat mungkin—upaya-upaya pembentukan pemimpin. Negara ini membutuhkan pemimpin yang mampu membuat lompatan besar untuk menghilangkan kesenjangan dan mengembangkan segala potensi yang ada di masyarakat.

Salam
Putera Sampoerna

Tidak ada komentar: