Selasa, 03 Mei 2011

De Facto Pendidikan

"... kebijakan pendidikan juga dihadapkan dengan masalah pengangguran. Pendidikan dianggap bertanggung jawab terhadap pengangguran yang terjadi... "

sayang sekali, apa yang saya kutip di atas masih berupa retorika ....
sayang sekali, kebenaran yang saya yakini diatas masih dalam bentuk kata kata manis.

Dari berita koran, pandangan diskriminatif masih menjadi kebijakan saat ini, seperti "penyerobotan" fasilitas publik untuk dijadikan RSBI dan banyak yang lainnya. Pakai nalar yang bagaimana kita berharap anak orang miskin tidak menganggur saat mereka pada usia kerja kalau distribusi pendidikan (ilmu dan pelatihan life skills) tidak berjalan dengan fair pada saat ini?

Dari fakta yang diungkapkan di koran Jawa Pos hari, ratusan sekolah (persisnya silakan cek sendiri di koran hari ini) dalam kondisi rusak berat, sementara para pejabat pendidikan dan anggota DPR menganggap perlu menambah RSBI untuk dibiayai pemerintah kota Surabaya, belum lagi yang kerusakan ringan. Mana cerminan dari apa yang diungkapkan oleh pak Bambang, salah satu staff Kemendiknas bahwa pendidikan dianggap bertanggung jawab atas pengangguran di masa yang akan datang atau bahwa pendidikan akan mengentaskan kaum miskin? sekali lagi sayang ini masih sebuah retorika ...

Selain masalah diskriminasi, masalah pada tataran implementasi berjalan suka suka dan sering tidak rasional. Satu peningkatan kualitas kebijakan masih berperangai "garong" memaksa anak rakyat untuk menyiapkan diri untuk diuji dengan standard nasional dalam bentuk harus mengikuti ritual Ujian Negara, tanpa pernah ada rencana yang jelas dan menjalankan dengan sungguh sungguh untuk memenuhi fasilitas minimal untuk belajar, peningkatan kulaitas guru dengan siklus yang benar dan tidak sekedar formalitas, contoh banyak sekolah yang tak layak, assessment kualitas guru dan pembelajaran tidak secara konsisten dilakukan, apalagi pelatihan yang benar berdasarkan analisis kebutuhan pelatihan, lebih lebih target waktu hampir semuanya "memble" kalau yang akal akalan ya banyak.

Arah pendidikan yang berorientasi kedepan juga masih dalam bentuk retorika " pada tahun sekian kita akan ... sekian .." seperti itu blanko retorikanya. Kita memang tidak tahu pasti seperti apa pekerjaan di masa depan, namun setidaknya kita bisa melihat trend kedepan. Para futuris dengan lantang dan cemas bahwa rate of change bisa tak terbayangkan dan mungkin bisa di luar jangkauan daya adaptasi manusia kalau tidak disiapkan. Kata innovation dan speed sudah menjadi hal hal yang tak dapat kita abaikan, artinya kedepan kedua hal itu menjadi hal yang sangat menentukan dan berarti. Artinya, sudahkah proses pendidikan memberiakan kesempatan pada siswa untuk kreatif? Apakah ritual UN akan mendorong siswa untuk kreatif? Sudahkah kita memberikan kesempatan dalam proses pembelajaran dan tugas tugas yang melatih anak agar berhasil dalam kaitan dengan speed? Kalau tidak, pendidikan kita masih belum bertanggung jawab atas pengangguran di masa yang akan datang, apalagi mengentaskan kemiskinan, omong kosong.

Sekarang ini mestinya saatnya dokumen dokumen ritual pendidikan diganti dengan dokumen dokumen fakta peran pendidikan. Penilaian ritual harus segera diganti dengan penilaian actual. Atau bangsa ini tetap diajak untuk menipu diri sendiri dengan seluruh ritual kepalsuannya?

Salam Pendidikan untuk rakyat
Semino

Tidak ada komentar: