Senin, 02 Mei 2011

Hari Menghardik Nasional

Posisi saling hardik dan kritik jelas menggambarkan sikap dan tafsir mereka terhadap kehidupan demokrasi yang saat ini berlangsung di Indonesia. Sering disingkat dengan Hardiknas, Hari Pendidikan Nasional jelas harus tidak sama dengan `menghardik' yang berkonotasi negatif. Meskipun masih sering dijumpai praktik `menghardik' dalam proses pendidikan nasional, semangat menghardik patut dipelihara jika itu bagian dari praktik dan cara melakukan kritik terhadap proses dan kebijakan pendidikan yang kurang benar.

Seperti minggu-minggu terakhir ini, dunia pendidikan kita diselimuti fakta-fakta tentang adanya kecenderungan radikalisme keagamaan di tingkat sekolah. Data-data yang diungkap tentang adanya kecenderungan radikalisme di kalangan siswa SMP dan SMA di wilayah Jabodetabek membuat semua kalangan, mulai dari tokoh agama, pendidik, praktisi, pemerhati, hingga menteri memberikan komentar yang beragam. Bahkan dalam beberapa hal komentar-komentar tersebut nyaris seperti `menghardik' satu sama lain.

Seperti dilansir beberapa media, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bahkan me nilai bahwa radikalisme saat ini sudah `lampu merah'.

Dia mengatakan, jika banyak siswa dan bahkan guru di sekolah masih meragukan keandalan Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara, ini tentu harus menjadi tamparan bagi Kementerian Agama sebagai penjaga moral anak-anak bangsa. "Depag itu guidance moral kita. Pertamatama tentu ya institusi ini yang harus ditanya, ngapain saja mereka? Kedua MUI-nya juga. Kalau radikalisme masih tumbuh subur di negeri ini, berarti mereka gagal. Saya melihat ketidaksetiaan pada Pancasila yang terekam dari survei itu bisa jadi benihnya radikalisme," paparnya.

Lain lagi komentar Mendiknas dan Menag. Mendiknas, sambil mengakui adanya kecenderungan radikalisme di sekolah, secara simpatik mengajak semua pihak terutama sekolah untuk memperhatikan isu-isu radikalisme di lingkungan mereka. Adapun Menteri Agama selalu mengatakan akan melihat dasar metodologis dari survei tersebut dan akan mengkajinya, tetapi sambil mengatakan bahwa kurikulum pendidikan agama Islam tak mengajarkan kekerasan.

Beberapa komentar soal hasil riset Lakip sebenarnya menandakan bahwa masih ada orang di negeri ini yang secara budaya sebenarnya mereka kelompok tertinggal (culturally lack).

Posisi saling hardik dan kritik jelas menggambarkan sikap dan tafsir mereka terhadap kehidupan demokrasi yang saat ini berlangsung di Indonesia. Namun, hal paling mendasar yang perlu kita ketahui bersama adalah apa makna penting sebuah riset dalam kehidupan demokrasi itu sendiri.

Bagi saya, sebagai sebuah cara untuk mengekspresikan dan mengungkapkan kebenaran, riset sangat diperlukan. Riset tentang radikalisme di kalangan siswa memang diperlukan dalam rangka me nyediakan informasi berbasis riset empiris bagi kebijakan dan strategi penanggulangan radikalisme itu sendiri.

Penting untuk dikemukakan di sini:
Pertama, sebuah riset sesungguhnya merupakan cara terbaik dalam mengidentifikasi suatu masalah. Di tengah maraknya serentetan kejadian kekerasan, baik yang bermotif agama maupun bukan, jelas kita perlu mengidentifikasi gejala ini dari beragam aspek.

Kedua, riset tentu saja ingin mengenali secara lebih mendalam preferensi masyarakat kita terkait isu-isu radikalisme. Di alam demokrasi, preferensi haruslah dipetakan secara jelas dan terukur agar kita mengetahui apa yang sebenarnya sedang ada, dipikirkan, bahkan coba dilakukan masyarakat. Dengan demikian, riset merupakan penanda bahwa demokrasi sedang bekerja di tengah-tengah kita.

Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah bagaimana kita memaknai riset sebagai sebuah bentuk penanganan masalah (problem solving). Terlepas dari hasilnya yang mungkin bisa berhari-hari diperdebatkan, tetap saja itu membantu kita dalam membuat perencanaan strategis terkait radikalisme yang memang sedang marak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Untuk itulah diperlukan sikap dan pikiran yang jernih, terbuka, mau menerima fakta dan menjadikan fakta tersebut sebagai bagian dari problem solving. Sebab, tak mungkin kita harus terus bertahan dan tak mau menerima fakta, apalagi sampai seperti orang yang kebakaran jenggot.

Hasil riset Lakip bukan sarana untuk kita saling menghardik di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ini. Perlu dipikirkan rencana strategis sebagai follow up dari riset tersebut untuk membantu proses pendidikan yang lebih baik. Misalnya, perlukah dilakukan survei pembanding untuk melihat kecenderungan radikalisme di sekolah sekolah nonurban atau kabupaten di kota-kota besar lainnya seperti Medan, Bandung, Surabaya, Makasar, Manado, dan Denpasar? Atau yang lebih operasional adalah bagaimana misalnya ada sebuah tim pendidikan yang bekerja secara khusus untuk me-review dan menganalisis konsep-konsep pedagogis yang lebih ramah dan rahmah dan kemudian mengintegrasikannya ke dalam seluruh bidang studi yang dipelajari siswa.

Kita juga dapat mendesain, baik melalui workshop maupun training, pendekatan lintas kurikulum (cross-curricula approach) terhadap guru-guru, terutama guru agama dan guru PPKN, dengan basis perubahan budaya sekolah. Atau kita usulkan juga agar Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional membentuk asosiasi guru agama Indonesia yang di dalamnya terdapat seluruh guru agama, untuk dan dalam rangka meningkatkan wawasan kebinekaan Indonesia, dan mungkin ada banyak ide lain yang relevan dan sejalan dengan temuan riset Lakip tersebut.

"Ketika berhenti berpikir, Anda akan kehilangan kesempatan"-- Publilius Syrus
Salam
Ahmad Baedowi

Tidak ada komentar: