Senin, 01 Februari 2010

Writing Experiences

Saya menunjukkan sebuah gambar kepada para peserta pelatihan menulis saya. Gambar itu merupakan gambar favorit saya setiap kali saya mengadakan pelatihan menulis. Gambar itu pula yang kemudian saya desain baru dan saya muat di buku terbaru saya, MENGIKAT MAKNA UPDATE. Tepatnya, gambar itu saya muat di Bab 12 “Menemukan Kunci Surga yang Hilang”, di halaman 135.

Setelah menunjukkan gambar tersebut, saya berkata, “Kita masih dapat bertahan hidup dan ingin terus melalui hidup ini—meskipun kadang kita dihantam “badai”, terpuruk dalam sebuah kegagalan, dan terseok-seok dalam upaya memenangi prestasi—dikarenakan HARAPAN.” Apa itu harapan? Tidak mudah untuk merumuskan dan menjelaskannya.

Kadang-kadang, harapan itu seperti membara di dalam dada kita. Kadang-kadang pula harapan itu seperti “sentir”—nyala api yang sangat kecil, hampir seperti nyala api sebatang lilin—yang mau padam dikarenakan embusan sang angin. Namun, sekecil dan seredup apa pun harapan itu, niscaya harapan itulah yang sesungguhnya membangkitkan semangat kita untuk terus mempertahankan hidup.

“Tahukah saudara-saudara, apa kira-kira yang dapat membuat harapan—sekecil dan seredup apa pun itu—dapat terus menyala dan bertahan di dalam hati kita?” Suasana pelatihan menulis yang saya ampu mendadak hening. Semuanya terpaku dan diam. Menunggu. Mereka berpikir. Saya pun tidak berbicara untuk beberapa menit, memberikan kesempatan mereka untuik merenung dan berpikir.

Akhirnya seorang peserta mengacungkan jari telunjuknya. “Saya tahu jawabannya, Pak Hernowo.” Saya pun mendekati peserta tersebut. “Apa menurut Anda?” Dengan yakin, peserta itu menjawab, “Menulis!” Ya benar, menuliskan secara sangat gamblang dan detail sebuah harapan atau cita-cita akan membuat harapan yang semula hanya tersimpan di dalam diri itu benar-benar tampak jelas dan dapat “dilihat” (dibaca). Dengan dituliskannya sebuah harapan, sesungguhnya harapan itu sudah kita “pastikan” akan mewujud.

Menulis memang mengeluarkan sesuatu dari dalam diri—baik itu berupa keinginan, kemauan, maupun HARAPAN—untuk kemudian sesuatu yang dikeluarkan itu dapat diteguhkan bahwa memang itulah yang ingin kita wujudkan di masa depan. Kepada para peserta pelatihan menulis, saya kemudian menunjukkan saran Quantum Learning yang sangat bagus. “Setiap harapan atau cita-cita, setelah dirumuskan secara jelas lewat kata-kata tertulis, segeralah dibuatkan posternya.”

Saat itu, juga saya meminta seluruh peserta pelatihan untuk menuliskan harapan-harapannya dalam selembar kertas. Setelah semua harapan dituliskan, saya mengajak mereka memperbesar harapan itu—lewat mesin fotokopi—hingga menjadi sebesar poster yang dapat ditempel di sebuah dinding. Saya pun menganjurkan agar harapan itu, nantinya, ditempel di dinding—baik itu di rumah mapun di kantor—yang dapat dilihat (dibaca) setiap hari. Insya Allah, jika itu dilakukan, HARAPAN itu, suatu saat nanti, akan mewujud.

Salam
Hernowo